Judul: PARADIGMA BARU PENDIDIKAN SISTEMIK ORGANIK.
By: ZUKY IRIANI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan faktor penentu kemajuan dan keberhasilan dalam pembangunan di segala
bidang. Pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan
suatu bangsa untuk dapat meraih cita-cita dan tujuan nasional. Meskipun
demikian, harus diakui pula bahwa pendidikan yang mampu mencerdaskan kehidupan
bangsa merupakan salah satu tujuan negara ini. Paradigma pendidikan di
Indonesia senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan
paradigma pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan suatu paradigma baru dalam
pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan dan tuntutan jaman.
Kualitas
komponen-komponen pendidikan sebagai pembentuk suatu paradigma pendidikan yang
mampu menjawab permasalahan-permasalahan bangsa, menjadi penentu bentuk paradigma
pendidikan yang mutakhir. Salah satunya dimulai dari bangku pendidikan formal.
Pendidikan formal atau persekolahan selama ini bekerja secara mekanis seperti
halnya sebuah pabrik. Dikatakan demikian karena persekolahan hanya menekankan
pada alur input – proses – output saja. Sekolah memposisikan siswa sabagai raw input, kemudian dididik di sekolah
hingga lulus. Sering kali kualitas lulusan siswa (yang merupakan output pendidikan), kurang menjadi fokus
utama. Sekolah yang seharusnya mampu
memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang cakap dan kompeten, seringkali
mengabaikan aspek-aspek penting bahwa kelak siswa harus terjun di dunia kerja
dan terjun di tengah-tengah masyarakat.
Ini menandakan
bahwa paradigma pendidikan nasional belum mampu menjadi penggerak kemajuan dan
pembangunan bangsa secara optimal. Penekanan kualitas pendidikan pada tahap
proses dalam alur pendidikan telah mulai mendapatkan perhatian dari berbagai
pihak. Banyak kalangan yakin bahwa pendidikan mampu menghasilkan output yang cakap, manakala ada
penjaminan mutu terhadap proses pendidikan di bangku sekolah. Penjaminan mutu
yang dimaksud adalah bahwa segenap unsur pendidikan digerakkan untuk menjalankan
proses pendidikan yang berkualitas tinggi, yaitu proses pendidikan yang
kreatif, inovatif, serta mampu mengarahkan peserta didik untuk menjawab
tantangan jaman. Dengan demikian sekolah tidak terjebak pada rutinitas semu
sebagai ‘penghasil’ sumber daya manusia
saja. Akan tetapi, sekolah harus mampu menghasilkan sumber daya manusia yang
kompeten, yang dibutuhkan oleh pasar kerja.
Kenyataan yang
terjadi, lembaga-lembaga pendidikan formal dalam hal ini sekolah di Indonesia
belum mampu menciptakan sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Ini
dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development
Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan,
dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut
survei Political and Economic Risk
Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan
ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data
yang dilaporkan The World Economic Forum
Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Masih menurut
survei dari lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi
dari 53 negara di dunia (diunduh dari http://blog.elearning.unesa.ac.id/elly-nurcahyanti/makalah-permasalahan-pendidikan-di-indonesia-beserta-solusinya,
diakses pada Sabtu, 15 September 2012).
Bukti rendahnya
kualitas sumber daya manusia Indonesia diatas, tidak terlepas dari paradigma
pendidikan yang selama ini berkembang di Indonesia. Proses pendidikan yang
selama ini terjadi bisa dikatakan didominasi transfer pengetahuan dari guru ke
murid. Penekanan proses pendidikan terutama hanya dari aspek kognitif saja, sedangkan
aspek afektif dan psikomotor siswa kurang dikembangkan. Itu pun sebatas pada fokus
terhadap nilai akhir sebagai pencapaian utama proses pendidikan yang dilangsungkan.
Pola pikir pendidikan yang memposisikan nilai siswa sebagai final result harus diubah. Sumber daya
manusia Indonesia sebagai produk dari penyelenggaraan pendidikan selama ini
belum dapat memenuhi kualitas yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Angka
pengganguran terdidik di Indonesia cukup tinggi, hal ini disebutkan oleh Asisten
Deputi Bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Muh.Abud
Musa'ad. Beliau mengatakan bahwa, angka pengangguran pemuda terdidik mencapai
41,81 persen dari total angka pengangguran nasional (diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/12/ma8dl2-kemenpora-pengangguran-terdidik-capai-4781-persen,
diakses pada Sabtu, 15 September 2012).
Tidak bisa
dipungkiri bahwa, salah satu penyebab tingginya angka penggangguran terdidik
adalah tidak singkronnya antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja.
Kondisi lain yang menunjang semakin tingginya angka pengangguran terdidik
adalah pendidikan tinggi di Indonesia kurang memberikan pelatihan dan ilmu yang
sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang ada. Pendidikan tinggi terkesan
mengejar kuantitas lulusan tanpa memperhatikan kualitas lulusan.
Proses
pendidikan yang baik adalah bilamana pembelajaran memberikan hasil akhir yang
tidak hanya berhenti pada nilai berupa angka, tetapi siswa memiliki kompetensi
terkait dengan pembelajaran yang diperolehnya, siswa mampu mentranformasikan
nilai-nilai yang diperolehnya dari proses pembelajaran pada kehidupan nyata.
Hasil pembelajaran siswa benar-benar membekas dan membangun pribadi siswa yang
cakap, tangguh, dan kompeten, sehingga singkron dengan kebutuhan pasar kerja.
Berbagai inovasi
dalam pendidikan saat ini banyak dikembangkan. Tujuannya adalah agar sumber
daya manusia yang dihasilkan dari suatu proses pendidikan, memiliki kapasitas
dan kualitas yang memadai. Kapasitas dan kualitas sumber daya manusia yang
tangguh merupakan aset penting dalam pembangunan nasional. Paradigma baru
pendidikan sistemik-organik merupakan bentuk inovasi dalam penyelenggaraan
pendidikan. Paradigma baru pendidikan sistemik-organik dirasakan mampu menjawab
kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan-permasalahan penyelenggaraan pendidikan
konvensional. Hal ini dikarenakan, paradigma pendidikan sistemik-organik
menuntut pendidikan bersifat double track.
Pendidikan bersifat double track artinya,
pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan
dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses
pendidikan dengan masyarakat pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya.
Selama ini
pendidikan diposisikan terpisah dengan lingkungan di luar pendidikan. Idealnya,
apa yang telah dipelajari di sekolah dalam suatu proses pendidikan seharusnya
menjadi bekal untuk menghadapi dunia luar yang penuh tantangan. Konsepsi
pemisahan dunia pendidikan dengan dunia di luar sekolah tidak lagi relevan
diterapkan dalam proses pendidikan yang menghendaki adanya paradigma baru
pendidikan sistemik-organik. Pendidikan konvensional yang menempatkan peserta
didik hanya sebagai objek pun tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pembangunan
sumber daya manusia yang tangguh, harus menempatkan sumber daya manusia yang ‘diolah’ dan ‘dikelola’ sebagai subjek yang memiliki karakteristik tersendiri
sesuai bakat, minat, dan upaya untuk menjadikan mereka berhasil menemukan
kelebihan dan jati dirinya. Komitmen tersebut harus berangkat dari jiwa para
pendidik khususnya, dan pelaku pendidikan pada umumnya.
Perlu diketahui
bahwa proses pendidikan yang berlangsung di sekolah mencakup tiga komponen
utama yaitu: (1) proses pembelajaran; (2) manajemen sekolah; dan (3) kultur sekolah.
Ketiga komponen ini saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi,
memiliki hubungan sebab akibat secara timbal balik (diunduh dari http://sutisna.com/pendidikan/cara-pandang-interaktif-terhadap-kualitas-output/,
diakses pada Kamis, 20 September 2012). Keberhasilan suatu proses pendidikan
sangat ditentukan oleh hubungan yang sinergis antara ketiga komponen tersebut.
Ketiga komponen tersebut harus saling mendukung dan dikondisikan sedemikian
rupa agar relevan dengan pendidikan sistemik-organik. Pengkondisian dalam hal
ini, berarti ketiga komponen tersebut harus memerhatikan aspek-aspek lingkungan
luar sebagaimana yang dikehendaki dalam pendidikan sistemik-organik harus
bersifat double track. Dunia
pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada
umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Dengan sistem semacam ini, dunia
pendidikan di Indonesia diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki
kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman
yang senantiasa berubah dengan cepat.
Mengacu pada
pendidikan formal, pendidikan yang diberikan pada siswa sebenarnya dimulai dari
ruang kelas. Bisa dikatakan bahwa produk pendidikan adalah pembelajaran yang
dilakukan di kelas, antara guru dengan siswa. Aktivitas yang dilakukan di dalam
kelas dengan kata lain merupakan proses pembelajaran itu sendiri. Guru sebagai
ujung tombak pelaksanaan pendidikan dituntut untuk mampu mentransformasikan
nilai-nilai yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Melihat hal tersebut,
pendidikan sistemik-organik bisa dimulai dari ruang kelas, yakni penerapannya
dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung. Tanpa menafikan dukungan dari komponen
pendidikan yang lain, keberhasilan dalam implementasi pendidikan
sistemik-organik menjadi tanggung jawab besar bagi peranan guru dalam
pembelajaran.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana
ciri-ciri paradigma baru pendidikan sistemik-organik?
2. Bagaimana
implementasi paradigma baru pendidikan sistemik-organik di Indonesia?
3. Bagaimana
peranan guru dalam mewujudkan pendidikan sistemik-organik?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas maka, tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1. Mengidentifikasi
ciri-ciri paradigma baru pendidikan sistemik-organik.
2. Mengetahui
implementasi paradigma baru pendidikan sistemik-organik di Indonesia.
3. Mengetahui
peranan guru dalam mewujudkan pendidikan sistemik-organik.
D.
Manfaat
Makalah ini
diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
Secara teoritis, diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai
paradigma baru pendidikan sistemik-organik, sehingga dapat dijadikan sebagai
acuan untuk penulisan dengan topik terkait. Manfaat praktisnya, antara lain:
1. Diharapkan
penulisan makalah ini dapat menjadi acuan bagi pendidik maupun praktisi
pendidikan, agar mengaplikasikan paradigma baru pendidikan sistemik-organik
dalam proses pembelajaran.
2. Bagi
sekolah, pendidikan sistemik-organik dapat dilaksanakan dengan optimal bilamana
segenap komponen yang ada di sekolah diarahkan untuk mendukung suksesnya
paradigma pendidikan sistemik-organik ini. Tujuannya agar proses pembelajaran
dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cakap, tangguh, dan kompeten.
3. Bagi
guru, agar bersedia mengembangakan kompetensi dan perannya, sehingga guru dapat
memulai praktek pendidikan sestemik-organik di kelas yang diampunya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ciri-Ciri
Paradigma Baru Pendidikan Sistemik-Organik.
Makin rumit dan
kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, menuntut
dimunculkannya paradigma pendidikan masa depan yang dinilai lebih mampu
menjawab tantangan zaman, yaitu paradigma pendidikan sistemik-organik. Paradigma
pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa segala objek, peristiwa, dan
pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
keseluruhan yang utuh. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan
dengan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Penerapan sistem
semacam ini di dunia pendidikan Indonesia, diharapkan mampu menghasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan
dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan cepat.
Paradigma pendidikan
sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal, sistem
persekolahan, harus memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:
1.
Pendidikan
lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning)
daripada mengajar (teaching).
Selama ini pendidikan formal
di Indonesia lebih didominasi dengan kegiatan mengajar, sehingga terdapat
istilah KBM atau Kegiatan Belajar Mengajar yang lazim dalam pendidikan di
Indonesia. Istilah KBM baru-baru ini mendapatkan kritik dari berbagai kalangan
pemerhati pendidikan, yang sepakat untuk menggantinya dengan istilah
‘pembelajaran’. Istilah pembelajaran muncul bukan tanpa sebab. Banyak kalangan
yang mulai menyadari bahwa pendidikan tidak akan dapat mencapai keberhasilannya
jika diselenggarakan dengan cara-cara tradisional. Cara-cara tradisional yang
dimaksud adalah memberikan batasan pada siswa untuk terlibat secara aktif dalam
proses belajar di kelas. Terdapat perbedaan yang tajam mengenai pengertian
‘mengajar’ (teaching) dengan ‘pembelajaran’ (learning), yang akan dijelaskan secara singkat pada bagian berikut
ini:
a. Mengajar
(teaching).
Selama ini proses
belajar di kelas lebih menekankan pada aktivitas ‘guru mengajar siswa’. Secara sederhana dapat diartikan bahwa guru berbicara, murid mendengarkan.
Mengajar dalam pengertian tersebut, berarti porsi guru dalam proses belajar
lebih besar dibandingkan dengan keterlibatan siswa dalam proses belajar yang
berlangsung. Guru mendominasi proses pembelajaran di kelas dan sering kali guru
dijadikan satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Tentu saja hal ini akan
menghambat kreatifitas siswa dan mempersempit peluang siswa untuk mengetahui
dunia luar yang lebih kaya akan sumber ilmu, pengetahuan, dan pengalaman.
Kegiatan mengajar sering kali mengabaikan potensi-potensi yang dimiliki oleh
siswa, tidak mengakui bakat siswa sebagai individu yang memiliki kemampuan
untuk berkembang.
b. Pembelajaran
(learning)
Berikut ini disebutkan
beberapa devinisi pembelajaran menurut para ahli:
1.) Knowless.
Pembelajaran adalah cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pembelajaran adalah cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
2.) Slavin.
Pembelajaran didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku individu yang disebabkan oleh pengalaman.
Pembelajaran didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku individu yang disebabkan oleh pengalaman.
3.) Woolfolk.
Pembelajaran berlaku apabila sesuatu pengalaman secara relatifnya menghasilkan perubahan kekal dalam pengetahuan dan tingkah laku.
Pembelajaran berlaku apabila sesuatu pengalaman secara relatifnya menghasilkan perubahan kekal dalam pengetahuan dan tingkah laku.
4.) Crow
and Crow.
Pembelajaran adalah pemerolehan tabiat, pengetahuan dan sikap.
Pembelajaran adalah pemerolehan tabiat, pengetahuan dan sikap.
5.) Rahil
Mahyuddin.
Pembelajaran adalah perubahan
tingkah laku yang melibatkan ketrampilan kognitif yaitu penguasaan ilmu dan
perkembangan kemahiran intelek.
6.) Achjar
Chalil.
Pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.
7.) Corey.
Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus.
Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus.
8.) G.A.Kimble.
Pembelajaran merupakan perubahan kekal secara relatif dalam keupayaan kelakuan akibat latihan yang diperkukuh (diunduh dari http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembelajaran_menurut_para_ahli_info507.html, di akses pada 01 Oktober 2012).
Pembelajaran merupakan perubahan kekal secara relatif dalam keupayaan kelakuan akibat latihan yang diperkukuh (diunduh dari http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembelajaran_menurut_para_ahli_info507.html, di akses pada 01 Oktober 2012).
Berdasarkan
beberapa devinisi pembelajaran di atas, maka dapat diambil pokok penting yang
terkandung dalam devinisi pembelajaran. Disebut dengan istilah pembelajaran
karena dalam pembelajaran, keterlibatan guru dan siswa dalam proses belajar
memiliki porsi yang seimbang. Proses pembelajaran tidak hanya menekankan pada
peranan guru di dalam kelas, tetapi melibatkan siswa secara aktif di dalamnya,
sehingga siswa memperoleh tidak hanya pengetahuan, tetapi keterampilan dan
pengalaman langsung dari pembelajaran yang diselenggarakan. Dengan demikian
pembelajaran mampu memberikan hasil berupa perubahan perilaku siswa ke arah
yang lebih positif.
Pendidikan
sistemik-organik berpusat pada pembelajaran daripada kegiatan mengajar. Siswa
ditempatkan sebagai subyek belajar, sehingga kebutuhan, kemampuan, potensi, dan
bakat siswa dapat terakomodir di dalamnya. Pembelajaran yang dilakukan dengan
baik, adalah pembelajaran yang melibatakan interaksi antara guru dengan siswa
dalam situasi belajar yang berlangsung. Dari interaksi yang dilakukan, akan
teridentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam proses
pembelajaran. Tidak berhenti di situ saja, dari interaksi tersebut, pada
perkembangan selanjutnya akan mampu diatasi kesulitan-kesulitan belajar secara
bersama-sama. Dengan demikian proses pembelajaran yang optimal dapat mencapai
hasil pembelajaran yang diharapkan.
2.
Pendidikan
diorganisir dalam struktur yang fleksibel.
Pendidikan
nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang
menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar
biasa, mencapai sekitar 235 juta dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat
multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam.
Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. Sistem pendidikan semacam itu tidak
mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan pendidikan nasional yang andal.
Perencanaan itu
juga bukan perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu
mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan
lingkungan global. Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Indonesia
tidak bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi,
membuat segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga pada
Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan suatu perencanaan strategik
dalam sistem pendidikan nasionalnya, agar sanggup menghadapi berbagai tantangan
tersebut.
Oleh karenannya,
sistem pendidikan nasional perlu diorganisir dalam struktur yang fleksibel,
yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan globalisasi, tanpa
kehilangan jati diri pendidikan Indonesia yang Pancasilais. Idealnya, kebijakan
dalam pendidikan nasional memiliki substansi yang mampu merangkul stakehoders untuk terlibat dalam sistem
pendidikan formal. Pemisahan antara pendidikan formal dengan dunia luar, sudah
tidak relevan lagi diterapkan di era globalisasi ini. Stakeholders memiliki peranan penting sebagai penyumbang dalam
dunia pendidikan.
Pengelolaan
komponen-komponen dalam pendidikan formal dididesain dengan model yang tidak
kaku dan sentralistis. Pengambil kebijakan dalam tingkat sekolah tidak boleh
hanya terpusat pada kepala sekolah saja, atau pada stuktur organisasi sekolah
saja. Eksklusivitas struktur organisasi sekolah akan membatasi keterlibatan
semua warga sekolah untuk mencapai visi dan misi sekolah itu sendiri.
Fleksibilitas dalam hal ini dimaksudkan agar pendidikan mampu menyesuaikan
dengan kebutuhan, tuntutan, dan kondisi yang berlangsung. Bukan menjadikan
lemahnya struktur pendidikan maupun lemahnya tiga komponen-komponen pendidikan
formal.
Pendidikan
sistemik-organik menghendaki agar komponen-komponen seperti: proses
pembelajaran; managemen sekolah; dan kultur sekolah saling berinteraksi,
menciptakan hubugan yang sinergis, menyambung, dan saling mempengaruhi. Pola
interaksi yang setara antar komponen tersebut dapat dilihat pada skema berikut
ini:
Skema 1. Pola interaksi
tiga komponen pendidikan dalam pendidikan sistemik-organik.
Dalam skema di
atas dapat dijelaskan bahwa setiap komponen memiliki andil yang sama besar
dalam mempengaruhi terciptanya pendidikan sistemik-organik. Managemen sekolah
yang memiliki wewenang untuk mengelola organisasi sekolah harus jeli melihat
proses pembelajaran yang selama ini berlangsung di sekolah, dilain sisi juga
harus jeli melihat bagaimana kultur sekolah yang selama ini berkembang di
lingkungan sekolah. Selanjutnya managemen sekolah dapat menentukan arah
kebijakan di tingkat sekolah dengan memperhatikan sekaligus melibatkan dua
komponen yang lain.
Dalam sudut
pandang yang lain, tidak bisa dipungkiri bahwa managemen sekolah pun sangat
dipengaruhi oleh dua komponen lainnya. Sebenarnya masing-masing komponen
memiliki andil yang sama besar dalam hubungan saling mempengaruhi paradigma
pendidikan pada tataran mikro, dalam hal ini di lingkungan sekolah. Managemen
sekolah yang solid, teroganisir secara sistematis tetapi tidak meninggalkan
peranan aspek-aspek yang lain akan menciptakan proses pembelajaran dan kultur
sekolah yang baik.
Struktur
pendidikan yang fleksibel selain melihat pada tuntutan dan kebutuhan masa kini,
juga menempatkan pola kehidupan yang demokratis di lingkungan sekolah. Namun
demikian, penyelenggaraan pengelolaan yang demokratis tetap harus sesuai dengan
koridor berupa aturan sistem pendidikan nasional. Di tengah-tengah berbagai
kritik mengenai sistem pendidikan nasional yang diterapkan di Indonesia,
inovasi dan kreativitas pendidikan yang ditujukan untuk perbaikan dan kemajuan
sistem pendidikan nasional itu sendiri harus sesuai dengan aturan hukum yang
belaku. Sinergi dalam hubungan horisontal dan hubungan vertikal yang berkaitan
dengan sistem pendidikan nasional tetap dikedepankan.
3.
Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan
mandiri.
Kualitas sumber
daya manusia sebagai modal utama pembangunan, sering kali dikaitkan dengan
kualitas pendidikan formal. Pendidikan formal memang bukan satu-satunya
penjamin tingginya kualitas sumber daya manusia sebagai modal pembangunan,
namun demikian pendidikan formal jelas memiliki pengaruh yang signifikan dalam
‘menghasilkan’ sumber daya manusia
yang dibutuhkan dalam pembangunan. Sistem pola didik persekolahan pun menjadi
sorotan penting, manakala sumber daya manusia ‘bentukan’ pendidikan formal belum mampu menjawab tantangan jaman.
Berbagai upaya
perbaikan dalam sistem pola didik pun mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Semula sistem pola didik bertumpu pada ‘guru
mengajar murid mendengar’, berubah menjadi sistem pola didik yang kini
dikenal dengan istilah pembelajaran. Lembaga sekolah berlomba-lomba melakukan
perbaikan terhadap tiga komponen pendidikan. Upaya tersebut bisa disebut
sebagai upaya sekolah untuk ‘membangun’
sekolah. Membangun dalam artian non fisik. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Munif Chatib dalam bukunya yang berjudul “Sekolahnya Manusia” (2012: xxi):
“Membangun sekolah, hakikatnya adalah
membangun keunggulan sumber daya manusia. Sayangnya, banyak sekolah yang sadar
atau tidak, malah membunuh banyak
potensi peserta didiknya. Banyak sekolah di negeri ini yang berpredikat
sebagai SEKOLAH ROBOT; mulai dari proses pembelajaran, target keberhasilan
sekolah, sampai pada sistem penilaiannya”.
Pernyataan Munif
Chatib tersebut bukan tanpa alasan. Sebagian besar praktek pembelajaran di
sekolah-sekolah di Indonesia bahkan di dunia, masih menempatkan dan
memperlakukan peserta didik secara seragam. Perlu disadari bahwa alam dan
seisinya ini dikelola oleh manusia yang kompetensi dan kecerdasannya sangat
beragam. Jika kecerdasan yang beragam tersebut digali secara terus-menerus
dengan cara yang tepat dan cepat, maka muncullah sumber daya manusia yang unggul
dalam bidang linguistik, logis-matematis, musikal, kinestetik, interpersonal
dan intrapersonal. Sayangnya pendidikan yang umum berkembang belum memberikan
tempat dan pengakuan terhadap kecerdasan individu yang beragam tersebut.
Lembaga persekolahan masih membatasi diri, menilai kecerdasan hanya pada ranah
kognitif saja. Parahnya lagi, perspektif ini memunculkan anggapan bahwa
keberhasilan anak (peserta didik) tergantung seberapa besar penguasaannya dalam
ranah kognitif.
Sekolah sebagai
lembaga pendidikan yang dipercayakan untuk menciptakan sumber daya manusia yang
tangguh sebagai modal pembangunan belum optimal menjalankan fungsinya. Peserta
didik diperlakukan serbasama, sehingga belum diperlakukan sebagai individu yang
memiliki karakter khusus dan mandiri. Persekolahan seolah-olah bekerja secara
mekanis seperti sebuah pabrik yang ‘memproduksi’ sumber daya manusia dengan out come yang secara kuantitas tinggi,
tatapi kualitas tidak dijamin. Kondisi tersebut dapat dianalogikan dengan
ilustrasi berikut ini:
Gambar 1. Model pabrik
dalam lembaga pendidikan (Dave Meier, 2002: 62).
Implementasi
pendidikan sistemik-organik memiliki ciri memperlakukan peserta didik sebagai
individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri. Sekolah dalam hal ini
memfasilitasi siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Proses
pembelajaran yang dilakukan pun harus melihat pada karakter siswa sebagai
individu dan kebutuhan siswa, serta melihat pada pola dan gaya belajar siswa.
Selain dapat memberikan keuntungan dalam proses pembelajaran, hal ini akan
menjadikan proses pembelajaran memberikan hasil yang lebih optimal.
Gaya belajar dan
kemampuan siswa dalam menangkap pelajaran bisa berbeda-beda. Gaya belajar ini
berkaitan dengan kemampuan siswa untuk mamahami isi pembelajaran dengan
kemampuan yang berbeda-beda, antara lain secara audio, visual, dan
audio-visual. Kemampuan tersebut akan sangat mempengaruhi keberhasilan siswa
dalam menyerap ilmu dan pengalaman dalam proses pembelajaran. Kemampuan ini pun
masih harus dikaitkan dengan jenis kecerdasan yang dimiliki oleh siswa, seperti
kecerdasan linguistik, logis-matematis, musikal, kinestetik, interpersonal atau
intrapersonal.
Proses pembelajaran
yang telah memperhatikan karakteristik siswa akan memudahkan siswa dan guru
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Makna pembelajaran pun akan membekas dalam
benak siswa, sehingga jika siswa harus mengaplikasikan apa yang telah
dipelajari di kelas, maka akan lebih mudah pula. Dengan demikian, pembelajaran
akan mampu memberikan perubahan terhadap perilaku siswa, bahkan memperkaya diri
siswa sebagai sesosok individu maupun sebagai warga belajar.
4.
Pendidikan
merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan
lingkungan.
Pendidikan
merupakan usaha sadar yang dilaksanakan untuk memungkinkan manusia mempertahankan
dan mengembangkan kehidupannya dimasa yang akan datang, serta mengembangkan
diri secara terus menerus dari satu generasi kegenerasi lainnya. Pendidikan
kemudian berarti sebagai salah satu bentuk upaya dalam pembangunan yang sekaligus menjadi alat dan tujuan yang
amat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
Berdasarkan pengertian pendidikan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendidikan merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dikatakan
berkesinambungan karena pendidikan tidak berhenti pada jenjang-jenjang
pendidikan formal saja atau ketika peserta didik telah dewasa, tetapi
pendidikan akan terus berlanjut hingga akhir hayat. Manfaat pendidikan pun akan
membekas dan selalu berguna bagi individu yang memperoleh pendidikan tersebut.
Sebagai
suatu proses berkesinambungan pendidikan merupakan proses yang
terimplikasi bahwa dalam diri peserta didik terdapat kemampuan.
Kemampuan tersebut sesungguhnya hanya dimiliki oleh manusia dan harus
dikembangkan dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup atau akan
dihidupkan dalam masyarakat. Proses tersebut seharusnya dilakukan secara berkesinambungan
(terus menerus) dalam suatu interaksi dengan lingkungannya. Antara lain berupa
lingkungan alam dan lingkungan sosial. Proses pendidikan yang berkesinambungan
berarti bahwa pendidikan manusia tidak pernah berhenti ketika peserta didik telah
menyelesaikan jenjang pendidikan formal, tetapi akan terus menerus berkembang
selama terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan sesama manusia serta
lingkungan alamnya, (diunduh dari http://rumah-blog-baca.blogspot.com/2011/07/hakikat-pendidikan.html,
diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012).
Pendidikan
yang ideal adalah pendidikan yang berinteraksi dengan lingkungan. Di bagian
atas telah disebutkan mengenai lingkungan dimana manusia berinteraksi. Lebih
spesifik lagi, yang dimaksud dengan lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan pembelajaran riil. Disebut
dengan lingkungan pembelajaran riil, karena di lingkungan tersebut dapat dilakukan
pengamatan langsung suatu aplikasi pembelajaran, bahkan peserta didik dapat mengaplikasikan
pembelajaran yang telah dilampaui di kelas, baik pembelajaran yang bersifat
teoritis maupun praktis. Lingkungan pembelajaran riil antara lain:
a. lingkungan
yang mampu membentuk karakter siswa,
b. lingkungan
yang mampu memberikan pengalaman belajar bagi siswa, serta
c. lingkungan
yang berkaitan dengan dunia kerja.
Selama
ini pendidikan seolah berdiri sendiri dan terpisah dari lingkungan tersebut.
Pendidikan belum sepenuhnya membuka diri melalui interaksi yang intens dan
berkelanjutan dengan lingkungan sebagaimana disebutkan di atas. Pembelajaran di
sekolah masih didominasi dengan kegiatan di dalam kelas. Pendidikan nasional
belum secara serempak berinteraksi dengan lingkungan luar yang sebenarnya mampu
merefleksikan teori yang dipelajari di sekolah.
Sebagai
contoh, sekolah yang melaksanakan aplikasi pembelajaran di lingkungan dunia kerja masih sebatas
dilakukan oleh sekolah kejuruan saja. Ini berarti untuk jenis mata pelajaran
yang bukan kompetensi jurusan masih belum terakomodir untuk bisa berinteraksi
dengan lingkungan pembelajaran riil. Sedangkan sekolah umum seakan-akan
memiliki keterbatasan, atau bahkan membatasi diri dengan lingkungan dunia kerja
yang memiliki relevansi dengan spesifikasi pendidikan yang ditempuh siswa.
Pembelajaran
sistemik-organik menghendaki suatu proses pembelajaran uang utuh, tidak terkpikiran-kpikiran.
Utuh dalam hal keterlibatan siswa, utuh dalam hal keterkaitan materi dengan
lingkungan sekitar. Tujuan pembelajaran pada dasarnya adalah mengubah perilaku
peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengalaman belajar akan mampu
mengubah perilaku siswa manakala skala tingkatan pengkondisian belajar
benar-benar menyentuh ranah pengalaman. Pembelajaran yang menyentuh ranah
pengalaman akan membekas di benak siswa dan dapat direfleksikan oleh siswa
secara verbal maupun secara praktis. Agar pembelajaran mampu menyentuh ranah
pengalaman siswa, maka guru perlu menciptakan situasi belajar yang mengajak
siswa untuk ‘berkecimpung’ dalam
kegiatan pembalajaran itu sendiri, secara utuh. Selama ini pembelajaran dikelas
hanya didominasi dengan penyampaian teori, sehingga terjadi pemisahan antara pikiran
dengan tubuh siswa dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Berikut ini sebuah
ilustrasi yang menggambarkan degradasi kedalaman belajar:
Gambar 2. Degradasi
kedalaman belajar. (Sumber: penulis)
Keterangan:
1. Belajar
pada tahap ini masih terjadi pemisahan antara pikiran dengan tubuh, biasanya
metode pembelajaran yang digunakan adalah ceramah, sehingga siswa cenderung
tidak ‘berkecimpung’ dalam
pembelajaran.
2. Tahap
selanjutnya adalah pembelajaran dengan menghafal. Menghafal suatu konsep
merupakan aktifitas pikiran saja, belum melibatkan tubuh dalam situasi
pembelajaran, sehingga dalam tempo tertentu hafalan tidak akan bertahan lama.
3. Pada
tahap ini siswa sudah mulai ‘dilibatkan’
dalam proses pembelajaran untuk memperoleh suatu pemahaman, biasanya siswa
diajak untuk mengerjakan soal, berdiskusi, dan tanya jawab. Namun demikian
pembelajaran dengan model-model tersebut belum cukup mampu menyentuh ranah
pengalaman siswa, karena masih terjadi pemisahan antara pikiran dan tubuh siswa.
4. Model
pembelajaran dengan mengajak siswa menganalisis materi atau suatu permasalahan
bisa dikatakan hampir menyentuh ranah pengalaman belajar siswa. Pada tahap
analisis siswa akan memperoleh pemahaman dalam mengkorelasikan,
mengkomparasikan, dan menganalogikan teori dengan realitas dalam kehidupan.
5. Tahap
selanjutnya adalah tahap yang sudah menyentuh ranah pengalaman. Pembelajaran
dengan model simulasi, praktek langsung, bermain peran, atau bahkan terjun
langsung pada ‘latar materi pembelajaran’
akan sangat membekas dalam benak siswa.
Pikiran
bekerja lebih banyak dan lebih berat, tubuh kurang diberikan aktivitas dalam
proses pembelajaran. Pola belajar yang memisahkan antara pikiran dengan tubuh
hanya mampu menyentuh tataran kognitif siswa dalam ranah ingatan saja, dan
ingatan bersifat temporer. Pola belajar yang mampu menyentuh ranah pengalaman
siswa akan lebih membekas dalam ingatan siswa, kerena siswa diajak untuk terjun
langsung dalam ‘latar materi pembelajaran’.
Dengan demikian, proses pembelajaran yang telah menyentuh ranah pengalaman
siswa akan memberikan hasil yang lebih nyata. Ini karena siswa akan memiliki
pemahaman yang mendalam sekaligus mampu mengaplikasikan teori maupun praktek
yang dipelajarinya. Terlebih jika siswa dihadapkan pada situasi serupa yang
berkaitan dengan substansi belajar yang diperolehnya melalui pembelajaran yang
menyentuh ranah pengalaman belajar.
B.
Implementasi
Paradigma Baru Pendidikan Sistemik-Organik di Indonesia.
Pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial
masyarakat untuk mengembangkan sustu sistem pembinaan anggota masyarakat yang
relevan dengan tuntutan perubahan jaman. Abad globalisasi telah menyajikan
nilai-nilai baru, pengertian baru, serta perubahan-perubahan di seluruh ruang
lingkup kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak bisa diduga-duga. Oleh
sebab itu, dunia pendidikan perlu membelaki diri dengan perangkat pembelajaran
yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan atmosfir tuntutan
global.
Penguasaan teknologi informasi, penyediaan sumber
daya manusia yang profesional, terampil, dan berdaya guna bagi masyarakat,
kemahiran menerapkan iptek, perwujudan tatanan sosial masyarakat yang terbuka,
demokratis, humanis, serta progresif dalam menghadapi kemajuan jaman merupakan
beberapa bekal mutlak yang harus dimiliki oleh semua bangsa di dunia ini yang
ingin tetap bertahan menghadapi tata masyarakat baru berwujud globalisasi
(diunduh dari http://indonesiadalamtulisan.blogspot.com/2012/08/pendidikan-dan-perubahan-sosial-budaya.html,
diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012).
Ditengah-tengah kompleksitas problematika pendidikan
di Indonesia, terutama mengenai proses pendidikan yang belum menunjukkan
pengaruh yang siginifikan dalam pembentukan konstruksi individu peserta didik
yang utuh. Paradigma baru pendidikan sistemik-organik diharapkan mampu
memberikan terobosan baru yang solutif bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan formal memang mengembangkan
pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam sistem teknologi
produksi. Namun, realitanya, pengetahuan dan kemampuan teknologi yang diterima
dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.
Paradigma pendidikan yang selama ini berkembang di
Indonesia adalah paradigma struktural fungsional dan paradigma sosial, yang
selama ini digunakan untuk mengembangkan kebijakan pendidikan. Paradigma
fungsional struktural melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan
masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan
dan sikap modern. ( diunduh dari http://hafismuaddab.wordpress.com/tag/paradigma-fungsional
-pendidikan/?blogsub=confirming#subscribe-blog,
diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012).
Muara dari paradigma baru pendidikan sistemik
organik adalah kemampuan lembaga pendidikan formal untuk dapat menghasilkan
sumber daya manusia Indonesia yang dibutuhkan oleh jaman. Konsepsi pendidikan
sistemik-organik di Indonesia belum banyak diperkenalkan dikalangan pendidikan
formal, sehingga wajar jika implementasinya pun belum banyak diterapkan secara
nasional. Pendidikan sistemik-organik menuntut pendidikan dilaksanakan secara double track. Hal ini pun belum
dilaksanakan oleh lembaga pendidikan formal di Indonesia. Lembaga pendidikan
formal yang mengusung paradigma pendidikan sistemik-organik masih minim secara
kuantitas. Sekolah-sekolah berstandar internasional, maupun sekolah bertarif
mahal pada dasarnya telah melkasanakan pendidikan sistemik-organik dalam proses
pembelajarannya, meskipun mungkin belum secara keseluruhan.
Pelaksanaan pendidikan sistemik-organik akan
mencapai hasil optimal manakala semua komponen pendidikan diarahkan untuk
mendukung berkembangnya paradigma ini. Namun demikian usaha yang telah
dilakukan secara parsial oleh lembaga pendidikan formal untuk menciptakan
pendidikan sistemik-organik tetap harus diapresiasi secara positif. Sebagai
contoh adalah adanya Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang diselenggarakan oleh
sekolah-sekolah kejuruan. Siswa dalam kurun waktu tertentu dapat mengaplikasikan
pembelajaran teori dan prakteknya di sekolah pada lingkungan kerja yang riil.
C.
Peranan
Guru dalam Mewujudkan Pendidikan Sistemik-Organik.
Guru
merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan pendidikan. Anggapan tersebut
tidak keliru, mengingat gurulah yang berdiri di barisan terdepan dalam mendidik
anak bangsa. Guru pula yang membimbing peserta didik dalam proses pembelajaran
yang dilangsungkan. Oleh karenanya, guru memiliki peranan yang sangat strategis
dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Tanpa menafikan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses pembelajaran,
untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan maka guru dituntut untuk
profesional dalam menjalankan tugasnya.
Pembelajaran
biasanya dilakukan di ruang kelas. Ternyata dari proses pembelajaran di ruang
kelas pula lah sumber daya manusia sebagai aset pembangunan nasional, dibentuk.
Pembentukan sumber daya manusia tersebut meliputi pembentukan kecakapan secara
kognitif, afektif, dan kecakapan psikomotor. Sayangnya proses pembelajaran yang
masih banyak dipraktekkan sampai sekarang adalah pembelajaran konvensional yang
didominasi dengan pembentukan kecakapan kognitif saja. Kesuksesasn seseorang
tidak bisa diukur dari prestasi secara kognitif dan penguasaan kognitifnya
saja, karena setiap indivudu pembelajar memiliki kemampuan yang beragam. Proses
pembelajaran konvensional telah menciptakan model-model pembelajaran yang
dangkal, yang kurang menggali kemampuan peserta didik, kurang bisa
mengakomodasi potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Melihat kondisi
tersebut, guru memiliki peranan yang urgent,
paling tidak dalam menciptakan suasana pembelajaran yang seirama dengan
paradigma pendidikan sitemik-organik.
Pendidikan
sistemik-organik menghendaki siswa ditempatkan sebagai subjek belajar dalam
suatu proses pembelajaran. Penempatan tersebut hanya bisa dilakukan oleh guru,
karena guru berperan sebagai fasilitator terhadap proses pembelajaran yang
berlangsung. Siswa akan tergerak manakala guru mempelopori pembelajaran yang
berbasis keaktivan siswa. Konsep learning
based on students activities akan mampu memunculkan antusiasme siswa untuk
melibatkan dirinya dalam situasi pembelajarajaran di kelas. Pembelajaran di kelas
tidak melulu sebuah aktivitas transfer ilmu dari guru pada muridnya, tetapi
memberikan porsi yang besar pada siswa untuk menimba pengalaman dari
pembelajaran yang dilangsungkan.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa kebanyakan guru di Indonesia terjebak dalam kebiasaan mengajar
yang konvensional. Tidak heran bila guru menghadapi masalah-masalah umum dalam
proses pembelajaran yang dilangsungkan di kelasnya. Masalah-masalah umum
tersebut seperti: rendahnya antusiasme siswa; siswa cenderung pasif dalam
mengikuti proses pembelajaran; nilai ulangan siswa yang dibawah kriteria
ketuntasan minimal, dan segudang permasalahan umum lainnya. Sebenarnya guru
dapat memperbaiki kondisi tersebut dan menjadi bagian dari masyarakat
pendidikan yang berkomitmen kuat untuk mendorong tumbuhnya paradigma pendidikan
sistemik-organik yang dimulai dari dirinya sendiri.
Komitmen kuat yang dimiliki oleh guru, akan
mendorong guru untuk kreatif dan inovatif dalam pembelajaran yang
dilangsungkannya. Komitmen kuat itu pula yang akan mendorong guru untuk keluar
dari kebiasaan mengajar yang konvensional menjadi seorang fasilitator proses
pembelajaran yang menyenangkan. Proses pembelajaran sebagai bagian dari
alur dalam paradigma pendidikan yang berkembang, dipandang sebagai point utama dalam upaya pembentukan
sumber daya manusia yang cakap pada level persekolahan. Ini artinya, proses
pembelajaran berangkat atau diawali dari pembelajaran di kelas. Pembelajaran di
kelas pada umumnya dilakukan oleh guru dengan siswa dalam suatu situasi
belajar. Guru memiliki kekuasaan untuk menciptakan suatu situasi belajar yang
disana melibatkan interaksi antara baik guru dan siswa dalam kelas tersebut.
Dikatakan disini 'kekuasaan' karena gurulah yang mampu menciptakan
situasi maupun kondisi pembelajaran yang dikehendaki. Tergantung bagaimana guru
dalam menyampaikan materi; dalam merangkul peserta didiknya dalam suatu
interaksi pembelajaran yang seimbang; atau hanya didominasi oleh guru saja;
atau bahkan situasi dikontrol oleh kelas karena ketidakmampuan guru dalam
penguasaan kelas, semua tergantung pada guru. Guru harus mampu mengelola kelas
dan mengolah segala potensi maupun menghadapi kemungkinan-kemungkinan hambatan
dalam pembelajaran di kelasnya (diunduh dari http://zukizukazuku.blogspot.com/, diakses
pada Rabu, 03 Oktober 2012).
Penguasaan kelas merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh guru. Guru
harus bisa menerima keadaan siswanya (dengan berbagai latar belakang, sikap di
kelas, baik terhadap guru, terhadap temannya, terhadap mata pelajaran, dsb).
Penerimaan tersebut bisa dikatakan sebagai langkah awal guru untuk mengenali
karakter siswa dan mendalami siswa (dalam hal ini menemukan bakat dan minat
siswa, kesulitan-kesulitan siswa dalam kelas yang diampu oleh guru). Guru
jangan berharap dapat ‘diterima’ oleh
kelas bilamana guru tidak terlebih dahulu ‘menerima’
kelas tersebut. Kelas yang komposisi siswanya pintar, tertib, dan cenderung
taat aturan, mungkin tidak membuat guru kerepotan untuk menerima siswa dengan
karakteristik seperti itu. Akan tetapi, jika sebagian siswa dalam kelas
memiliki karakteristik yang sebaliknya, tentu dibutuhkan kesabaran, usaha keras
dan keberanian guru untuk menerima kelas yang demikian.
Penerimaan satu sama lain menjadi hal yang penting jika proses pembelajaran
yang baik adalah tujuan yang diharapkan dalam proses tersebut. Interaksi yang
sehat antara siwa dengan guru akan memberikan dampak positif bagi pencapaian
tujuan pembelajaran. Kiat-kiat untuk bisa 'diterima'
oleh siswa perlu dilakukan tanpa merusak wibawa guru dihadapan siswa.
Diantaranya adalah: (1) guru harus berpenampilan menarik tetapi tetap santun;
(2) guru bersikap ramah dan terbuka terhadap siswa; (3) guru senantiasa
melakukan persiapan sebelum proses pembelajaran, dalam hal ini termasuk
menyiapkan diri dalam hal penguasaan materi pembelajaran; (4) guru tiba tepat
waktu dan mengakhiri pembelajaran sesuai jam pelajaran yang ditentukan, dan
sebagainya.
Proses pembelajaran yang seimbang adalah pembelajaran yang memposisikan
baik guru maupun siswa secara porposional. Berikut akan dijelaskan
mengenai aspek-aspek pembelajaran yang seimbang, (diunduh dari http://zukizukazuku.blogspot.com/, diakses
pada Rabu, 03 Oktober 2012) yakni:
1. Pembelajaran yang seimbang dalam porsi pengaturan
waktu/jam pelajaran secara fair.
Dari alokasi waktu pembelajaran di
kelas yang sudah ada ketentuannya, porsi masing-masing untuk membagi waktu yang
ada, harus dilakukan dengan bijaksana. Guru memiliki kesempatan untuk
memberikan arahan pada siswa, dan siswa memiliki kesempatan untuk aktualisasi
diri dalam proses pembelajaran yang dilangsungkan. Dengan demikian guru telah
menempatkan dirinya sebagai seorang fasilitator, motivator, dan partner bagi
siswa di dalam kelas.
Kesempatan untuk siswa
mengaktualisasikan dirinya dalam suasana belajar, merupakan bentuk latihan dan
pembiasaan bagi siswa untuk berani bertindak, mengambil keputusan, dan
bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil secara individu dan sebagai
individu yang mandiri. Aktualisasi diri siswa merupakan hal yang penting untuk
menumbuhkan kepercayaan diri siswa dan menumbuhkan kesadaran siswa sebagai
pribadi dan sebagai individu bagian dari masyarakat. Aktualisasi diri menjadi
bekal bagi siswa dalam menghadapi dinamika kehidupannya, bahkan setelah siswa
lulus dari pendidikan formal. Memberikan kesempatan siswa untuk mengaktualisasikan
dirinya berbeda dengan anggapan membentuk siswa sebagai pribadi yang
individualistis.
Realitas dalam kehidupan di era
globalisasi, kompetisi tidak hanya terjadi pada lingkup lokal yang sempit,
tetapi kompetisi sudah mencapai tataran yang global, sehingga pendidikan pun
harus dikemas sedemikian rupa agar mampu menjawab tuntutan jaman dan memenuhi
kebutuhan masyarakat modern, tanpa meninggalkan karakteristik dan budaya bangsa
yang luhur.
2. Pembelajaran yang seimbang dalam porsi penyampaian
materi (dalam hal ini secara kognisi).
Anggapan yang menyatakan bahwa guru
sebagai satu-satunya sumber belajar sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan.
Apalagi jika guru bertindak sebagai partner siswa dalam pembelajaran, guru
tidak seharusnya bersikap keras kepala dan menganggap bahwa pendapatnya adalah
yang paling benar. Dalam proses pembelajaran yang interaktif, guru harus mampu
mestimulus siswa untuk menunjukkan pemikirannya, guru harus mampu pula menerima
pendapat siswa bilamana pendapat tersebut memang benar atau logis, bahkan jika
pendapat tersebut mematahkan pendapat yang telah disampaikan oleh guru
sebelumnya. Tentunya adu argumen harus dalam arahan guru, sehingga penyampaian
pendapat dapat dilakukan dengan cara-cara yang santun.
Di era perkembangan teknologi
informasi yang pesat, memungkinkan semua orang mampu mengakses berbagai
informasi. Oleh krena itu pemanfaatan teknologi informasi sebagai salah satu
sumber pembelajaran menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran. Materi
pembelajaran bisa diakses dengan mudah dan cepat, baik oleh guru maupun siswa,
sehingga senantiasa mengikuti perkembangan informasi menjadi keharusan bagi
seorang guru. Terutama informasi-informasi segar yang berkaitan dengan mata
pelajaran yang diampunya. Penguasaan guru terhadap materi pembelajaran akan
menumbuhkan kepercayaan siswa terhadap kapasitas dan profesionalisme guru. Dilain
pihak guru sendiri akan lebih mantap menjalankan tugasnya sebagai pendidik yang
profesional.
3. Pembelajaran yang seimbang dalam porsi hard skill dan soft skill.
Penggunaaan istilah hard skill dalam pendidikan sering
diartikan sebagai kemampuan siswa dalam penguasaan kompetensi pembelajaran baik
dalam tataran teoritis maupun praktis. Penyelenggaraan pendidikan yang
mengutamakan proses pembelajaran difokuskan untuk memaksimalkan proses
interaksi antara guru dan siswa dalam situasi belajar yang based on student activities, dengan harapan siswa menyerap proses
pembelajaran dan mampu mentranformasikannya secara aplikatif.
Keberhasilan proses pembelajaran
tidak cukup hanya diukur dari kemampuan siswa dalam menguasai kompetensi yang
telah dipelajari. Dengan kata lain hard
skill saja tidak cukup. Pembentukan sumber daya manusia yang cakap ilmu
harus dibarengi dengan pembangunan karakteristik sebagai pribadi bangsa
Indonesia yang baik. Oleh karenanya, pendidikan karakter merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Tidak bisa dipungkiri
bahwa baik-buruknya sifat dan sikap seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor.
Akan tetapi lembaga pendidikan tentunya memiliki andil yang besar dalam
membentuk karakteristik bangsa.
Dalam setiap proses pembelajaran
yang dilangsungkan antara guru dengan peserta didik, harus menyertakan
pendidikan karakter. Guru harus mampu menciptakan desain dan situasi pembelajaran
yang terelasi dengan pengembangan karakter siswa secara positif. Berikut ini
adalah delapan belas nilai pendidikan karakter yang harus dikembangkan dalam
pembelajaran di sekolah:
Tabel 1. 18 Nilai Pendidikan Karakter di
Sekolah
NO.
|
NILAI-NILAI
|
DESKRIPSI NILAI
|
1.
|
Religius
|
Sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakanajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
|
2.
|
Jujur
|
Perilaku yang didasarkan pada
upaya menjadikan dirinyasebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
|
3.
|
Toleransi
|
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama,suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
|
4.
|
Disiplin
|
Tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuhpada berbagai ketentuan dan
peraturan.
|
5.
|
Kerja Keras
|
Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguhdalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
6.
|
Kreatif
|
Berpikir dan melakukan sesuatu
untuk menghasilkan caraatau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
|
7..
|
Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
padaorang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
|
8.
|
Demokratis
|
Cara berfikir, bersikap, dan
bertindak yang menilai samahak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
|
9.
|
Rasa Ingin Tahu
|
Sikap dan
tindakan yang selalu berupaya untukmengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
|
10.
|
Semangat Kebangsaan
|
Cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yangmenempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
|
11.
|
Cinta Tanah Air
|
Cara berfikir, bersikap, dan
berbuat yang menunjukkankesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
bangsa.
|
12.
|
Menghargai Prestasi
|
Sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untukmenghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui,
serta menghormati keberhasilan orang lain.
|
13.
|
Bersahabat/ Komuniktif
|
Tindakan
yang memperlihatkan rasa senang berbicara,bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain.
|
14.
|
Cinta Damai
|
Sikap, perkataan, dan tindakan
yang menyebabkan oranglain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
|
15.
|
GemarMembaca
|
Kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagaibacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
|
16.
|
Peduli Lingkungan
|
Sikap dan
tindakan yang selalu berupaya mencegahkerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
|
17.
|
Peduli Sosial
|
Sikap dan
tindakan yang selalu ingin memberi bantuanpada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
|
18.
|
Tanggung jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugasdan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap
diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan
Tuhan Yang Maha Esa.
|
Sumber: Teach For Indonesia, forum pemerhati pendidikan dalam facebook
(diunduh dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=127089700706053, diakses pada Kamis, 04 Oktober
2012).
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dalam situasi pembelajaran sangat
tergantung pada kreativitas dan inovasi guru. Dalam strategi pembelajaran guru
harus mendesain agar nilai-nilai tersebut terkorelasi baik dalam materi maupun
aktivitas pembelajaran yang dilakukan. Model pembelajaran yang digunakan oleh
guru disinergikan dengan nilai-nilai yang ingin dikembangkan. Contoh
sederhananya adalah model pembelajaran cooperative investigation, dalam model
pembelajaran ini, ada keterpaduan antara model inkuiri dengan model belajar
berkelompok. Melalui pembelajaran cooperative investigation, siswa dituntut
untuk menemukan sendiri informasi tentang materi yang dipelajari dan bekerja
sama dalam suatu kelompok belajar, dengan demikian nilai pendidikan karakter
seperti rasa ingin tahu, mandiri, peduli sosial, gemar membaca, demokratis, dan
bertanggung jawab telah dikembangkan oleh guru dalam strategi pembelajarannya.
Proses pembelajaran seimbang sebagaimana telah dirumuskan di atas, menjadi
bagian penting dalam pelaksaan paradigma pendidikan sistemik-organik.
Pembelajaran sistemik organik menempatkan baik guru dan peserta didik sebagai
subjek penting dalam interaksi pembelajaran. Keberhasilan dalam mengaplikasikan
pendidikan sistemik-organik yang dimulai dari ruang kelas, berangkat dari
komitmen guru untuk memiliki perspektif modern mengenai hakikat pelaksanaan
pembelajaran, dimana guru berfungsi sebagai motor penggeraknya. Komitmen guru
untuk benar-benar mengoptimalkan proses pembalajaran yang seimbang tersebut
akan mampu menstimulus siswa untuk bersikap kreatif, berpikiran kritis, serta
inovatif. Karena guru telah terbiasa menciptakan iklim kelas yang interaktif,
penuh keterbukaan, dan memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk
mengembangkan kemampuannya.
Paradigma pendidikan yang senatiasa berubah dari waktu-kewaktu ditujukan
demi perbaikan kualitas pendidikan bagi bangsa. Pendidikan sebagai institusi
yang berfungsi sebagai pembentuk dan pembangun sumber daya manusia yang cakap,
tangguh, dan berkarakter harus diarahkan untuk mampu menghadapi tantangan di
era globalisasi. Melalui pendidikan, kerjasama yang solid dan sinergis dari
semua aspek diharapkan mampu mengatasi problematika yang dihadapi bangsa.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan
memiliki peranan vital dalam pemebentukan sumber daya manusia bagi pembangunan.
Era globalisasi telah merubah berbagai tatanan dalam kehidupan, sehingga
paradigma pendidikan yang tepat dipandang sebagai salah satu solusi dalam
menghadapi globalisasi. Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional
tidak bisa lepas dari globalisme. Sebagai negara berkembang, banyak persoalan
bangsa yang harus dihadapi. Salah satunya adalah kualitas dan kapasitas sumber
daya manusia Indonesia yang mampu menjawab tantangan jaman.
Paradigma
pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal, sistem
persekolahan, harus memiliki ciri-ciri, sebagai berikut: (1) pendidikan lebih
menekankan pada proses pembelajaran (learning)
daripada mengajar (teaching); (2)
Pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel; (3) Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan
mandiri; serta (4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Paradigma baru pendidikan
sistemik-organik perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan nasional, agar
pendidikan sejalan dengan kebutuhan pasar kerja. Namun demikian pendidikan di
era modern tidak boleh meninggalkan karakteristik kebangsaan yang Pancasilais.
Secara
implementatif, pendidikan sistemik-organik merupakan konsepsi paradigma
pendidikan yang tergolong baru di Indonesia. Pelaksanaan pendidikan
sistemik-organik belum banyak diperkenalkan pada lingkup pendidikan formal,
meskipun secara parsial dapat diidentifikasi bahwa beberapa jenjang
persekolahan telah melaksanakannya. Perwujudan konsepsi paradigma baru
pendidikan sistemik-organik di Indonesia perlu disosialisasikan lebih lanjut
pada lingkup pendidikan formal. Segenap komponen-komponen pendidikan diarahkan
untuk menciptakan pendidikan yang bersifat double
track, dimana pendidikan tidak boleh lepas dari dunia luar, dan agar
pendidikan lebih bersifat inklusif.
Perwujudan
pendidikan sistemik-organik pada tingkat mikro, bisa dimulai dari proses
pembelajaran yang melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik. Terutama
guru harus memiliki komitmen yang kuat dan secara pribadi mempelopori
implementasi pendidikan sistemik-organik dari pembelajaran di kelas dengan
prisip-prinsip pembelajaran yang seimbang. Pembelajaran yang seimbang antara
lain: (1) Pembelajaran yang seimbang dalam porsi pengaturan waktu/jam pelajaran
secara fair; (2) Pembelajaran
yang seimbang dalam porsi penyampaian materi (dalam hal ini secara kognisi);
dan (3) Pembelajaran yang seimbang dalam porsi hard skill dan soft skill.
Formulasi pembelajaran yang seimbang tersebut sebagai bentuk aplikasi
pendidikan sistemik-organik pada lingkup pembelajaran di kelas.
B.
Implikasi
Penulisan
makalah mengenai paradigma baru pendidikan sitemik-organik ini diharapkan mampu
memberikan pengaruh positif terutama bagi guru untuk memulai mengaplikasikan
pendidikan sistemik-organik pada lingkup pembelajaran yang diampunya. Selain
itu penulisan makalah ini bermaksud memberikan sudut pandang mengenai
pendidikan sistemik-organik yang difokuskan pada proses pembelajaran di kelas,
sehingga diharapkan munculnya berbagai sudut pandang lain yang akan menambah
pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai topik tersebut.
C.
Saran
Pelaku dan
pemerhati pendidikan agar memberikan ulasan dan formulasi yang lengkap dan
jelas mengenai hakikat paradigma baru pendidikan sistemik-organik. Minimnya
sumber yang berkaitan dengan pendidikan sistemik-organik menyebabkan konsepsi
ini dimaknai secara multi tafsir, bahkan oleh penulis sendiri. Implementasi
paradigma baru pendidikan sistemik-organik yang dipandang mampu mengatasi
permasalahan rendahnya sumber daya manusia hasil cetakan lembaga pendidikan
formal, tidak mungkin terwujud tanpa adanya kerjasama yang sinergis dari
berbagai pihak.
Oleh karena itu, jika
pendidikan menuntut bersifat double track,
maka langkah-langkah untuk merangkul stakehoders
perlu diupayakan secara serius. Bila perlu menjadikan langkah tersebut sebagai
bagian dari pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Namun demikian, sebelum
mengambil tindakan tersebut perlu dilakukan sosialisasi bagi pelaku dan
pemerhati pendidikan untuk memahami arti, maksud, tujuan, dan koridor kerja
yang sesuai dengan konsepsi pendidikan sistemik-organik itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Andri
Hakim. Hipnosis In Teaching (Cara Dahsyat Mendidikan dan Mengajar). Jakarta:
Visimedia, 2011.
De
Porter Bobbi, dkk. Quantun Teaching (Mempraktekkan Quantum Learning di
Ruang-Ruang Kelas). Bandung: Kaifa, 2003.
Munif
Chatib. Sekolahnya Manusia (Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di
Indonesia). Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2012
Rusman.
Seri Managemen Sekolah Bermutu, Model-model Pembelajaran (Mengembangkan
Profesionalisme Guru). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
INTERNET:
Carapedia
Online. Pengertian dan Devinisi Pembelajaran Menurut Para Ahli, diunduh dari http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembelajaran_menurut_para_ahli_info507.html,
di akses pada 01 Oktober 2012.
Elly
Nurcahyati. Permasalahan Pendidikan di Indonesia, diunduh dari http://blog.elearning.unesa.ac.id/elly-nurcahyanti/makalah-permasalahan-pendidikan-di-indonesia-beserta-solusinya,
diakses pada Sabtu, 15 September 2012.
Hany
Pratiwi. Pendidikan dan Perubahan Sosial Budaya, diunduh dari http://indonesiadalamtulisan.blogspot.com/2012/08/pendidikan-dan--------perubahan-sosial-budaya.html,
diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012.
Hafis
Muadaddab. Paradigma struktural fungsional dalam Pendidikan di Indonesia,
diunduh dari http://hafismuaddab.wordpress.com/tag/paradigma-fungsional
-pendidikan/?blogsub=confirming#subscribe-blog,
diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012.
Republika
Online. Tingginya Angka Penggangguran Terdidik di Indonesia, diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/12/ma8dl2-kemenpora-pengangguran-terdidik-capai-4781-persen,
diakses pada Sabtu, 15 September 2012.
Sutisna.
Paradigma Pendidikan di Indonesia, diunduh dari http://sutisna.com/pendidikan/cara-pandang-interaktif-terhadap-kualitas-output/,
diakses pada Kamis, 20 September 2012.
Teach For
Indonesia, forum pemerhati pendidikan dalam facebook,
diunduh dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=127089700706053, diakses
pada Kamis, 04 Oktober 2012.
Uak
Sena. Hakikat Pendidikan, diunduh dari http://rumah-blog-baca.blogspot.com/2011/07/hakikat-pendidikan.html,
diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012.
Zuky
Iriani. Komitmen Guru di Dalam Kelas, diunduh dari http://zukizukazuku.blogspot.com/, diakses
pada Rabu, 03 Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar