my 24-7 notez

Rabu, 03 Oktober 2012

MAKALAH PARADIGMA BARU PENDIDIKAN SISTEMIK-ORGANIK


Judul: PARADIGMA BARU PENDIDIKAN SISTEMIK ORGANIK.
By: ZUKY IRIANI
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan faktor penentu kemajuan dan keberhasilan dalam pembangunan di segala bidang. Pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan suatu bangsa untuk dapat meraih cita-cita dan tujuan nasional. Meskipun demikian, harus diakui pula bahwa pendidikan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara ini. Paradigma pendidikan di Indonesia senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan paradigma pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan suatu paradigma baru dalam pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan dan tuntutan jaman.
Kualitas komponen-komponen pendidikan sebagai pembentuk suatu paradigma pendidikan yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan bangsa, menjadi penentu bentuk paradigma pendidikan yang mutakhir. Salah satunya dimulai dari bangku pendidikan formal. Pendidikan formal atau persekolahan selama ini bekerja secara mekanis seperti halnya sebuah pabrik. Dikatakan demikian karena persekolahan hanya menekankan pada alur inputprosesoutput saja. Sekolah memposisikan siswa sabagai raw input, kemudian dididik di sekolah hingga lulus. Sering kali kualitas lulusan siswa (yang merupakan output pendidikan), kurang menjadi fokus utama.  Sekolah yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang cakap dan kompeten, seringkali mengabaikan aspek-aspek penting bahwa kelak siswa harus terjun di dunia kerja dan terjun di tengah-tengah masyarakat.
Ini menandakan bahwa paradigma pendidikan nasional belum mampu menjadi penggerak kemajuan dan pembangunan bangsa secara optimal. Penekanan kualitas pendidikan pada tahap proses dalam alur pendidikan telah mulai mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Banyak kalangan yakin bahwa pendidikan mampu menghasilkan output yang cakap, manakala ada penjaminan mutu terhadap proses pendidikan di bangku sekolah. Penjaminan mutu yang dimaksud adalah bahwa segenap unsur pendidikan digerakkan untuk menjalankan proses pendidikan yang berkualitas tinggi, yaitu proses pendidikan yang kreatif, inovatif, serta mampu mengarahkan peserta didik untuk menjawab tantangan jaman. Dengan demikian sekolah tidak terjebak pada rutinitas semu sebagai ‘penghasil’ sumber daya manusia saja. Akan tetapi, sekolah harus mampu menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten, yang dibutuhkan oleh pasar kerja.
Kenyataan yang terjadi, lembaga-lembaga pendidikan formal dalam hal ini sekolah di Indonesia belum mampu menciptakan sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Masih menurut survei dari lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia (diunduh dari http://blog.elearning.unesa.ac.id/elly-nurcahyanti/makalah-permasalahan-pendidikan-di-indonesia-beserta-solusinya, diakses pada Sabtu, 15 September 2012).
Bukti rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia diatas, tidak terlepas dari paradigma pendidikan yang selama ini berkembang di Indonesia. Proses pendidikan yang selama ini terjadi bisa dikatakan didominasi transfer pengetahuan dari guru ke murid. Penekanan proses pendidikan terutama hanya dari aspek kognitif saja, sedangkan aspek afektif dan psikomotor siswa kurang dikembangkan. Itu pun sebatas pada fokus terhadap nilai akhir sebagai pencapaian utama proses pendidikan yang dilangsungkan. Pola pikir pendidikan yang memposisikan nilai siswa sebagai final result harus diubah. Sumber daya manusia Indonesia sebagai produk dari penyelenggaraan pendidikan selama ini belum dapat memenuhi kualitas yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Angka pengganguran terdidik di Indonesia cukup tinggi, hal ini disebutkan oleh Asisten Deputi Bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Muh.Abud Musa'ad. Beliau mengatakan bahwa, angka pengangguran pemuda terdidik mencapai 41,81 persen dari total angka pengangguran nasional (diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/12/ma8dl2-kemenpora-pengangguran-terdidik-capai-4781-persen, diakses pada Sabtu, 15 September 2012).
Tidak bisa dipungkiri bahwa, salah satu penyebab tingginya angka penggangguran terdidik adalah tidak singkronnya antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Kondisi lain yang menunjang semakin tingginya angka pengangguran terdidik adalah pendidikan tinggi di Indonesia kurang memberikan pelatihan dan ilmu yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang ada. Pendidikan tinggi terkesan mengejar kuantitas lulusan tanpa memperhatikan kualitas lulusan.
Proses pendidikan yang baik adalah bilamana pembelajaran memberikan hasil akhir yang tidak hanya berhenti pada nilai berupa angka, tetapi siswa memiliki kompetensi terkait dengan pembelajaran yang diperolehnya, siswa mampu mentranformasikan nilai-nilai yang diperolehnya dari proses pembelajaran pada kehidupan nyata. Hasil pembelajaran siswa benar-benar membekas dan membangun pribadi siswa yang cakap, tangguh, dan kompeten, sehingga singkron dengan kebutuhan pasar kerja.
Berbagai inovasi dalam pendidikan saat ini banyak dikembangkan. Tujuannya adalah agar sumber daya manusia yang dihasilkan dari suatu proses pendidikan, memiliki kapasitas dan kualitas yang memadai. Kapasitas dan kualitas sumber daya manusia yang tangguh merupakan aset penting dalam pembangunan nasional. Paradigma baru pendidikan sistemik-organik merupakan bentuk inovasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Paradigma baru pendidikan sistemik-organik dirasakan mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan-permasalahan penyelenggaraan pendidikan konvensional. Hal ini dikarenakan, paradigma pendidikan sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat double track. Pendidikan bersifat double track artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya.
Selama ini pendidikan diposisikan terpisah dengan lingkungan di luar pendidikan. Idealnya, apa yang telah dipelajari di sekolah dalam suatu proses pendidikan seharusnya menjadi bekal untuk menghadapi dunia luar yang penuh tantangan. Konsepsi pemisahan dunia pendidikan dengan dunia di luar sekolah tidak lagi relevan diterapkan dalam proses pendidikan yang menghendaki adanya paradigma baru pendidikan sistemik-organik. Pendidikan konvensional yang menempatkan peserta didik hanya sebagai objek pun tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pembangunan sumber daya manusia yang tangguh, harus menempatkan sumber daya manusia yang ‘diolah’ dan ‘dikelola’ sebagai subjek yang memiliki karakteristik tersendiri sesuai bakat, minat, dan upaya untuk menjadikan mereka berhasil menemukan kelebihan dan jati dirinya. Komitmen tersebut harus berangkat dari jiwa para pendidik khususnya, dan pelaku pendidikan pada umumnya.
Perlu diketahui bahwa proses pendidikan yang berlangsung di sekolah mencakup tiga komponen utama yaitu: (1) proses pembelajaran; (2)  manajemen sekolah; dan (3) kultur sekolah. Ketiga komponen ini saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi, memiliki hubungan sebab akibat secara timbal balik (diunduh dari http://sutisna.com/pendidikan/cara-pandang-interaktif-terhadap-kualitas-output/, diakses pada Kamis, 20 September 2012). Keberhasilan suatu proses pendidikan sangat ditentukan oleh hubungan yang sinergis antara ketiga komponen tersebut. Ketiga komponen tersebut harus saling mendukung dan dikondisikan sedemikian rupa agar relevan dengan pendidikan sistemik-organik. Pengkondisian dalam hal ini, berarti ketiga komponen tersebut harus memerhatikan aspek-aspek lingkungan luar sebagaimana yang dikehendaki dalam pendidikan sistemik-organik harus bersifat double track. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Dengan sistem semacam ini, dunia pendidikan di Indonesia diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan cepat.
Mengacu pada pendidikan formal, pendidikan yang diberikan pada siswa sebenarnya dimulai dari ruang kelas. Bisa dikatakan bahwa produk pendidikan adalah pembelajaran yang dilakukan di kelas, antara guru dengan siswa. Aktivitas yang dilakukan di dalam kelas dengan kata lain merupakan proses pembelajaran itu sendiri. Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan dituntut untuk mampu mentransformasikan nilai-nilai yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Melihat hal tersebut, pendidikan sistemik-organik bisa dimulai dari ruang kelas, yakni penerapannya dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung. Tanpa menafikan dukungan dari komponen pendidikan yang lain, keberhasilan dalam implementasi pendidikan sistemik-organik menjadi tanggung jawab besar bagi peranan guru dalam pembelajaran.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana ciri-ciri paradigma baru pendidikan sistemik-organik?
2.      Bagaimana implementasi paradigma baru pendidikan sistemik-organik di Indonesia?
3.      Bagaimana peranan guru dalam mewujudkan pendidikan sistemik-organik?

C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka, tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1.      Mengidentifikasi ciri-ciri paradigma baru pendidikan sistemik-organik.
2.      Mengetahui implementasi paradigma baru pendidikan sistemik-organik di Indonesia.
3.      Mengetahui peranan guru dalam mewujudkan pendidikan sistemik-organik.

D.      Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai paradigma baru pendidikan sistemik-organik, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk penulisan dengan topik terkait. Manfaat praktisnya, antara lain:
1.      Diharapkan penulisan makalah ini dapat menjadi acuan bagi pendidik maupun praktisi pendidikan, agar mengaplikasikan paradigma baru pendidikan sistemik-organik dalam proses pembelajaran.
2.      Bagi sekolah, pendidikan sistemik-organik dapat dilaksanakan dengan optimal bilamana segenap komponen yang ada di sekolah diarahkan untuk mendukung suksesnya paradigma pendidikan sistemik-organik ini. Tujuannya agar proses pembelajaran dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cakap, tangguh, dan kompeten.
3.      Bagi guru, agar bersedia mengembangakan kompetensi dan perannya, sehingga guru dapat memulai praktek pendidikan sestemik-organik di kelas yang diampunya.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ciri-Ciri Paradigma Baru Pendidikan Sistemik-Organik.
Makin rumit dan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, menuntut dimunculkannya paradigma pendidikan masa depan yang dinilai lebih mampu menjawab tantangan zaman, yaitu paradigma pendidikan sistemik-organik. Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa segala objek, peristiwa, dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Penerapan sistem semacam ini di dunia pendidikan Indonesia, diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan cepat.
Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal, sistem persekolahan, harus memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:
1.       Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching).
Selama ini pendidikan formal di Indonesia lebih didominasi dengan kegiatan mengajar, sehingga terdapat istilah KBM atau Kegiatan Belajar Mengajar yang lazim dalam pendidikan di Indonesia. Istilah KBM baru-baru ini mendapatkan kritik dari berbagai kalangan pemerhati pendidikan, yang sepakat untuk menggantinya dengan istilah ‘pembelajaran’. Istilah pembelajaran muncul bukan tanpa sebab. Banyak kalangan yang mulai menyadari bahwa pendidikan tidak akan dapat mencapai keberhasilannya jika diselenggarakan dengan cara-cara tradisional. Cara-cara tradisional yang dimaksud adalah memberikan batasan pada siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar di kelas. Terdapat perbedaan yang tajam mengenai pengertian ‘mengajar’ (teaching)  dengan ‘pembelajaran’ (learning), yang akan dijelaskan secara singkat pada bagian berikut ini:
a.       Mengajar (teaching).
Selama ini proses belajar di kelas lebih menekankan pada aktivitas ‘guru mengajar siswa’. Secara sederhana dapat diartikan bahwa guru berbicara, murid mendengarkan. Mengajar dalam pengertian tersebut, berarti porsi guru dalam proses belajar lebih besar dibandingkan dengan keterlibatan siswa dalam proses belajar yang berlangsung. Guru mendominasi proses pembelajaran di kelas dan sering kali guru dijadikan satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Tentu saja hal ini akan menghambat kreatifitas siswa dan mempersempit peluang siswa untuk mengetahui dunia luar yang lebih kaya akan sumber ilmu, pengetahuan, dan pengalaman. Kegiatan mengajar sering kali mengabaikan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa, tidak mengakui bakat siswa sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk berkembang.
b.      Pembelajaran (learning)
Berikut ini disebutkan beberapa devinisi pembelajaran menurut para ahli:
1.)    Knowless.
Pembelajaran adalah cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
2.)    Slavin.
Pembelajaran didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku individu yang disebabkan oleh pengalaman.
3.)    Woolfolk.
Pembelajaran berlaku apabila sesuatu pengalaman secara relatifnya menghasilkan perubahan kekal dalam pengetahuan dan tingkah laku.
4.)    Crow and Crow.
Pembelajaran adalah pemerolehan tabiat, pengetahuan dan sikap.
5.)    Rahil Mahyuddin.
Pembelajaran adalah perubahan tingkah laku yang melibatkan ketrampilan kognitif yaitu penguasaan ilmu dan perkembangan kemahiran intelek.
6.)    Achjar Chalil.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
7.)    Corey.
Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus.
8.)    G.A.Kimble.
Pembelajaran merupakan perubahan kekal secara relatif dalam keupayaan kelakuan akibat latihan yang diperkukuh (diunduh dari
http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembelajaran_menurut_para_ahli_info507.html, di akses pada 01 Oktober 2012).
Berdasarkan beberapa devinisi pembelajaran di atas, maka dapat diambil pokok penting yang terkandung dalam devinisi pembelajaran. Disebut dengan istilah pembelajaran karena dalam pembelajaran, keterlibatan guru dan siswa dalam proses belajar memiliki porsi yang seimbang. Proses pembelajaran tidak hanya menekankan pada peranan guru di dalam kelas, tetapi melibatkan siswa secara aktif di dalamnya, sehingga siswa memperoleh tidak hanya pengetahuan, tetapi keterampilan dan pengalaman langsung dari pembelajaran yang diselenggarakan. Dengan demikian pembelajaran mampu memberikan hasil berupa perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih positif.
Pendidikan sistemik-organik berpusat pada pembelajaran daripada kegiatan mengajar. Siswa ditempatkan sebagai subyek belajar, sehingga kebutuhan, kemampuan, potensi, dan bakat siswa dapat terakomodir di dalamnya. Pembelajaran yang dilakukan dengan baik, adalah pembelajaran yang melibatakan interaksi antara guru dengan siswa dalam situasi belajar yang berlangsung. Dari interaksi yang dilakukan, akan teridentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran. Tidak berhenti di situ saja, dari interaksi tersebut, pada perkembangan selanjutnya akan mampu diatasi kesulitan-kesulitan belajar secara bersama-sama. Dengan demikian proses pembelajaran yang optimal dapat mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan.
2.       Pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa, mencapai sekitar 235 juta dan posisinya tersebar ke berbagai pulau.  Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan pendidikan nasional yang andal.
Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Indonesia tidak bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga pada Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan suatu perencanaan strategik dalam sistem pendidikan nasionalnya, agar sanggup menghadapi berbagai tantangan tersebut.
Oleh karenannya, sistem pendidikan nasional perlu diorganisir dalam struktur yang fleksibel, yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan globalisasi, tanpa kehilangan jati diri pendidikan Indonesia yang Pancasilais. Idealnya, kebijakan dalam pendidikan nasional memiliki substansi yang mampu merangkul stakehoders untuk terlibat dalam sistem pendidikan formal. Pemisahan antara pendidikan formal dengan dunia luar, sudah tidak relevan lagi diterapkan di era globalisasi ini. Stakeholders memiliki peranan penting sebagai penyumbang dalam dunia pendidikan. 
Pengelolaan komponen-komponen dalam pendidikan formal dididesain dengan model yang tidak kaku dan sentralistis. Pengambil kebijakan dalam tingkat sekolah tidak boleh hanya terpusat pada kepala sekolah saja, atau pada stuktur organisasi sekolah saja. Eksklusivitas struktur organisasi sekolah akan membatasi keterlibatan semua warga sekolah untuk mencapai visi dan misi sekolah itu sendiri. Fleksibilitas dalam hal ini dimaksudkan agar pendidikan mampu menyesuaikan dengan kebutuhan, tuntutan, dan kondisi yang berlangsung. Bukan menjadikan lemahnya struktur pendidikan maupun lemahnya tiga komponen-komponen pendidikan formal.
Pendidikan sistemik-organik menghendaki agar komponen-komponen seperti: proses pembelajaran; managemen sekolah; dan kultur sekolah saling berinteraksi, menciptakan hubugan yang sinergis, menyambung, dan saling mempengaruhi. Pola interaksi yang setara antar komponen tersebut dapat dilihat pada skema berikut ini:
Skema 1. Pola interaksi tiga komponen pendidikan dalam pendidikan sistemik-organik.

Dalam skema di atas dapat dijelaskan bahwa setiap komponen memiliki andil yang sama besar dalam mempengaruhi terciptanya pendidikan sistemik-organik. Managemen sekolah yang memiliki wewenang untuk mengelola organisasi sekolah harus jeli melihat proses pembelajaran yang selama ini berlangsung di sekolah, dilain sisi juga harus jeli melihat bagaimana kultur sekolah yang selama ini berkembang di lingkungan sekolah. Selanjutnya managemen sekolah dapat menentukan arah kebijakan di tingkat sekolah dengan memperhatikan sekaligus melibatkan dua komponen yang lain.
Dalam sudut pandang yang lain, tidak bisa dipungkiri bahwa managemen sekolah pun sangat dipengaruhi oleh dua komponen lainnya. Sebenarnya masing-masing komponen memiliki andil yang sama besar dalam hubungan saling mempengaruhi paradigma pendidikan pada tataran mikro, dalam hal ini di lingkungan sekolah. Managemen sekolah yang solid, teroganisir secara sistematis tetapi tidak meninggalkan peranan aspek-aspek yang lain akan menciptakan proses pembelajaran dan kultur sekolah yang baik.
Struktur pendidikan yang fleksibel selain melihat pada tuntutan dan kebutuhan masa kini, juga menempatkan pola kehidupan yang demokratis di lingkungan sekolah. Namun demikian, penyelenggaraan pengelolaan yang demokratis tetap harus sesuai dengan koridor berupa aturan sistem pendidikan nasional. Di tengah-tengah berbagai kritik mengenai sistem pendidikan nasional yang diterapkan di Indonesia, inovasi dan kreativitas pendidikan yang ditujukan untuk perbaikan dan kemajuan sistem pendidikan nasional itu sendiri harus sesuai dengan aturan hukum yang belaku. Sinergi dalam hubungan horisontal dan hubungan vertikal yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional tetap dikedepankan.
3.       Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri.
Kualitas sumber daya manusia sebagai modal utama pembangunan, sering kali dikaitkan dengan kualitas pendidikan formal. Pendidikan formal memang bukan satu-satunya penjamin tingginya kualitas sumber daya manusia sebagai modal pembangunan, namun demikian pendidikan formal jelas memiliki pengaruh yang signifikan dalam ‘menghasilkan’ sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pembangunan. Sistem pola didik persekolahan pun menjadi sorotan penting, manakala sumber daya manusia ‘bentukan’ pendidikan formal belum mampu menjawab tantangan jaman.
Berbagai upaya perbaikan dalam sistem pola didik pun mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Semula sistem pola didik bertumpu pada ‘guru mengajar murid mendengar’, berubah menjadi sistem pola didik yang kini dikenal dengan istilah pembelajaran. Lembaga sekolah berlomba-lomba melakukan perbaikan terhadap tiga komponen pendidikan. Upaya tersebut bisa disebut sebagai upaya sekolah untuk ‘membangun’ sekolah. Membangun dalam artian non fisik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Munif Chatib dalam bukunya yang berjudul “Sekolahnya Manusia” (2012: xxi):
“Membangun sekolah, hakikatnya adalah membangun keunggulan sumber daya manusia. Sayangnya, banyak sekolah yang sadar atau tidak, malah membunuh banyak potensi peserta didiknya. Banyak sekolah di negeri ini yang berpredikat sebagai SEKOLAH ROBOT; mulai dari proses pembelajaran, target keberhasilan sekolah, sampai pada sistem penilaiannya”.
Pernyataan Munif Chatib tersebut bukan tanpa alasan. Sebagian besar praktek pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia bahkan di dunia, masih menempatkan dan memperlakukan peserta didik secara seragam. Perlu disadari bahwa alam dan seisinya ini dikelola oleh manusia yang kompetensi dan kecerdasannya sangat beragam. Jika kecerdasan yang beragam tersebut digali secara terus-menerus dengan cara yang tepat dan cepat, maka muncullah sumber daya manusia yang unggul dalam bidang linguistik, logis-matematis, musikal, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal. Sayangnya pendidikan yang umum berkembang belum memberikan tempat dan pengakuan terhadap kecerdasan individu yang beragam tersebut. Lembaga persekolahan masih membatasi diri, menilai kecerdasan hanya pada ranah kognitif saja. Parahnya lagi, perspektif ini memunculkan anggapan bahwa keberhasilan anak (peserta didik) tergantung seberapa besar penguasaannya dalam ranah kognitif.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang dipercayakan untuk menciptakan sumber daya manusia yang tangguh sebagai modal pembangunan belum optimal menjalankan fungsinya. Peserta didik diperlakukan serbasama, sehingga belum diperlakukan sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri. Persekolahan seolah-olah bekerja secara mekanis seperti sebuah pabrik yang ‘memproduksi’ sumber daya manusia dengan out come yang secara kuantitas tinggi, tatapi kualitas tidak dijamin. Kondisi tersebut dapat dianalogikan dengan ilustrasi berikut ini:




















Rectangular Callout: MASUK

Rectangular Callout: KELUAR















 










Gambar 1. Model pabrik dalam lembaga pendidikan (Dave Meier, 2002: 62).
Implementasi pendidikan sistemik-organik memiliki ciri memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri. Sekolah dalam hal ini memfasilitasi siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Proses pembelajaran yang dilakukan pun harus melihat pada karakter siswa sebagai individu dan kebutuhan siswa, serta melihat pada pola dan gaya belajar siswa. Selain dapat memberikan keuntungan dalam proses pembelajaran, hal ini akan menjadikan proses pembelajaran memberikan hasil yang lebih optimal.
Gaya belajar dan kemampuan siswa dalam menangkap pelajaran bisa berbeda-beda. Gaya belajar ini berkaitan dengan kemampuan siswa untuk mamahami isi pembelajaran dengan kemampuan yang berbeda-beda, antara lain secara audio, visual, dan audio-visual. Kemampuan tersebut akan sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam menyerap ilmu dan pengalaman dalam proses pembelajaran. Kemampuan ini pun masih harus dikaitkan dengan jenis kecerdasan yang dimiliki oleh siswa, seperti kecerdasan linguistik, logis-matematis, musikal, kinestetik, interpersonal atau intrapersonal.
Proses pembelajaran yang telah memperhatikan karakteristik siswa akan memudahkan siswa dan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Makna pembelajaran pun akan membekas dalam benak siswa, sehingga jika siswa harus mengaplikasikan apa yang telah dipelajari di kelas, maka akan lebih mudah pula. Dengan demikian, pembelajaran akan mampu memberikan perubahan terhadap perilaku siswa, bahkan memperkaya diri siswa sebagai sesosok individu maupun sebagai warga belajar.
4.       Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilaksanakan untuk memungkinkan manusia mempertahankan  dan mengembangkan kehidupannya dimasa yang akan datang, serta mengembangkan diri secara terus menerus dari satu generasi kegenerasi lainnya. Pendidikan kemudian berarti sebagai salah satu bentuk upaya dalam pembangunan yang  sekaligus menjadi alat  dan tujuan yang amat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Berdasarkan pengertian pendidikan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dikatakan berkesinambungan karena pendidikan tidak berhenti pada jenjang-jenjang pendidikan formal saja atau ketika peserta didik telah dewasa, tetapi pendidikan akan terus berlanjut hingga akhir hayat. Manfaat pendidikan pun akan membekas dan selalu berguna bagi individu yang memperoleh pendidikan tersebut.
Sebagai suatu proses berkesinambungan pendidikan merupakan  proses yang terimplikasi  bahwa dalam diri peserta didik terdapat kemampuan. Kemampuan tersebut sesungguhnya hanya dimiliki oleh manusia dan harus dikembangkan  dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup atau akan dihidupkan dalam  masyarakat. Proses tersebut seharusnya dilakukan secara berkesinambungan (terus menerus) dalam suatu interaksi dengan lingkungannya. Antara lain berupa lingkungan alam dan lingkungan sosial. Proses pendidikan yang berkesinambungan berarti bahwa pendidikan manusia tidak pernah berhenti ketika peserta didik telah menyelesaikan jenjang pendidikan formal, tetapi akan terus menerus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan sesama manusia serta lingkungan alamnya, (diunduh dari http://rumah-blog-baca.blogspot.com/2011/07/hakikat-pendidikan.html, diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012).
Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang berinteraksi dengan lingkungan. Di bagian atas telah disebutkan mengenai lingkungan dimana manusia berinteraksi. Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan pembelajaran riil. Disebut dengan lingkungan pembelajaran riil, karena di lingkungan tersebut dapat dilakukan pengamatan langsung suatu aplikasi pembelajaran, bahkan peserta didik dapat mengaplikasikan pembelajaran yang telah dilampaui di kelas, baik pembelajaran yang bersifat teoritis maupun praktis. Lingkungan pembelajaran riil antara lain:
a.       lingkungan yang mampu membentuk karakter siswa,
b.      lingkungan yang mampu memberikan pengalaman belajar bagi siswa, serta
c.       lingkungan yang berkaitan dengan dunia kerja.
Selama ini pendidikan seolah berdiri sendiri dan terpisah dari lingkungan tersebut. Pendidikan belum sepenuhnya membuka diri melalui interaksi yang intens dan berkelanjutan dengan lingkungan sebagaimana disebutkan di atas. Pembelajaran di sekolah masih didominasi dengan kegiatan di dalam kelas. Pendidikan nasional belum secara serempak berinteraksi dengan lingkungan luar yang sebenarnya mampu merefleksikan teori yang dipelajari di sekolah.
Sebagai contoh, sekolah yang melaksanakan aplikasi pembelajaran  di lingkungan dunia kerja masih sebatas dilakukan oleh sekolah kejuruan saja. Ini berarti untuk jenis mata pelajaran yang bukan kompetensi jurusan masih belum terakomodir untuk bisa berinteraksi dengan lingkungan pembelajaran riil. Sedangkan sekolah umum seakan-akan memiliki keterbatasan, atau bahkan membatasi diri dengan lingkungan dunia kerja yang memiliki relevansi dengan spesifikasi pendidikan yang ditempuh siswa.
Pembelajaran sistemik-organik menghendaki suatu proses pembelajaran uang utuh, tidak terkpikiran-kpikiran. Utuh dalam hal keterlibatan siswa, utuh dalam hal keterkaitan materi dengan lingkungan sekitar. Tujuan pembelajaran pada dasarnya adalah mengubah perilaku peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengalaman belajar akan mampu mengubah perilaku siswa manakala skala tingkatan pengkondisian belajar benar-benar menyentuh ranah pengalaman. Pembelajaran yang menyentuh ranah pengalaman akan membekas di benak siswa dan dapat direfleksikan oleh siswa secara verbal maupun secara praktis. Agar pembelajaran mampu menyentuh ranah pengalaman siswa, maka guru perlu menciptakan situasi belajar yang mengajak siswa untuk ‘berkecimpung’ dalam kegiatan pembalajaran itu sendiri, secara utuh. Selama ini pembelajaran dikelas hanya didominasi dengan penyampaian teori, sehingga terjadi pemisahan antara pikiran dengan tubuh siswa dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Berikut ini sebuah ilustrasi yang menggambarkan degradasi kedalaman belajar:


 






Gambar 2. Degradasi kedalaman belajar. (Sumber: penulis)
Keterangan:
1.      Belajar pada tahap ini masih terjadi pemisahan antara pikiran dengan tubuh, biasanya metode pembelajaran yang digunakan adalah ceramah, sehingga siswa cenderung tidak ‘berkecimpung’ dalam pembelajaran.
2.      Tahap selanjutnya adalah pembelajaran dengan menghafal. Menghafal suatu konsep merupakan aktifitas pikiran saja, belum melibatkan tubuh dalam situasi pembelajaran, sehingga dalam tempo tertentu hafalan tidak akan bertahan lama.
3.      Pada tahap ini siswa sudah mulai ‘dilibatkan’ dalam proses pembelajaran untuk memperoleh suatu pemahaman, biasanya siswa diajak untuk mengerjakan soal, berdiskusi, dan tanya jawab. Namun demikian pembelajaran dengan model-model tersebut belum cukup mampu menyentuh ranah pengalaman siswa, karena masih terjadi pemisahan antara pikiran dan tubuh siswa.
4.      Model pembelajaran dengan mengajak siswa menganalisis materi atau suatu permasalahan bisa dikatakan hampir menyentuh ranah pengalaman belajar siswa. Pada tahap analisis siswa akan memperoleh pemahaman dalam mengkorelasikan, mengkomparasikan, dan menganalogikan teori dengan realitas dalam kehidupan.
5.      Tahap selanjutnya adalah tahap yang sudah menyentuh ranah pengalaman. Pembelajaran dengan model simulasi, praktek langsung, bermain peran, atau bahkan terjun langsung pada ‘latar materi pembelajaran’ akan sangat membekas dalam benak siswa.

Pikiran bekerja lebih banyak dan lebih berat, tubuh kurang diberikan aktivitas dalam proses pembelajaran. Pola belajar yang memisahkan antara pikiran dengan tubuh hanya mampu menyentuh tataran kognitif siswa dalam ranah ingatan saja, dan ingatan bersifat temporer. Pola belajar yang mampu menyentuh ranah pengalaman siswa akan lebih membekas dalam ingatan siswa, kerena siswa diajak untuk terjun langsung dalam ‘latar materi pembelajaran’. Dengan demikian, proses pembelajaran yang telah menyentuh ranah pengalaman siswa akan memberikan hasil yang lebih nyata. Ini karena siswa akan memiliki pemahaman yang mendalam sekaligus mampu mengaplikasikan teori maupun praktek yang dipelajarinya. Terlebih jika siswa dihadapkan pada situasi serupa yang berkaitan dengan substansi belajar yang diperolehnya melalui pembelajaran yang menyentuh ranah pengalaman belajar.

B.       Implementasi Paradigma Baru Pendidikan Sistemik-Organik di Indonesia.
Pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial masyarakat untuk mengembangkan sustu sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan jaman. Abad globalisasi telah menyajikan nilai-nilai baru, pengertian baru, serta perubahan-perubahan di seluruh ruang lingkup kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak bisa diduga-duga. Oleh sebab itu, dunia pendidikan perlu membelaki diri dengan perangkat pembelajaran yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan atmosfir tuntutan global.
Penguasaan teknologi informasi, penyediaan sumber daya manusia yang profesional, terampil, dan berdaya guna bagi masyarakat, kemahiran menerapkan iptek, perwujudan tatanan sosial masyarakat yang terbuka, demokratis, humanis, serta progresif dalam menghadapi kemajuan jaman merupakan beberapa bekal mutlak yang harus dimiliki oleh semua bangsa di dunia ini yang ingin tetap bertahan menghadapi tata masyarakat baru berwujud globalisasi (diunduh dari http://indonesiadalamtulisan.blogspot.com/2012/08/pendidikan-dan-perubahan-sosial-budaya.html, diakses pada Rabu,  03 Oktober 2012).
Ditengah-tengah kompleksitas problematika pendidikan di Indonesia, terutama mengenai proses pendidikan yang belum menunjukkan pengaruh yang siginifikan dalam pembentukan konstruksi individu peserta didik yang utuh. Paradigma baru pendidikan sistemik-organik diharapkan mampu memberikan terobosan baru yang solutif bagi dunia pendidikan di Indonesia.  Pendidikan formal memang mengembangkan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam sistem teknologi produksi. Namun, realitanya, pengetahuan dan kemampuan teknologi yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.
Paradigma pendidikan yang selama ini berkembang di Indonesia adalah paradigma struktural fungsional dan paradigma sosial, yang selama ini digunakan untuk mengembangkan kebijakan pendidikan. Paradigma fungsional struktural melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. ( diunduh dari http://hafismuaddab.wordpress.com/tag/paradigma-fungsional -pendidikan/?blogsub=confirming#subscribe-blog, diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012). 
Muara dari paradigma baru pendidikan sistemik organik adalah kemampuan lembaga pendidikan formal untuk dapat menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang dibutuhkan oleh jaman. Konsepsi pendidikan sistemik-organik di Indonesia belum banyak diperkenalkan dikalangan pendidikan formal, sehingga wajar jika implementasinya pun belum banyak diterapkan secara nasional. Pendidikan sistemik-organik menuntut pendidikan dilaksanakan secara double track. Hal ini pun belum dilaksanakan oleh lembaga pendidikan formal di Indonesia. Lembaga pendidikan formal yang mengusung paradigma pendidikan sistemik-organik masih minim secara kuantitas. Sekolah-sekolah berstandar internasional, maupun sekolah bertarif mahal pada dasarnya telah melkasanakan pendidikan sistemik-organik dalam proses pembelajarannya, meskipun mungkin belum secara keseluruhan.
Pelaksanaan pendidikan sistemik-organik akan mencapai hasil optimal manakala semua komponen pendidikan diarahkan untuk mendukung berkembangnya paradigma ini. Namun demikian usaha yang telah dilakukan secara parsial oleh lembaga pendidikan formal untuk menciptakan pendidikan sistemik-organik tetap harus diapresiasi secara positif. Sebagai contoh adalah adanya Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah kejuruan. Siswa dalam kurun waktu tertentu dapat mengaplikasikan pembelajaran teori dan prakteknya di sekolah pada lingkungan kerja yang riil.

C.      Peranan Guru dalam Mewujudkan Pendidikan Sistemik-Organik.
Guru merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan pendidikan. Anggapan tersebut tidak keliru, mengingat gurulah yang berdiri di barisan terdepan dalam mendidik anak bangsa. Guru pula yang membimbing peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilangsungkan. Oleh karenanya, guru memiliki peranan yang sangat strategis dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Tanpa menafikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses pembelajaran, untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan maka guru dituntut untuk profesional dalam menjalankan tugasnya.
Pembelajaran biasanya dilakukan di ruang kelas. Ternyata dari proses pembelajaran di ruang kelas pula lah sumber daya manusia sebagai aset pembangunan nasional, dibentuk. Pembentukan sumber daya manusia tersebut meliputi pembentukan kecakapan secara kognitif, afektif, dan kecakapan psikomotor. Sayangnya proses pembelajaran yang masih banyak dipraktekkan sampai sekarang adalah pembelajaran konvensional yang didominasi dengan pembentukan kecakapan kognitif saja. Kesuksesasn seseorang tidak bisa diukur dari prestasi secara kognitif dan penguasaan kognitifnya saja, karena setiap indivudu pembelajar memiliki kemampuan yang beragam. Proses pembelajaran konvensional telah menciptakan model-model pembelajaran yang dangkal, yang kurang menggali kemampuan peserta didik, kurang bisa mengakomodasi potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Melihat kondisi tersebut, guru memiliki peranan yang urgent, paling tidak dalam menciptakan suasana pembelajaran yang seirama dengan paradigma pendidikan sitemik-organik.
Pendidikan sistemik-organik menghendaki siswa ditempatkan sebagai subjek belajar dalam suatu proses pembelajaran. Penempatan tersebut hanya bisa dilakukan oleh guru, karena guru berperan sebagai fasilitator terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa akan tergerak manakala guru mempelopori pembelajaran yang berbasis keaktivan siswa. Konsep learning based on students activities akan mampu memunculkan antusiasme siswa untuk melibatkan dirinya dalam situasi pembelajarajaran di kelas. Pembelajaran di kelas tidak melulu sebuah aktivitas transfer ilmu dari guru pada muridnya, tetapi memberikan porsi yang besar pada siswa untuk menimba pengalaman dari pembelajaran yang dilangsungkan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan guru di Indonesia terjebak dalam kebiasaan mengajar yang konvensional. Tidak heran bila guru menghadapi masalah-masalah umum dalam proses pembelajaran yang dilangsungkan di kelasnya. Masalah-masalah umum tersebut seperti: rendahnya antusiasme siswa; siswa cenderung pasif dalam mengikuti proses pembelajaran; nilai ulangan siswa yang dibawah kriteria ketuntasan minimal, dan segudang permasalahan umum lainnya. Sebenarnya guru dapat memperbaiki kondisi tersebut dan menjadi bagian dari masyarakat pendidikan yang berkomitmen kuat untuk mendorong tumbuhnya paradigma pendidikan sistemik-organik yang dimulai dari dirinya sendiri.
Komitmen kuat yang dimiliki oleh guru, akan mendorong guru untuk kreatif dan inovatif dalam pembelajaran yang dilangsungkannya. Komitmen kuat itu pula yang akan mendorong guru untuk keluar dari kebiasaan mengajar yang konvensional menjadi seorang fasilitator proses pembelajaran yang menyenangkan. Proses pembelajaran sebagai bagian dari alur dalam paradigma pendidikan yang berkembang, dipandang sebagai point utama dalam upaya pembentukan sumber daya manusia yang cakap pada level persekolahan. Ini artinya, proses pembelajaran berangkat atau diawali dari pembelajaran di kelas. Pembelajaran di kelas pada umumnya dilakukan oleh guru dengan siswa dalam suatu situasi belajar. Guru memiliki kekuasaan untuk menciptakan suatu situasi belajar yang disana melibatkan interaksi antara baik guru dan siswa dalam kelas tersebut. Dikatakan disini 'kekuasaan' karena gurulah yang mampu menciptakan situasi maupun kondisi pembelajaran yang dikehendaki. Tergantung bagaimana guru dalam menyampaikan materi; dalam merangkul peserta didiknya dalam suatu interaksi pembelajaran yang seimbang; atau hanya didominasi oleh guru saja; atau bahkan situasi dikontrol oleh kelas karena ketidakmampuan guru dalam penguasaan kelas, semua tergantung pada guru. Guru harus mampu mengelola kelas dan mengolah segala potensi maupun menghadapi kemungkinan-kemungkinan hambatan dalam pembelajaran di kelasnya (diunduh dari http://zukizukazuku.blogspot.com/, diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012). 
Penguasaan kelas merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh guru. Guru harus bisa menerima keadaan siswanya (dengan berbagai latar belakang, sikap di kelas, baik terhadap guru, terhadap temannya, terhadap mata pelajaran, dsb). Penerimaan tersebut bisa dikatakan sebagai langkah awal guru untuk mengenali karakter siswa dan mendalami siswa (dalam hal ini menemukan bakat dan minat siswa, kesulitan-kesulitan siswa dalam kelas yang diampu oleh guru). Guru jangan berharap dapat ‘diterima’ oleh kelas bilamana guru tidak terlebih dahulu ‘menerima’ kelas tersebut. Kelas yang komposisi siswanya pintar, tertib, dan cenderung taat aturan, mungkin tidak membuat guru kerepotan untuk menerima siswa dengan karakteristik seperti itu. Akan tetapi, jika sebagian siswa dalam kelas memiliki karakteristik yang sebaliknya, tentu dibutuhkan kesabaran, usaha keras dan keberanian guru untuk menerima kelas yang demikian.
Penerimaan satu sama lain menjadi hal yang penting jika proses pembelajaran yang baik adalah tujuan yang diharapkan dalam proses tersebut. Interaksi yang sehat antara siwa dengan guru akan memberikan dampak positif bagi pencapaian tujuan pembelajaran. Kiat-kiat untuk bisa 'diterima' oleh siswa perlu dilakukan tanpa merusak wibawa guru dihadapan siswa. Diantaranya adalah: (1) guru harus berpenampilan menarik tetapi tetap santun; (2) guru bersikap ramah dan terbuka terhadap siswa; (3) guru senantiasa melakukan persiapan sebelum proses pembelajaran, dalam hal ini termasuk menyiapkan diri dalam hal penguasaan materi pembelajaran; (4) guru tiba tepat waktu dan mengakhiri pembelajaran sesuai jam pelajaran yang ditentukan, dan sebagainya.
Proses pembelajaran yang seimbang adalah pembelajaran yang memposisikan baik guru maupun siswa  secara porposional. Berikut akan dijelaskan mengenai aspek-aspek pembelajaran yang seimbang, (diunduh dari http://zukizukazuku.blogspot.com/, diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012) yakni:
1.      Pembelajaran yang seimbang dalam porsi pengaturan waktu/jam pelajaran secara fair.
Dari alokasi waktu pembelajaran di kelas yang sudah ada ketentuannya, porsi masing-masing untuk membagi waktu yang ada, harus dilakukan dengan bijaksana. Guru memiliki kesempatan untuk memberikan arahan pada siswa, dan siswa memiliki kesempatan untuk aktualisasi diri dalam proses pembelajaran yang dilangsungkan. Dengan demikian guru telah menempatkan dirinya sebagai seorang fasilitator, motivator, dan partner bagi siswa di dalam kelas.
Kesempatan untuk siswa mengaktualisasikan dirinya dalam suasana belajar, merupakan bentuk latihan dan pembiasaan bagi siswa untuk berani bertindak, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil secara individu dan sebagai individu yang mandiri. Aktualisasi diri siswa merupakan hal yang penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri siswa dan menumbuhkan kesadaran siswa sebagai pribadi dan sebagai individu bagian dari masyarakat. Aktualisasi diri menjadi bekal bagi siswa dalam menghadapi dinamika kehidupannya, bahkan setelah siswa lulus dari pendidikan formal. Memberikan kesempatan siswa untuk mengaktualisasikan dirinya berbeda dengan anggapan membentuk siswa sebagai pribadi yang individualistis.
Realitas dalam kehidupan di era globalisasi, kompetisi tidak hanya terjadi pada lingkup lokal yang sempit, tetapi kompetisi sudah mencapai tataran yang global, sehingga pendidikan pun harus dikemas sedemikian rupa agar mampu menjawab tuntutan jaman dan memenuhi kebutuhan masyarakat modern, tanpa meninggalkan karakteristik dan budaya bangsa yang luhur.
2.      Pembelajaran yang seimbang dalam porsi penyampaian materi (dalam hal ini secara kognisi).
Anggapan yang menyatakan bahwa guru sebagai satu-satunya sumber belajar sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Apalagi jika guru bertindak sebagai partner siswa dalam pembelajaran, guru tidak seharusnya bersikap keras kepala dan menganggap bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Dalam proses pembelajaran yang interaktif, guru harus mampu mestimulus siswa untuk menunjukkan pemikirannya, guru harus mampu pula menerima pendapat siswa bilamana pendapat tersebut memang benar atau logis, bahkan jika pendapat tersebut mematahkan pendapat yang telah disampaikan oleh guru sebelumnya. Tentunya adu argumen harus dalam arahan guru, sehingga penyampaian pendapat dapat dilakukan dengan cara-cara yang santun.
Di era perkembangan teknologi informasi yang pesat, memungkinkan semua orang mampu mengakses berbagai informasi. Oleh krena itu pemanfaatan teknologi informasi sebagai salah satu sumber pembelajaran menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran. Materi pembelajaran bisa diakses dengan mudah dan cepat, baik oleh guru maupun siswa, sehingga senantiasa mengikuti perkembangan informasi menjadi keharusan bagi seorang guru. Terutama informasi-informasi segar yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diampunya. Penguasaan guru terhadap materi pembelajaran akan menumbuhkan kepercayaan siswa terhadap kapasitas dan profesionalisme guru. Dilain pihak guru sendiri akan lebih mantap menjalankan tugasnya sebagai pendidik yang profesional.
3.      Pembelajaran yang seimbang dalam porsi hard skill dan soft skill.
Penggunaaan istilah hard skill dalam pendidikan sering diartikan sebagai kemampuan siswa dalam penguasaan kompetensi pembelajaran baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Penyelenggaraan pendidikan yang mengutamakan proses pembelajaran difokuskan untuk memaksimalkan proses interaksi antara guru dan siswa dalam situasi belajar yang based on student activities, dengan harapan siswa menyerap proses pembelajaran dan mampu mentranformasikannya secara aplikatif.
Keberhasilan proses pembelajaran tidak cukup hanya diukur dari kemampuan siswa dalam menguasai kompetensi yang telah dipelajari. Dengan kata lain hard skill saja tidak cukup. Pembentukan sumber daya manusia yang cakap ilmu harus dibarengi dengan pembangunan karakteristik sebagai pribadi bangsa Indonesia yang baik. Oleh karenanya, pendidikan karakter merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Tidak bisa dipungkiri bahwa baik-buruknya sifat dan sikap seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor. Akan tetapi lembaga pendidikan tentunya memiliki andil yang besar dalam membentuk karakteristik bangsa.
Dalam setiap proses pembelajaran yang dilangsungkan antara guru dengan peserta didik, harus menyertakan pendidikan karakter. Guru harus mampu menciptakan desain dan situasi pembelajaran yang terelasi dengan pengembangan karakter siswa secara positif. Berikut ini adalah delapan belas nilai pendidikan karakter yang harus dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah:
Tabel 1. 18 Nilai Pendidikan Karakter di Sekolah
NO.
NILAI-NILAI
DESKRIPSI NILAI
1.
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakanajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinyasebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuhpada berbagai ketentuan dan peraturan.
5.
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguhdalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6.
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan caraatau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7..
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung padaorang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.
Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai samahak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9.
Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untukmengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10.
Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yangmenempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11.
Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkankesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.
Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untukmenghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.
Bersahabat/ Komuniktif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14.
Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan oranglain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.
GemarMembaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagaibacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.
Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegahkerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.
Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuanpada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.
Tanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugasdan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber: Teach For Indonesia, forum pemerhati pendidikan dalam facebook  (diunduh dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=127089700706053, diakses pada Kamis, 04 Oktober 2012).

Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dalam situasi pembelajaran sangat tergantung pada kreativitas dan inovasi guru. Dalam strategi pembelajaran guru harus mendesain agar nilai-nilai tersebut terkorelasi baik dalam materi maupun aktivitas pembelajaran yang dilakukan. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru disinergikan dengan nilai-nilai yang ingin dikembangkan. Contoh sederhananya adalah model pembelajaran cooperative investigation, dalam model pembelajaran ini, ada keterpaduan antara model inkuiri dengan model belajar berkelompok. Melalui pembelajaran cooperative investigation, siswa dituntut untuk menemukan sendiri informasi tentang materi yang dipelajari dan bekerja sama dalam suatu kelompok belajar, dengan demikian nilai pendidikan karakter seperti rasa ingin tahu, mandiri, peduli sosial, gemar membaca, demokratis, dan bertanggung jawab telah dikembangkan oleh guru dalam strategi pembelajarannya.
Proses pembelajaran seimbang sebagaimana telah dirumuskan di atas, menjadi bagian penting dalam pelaksaan paradigma pendidikan sistemik-organik. Pembelajaran sistemik organik menempatkan baik guru dan peserta didik sebagai subjek penting dalam interaksi pembelajaran. Keberhasilan dalam mengaplikasikan pendidikan sistemik-organik yang dimulai dari ruang kelas, berangkat dari komitmen guru untuk memiliki perspektif modern mengenai hakikat pelaksanaan pembelajaran, dimana guru berfungsi sebagai motor penggeraknya. Komitmen guru untuk benar-benar mengoptimalkan proses pembalajaran yang seimbang tersebut akan mampu menstimulus siswa untuk bersikap kreatif, berpikiran kritis, serta inovatif. Karena guru telah terbiasa menciptakan iklim kelas yang interaktif, penuh keterbukaan, dan memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengembangkan kemampuannya.
Paradigma pendidikan yang senatiasa berubah dari waktu-kewaktu ditujukan demi perbaikan kualitas pendidikan bagi bangsa. Pendidikan sebagai institusi yang berfungsi sebagai pembentuk dan pembangun sumber daya manusia yang cakap, tangguh, dan berkarakter harus diarahkan untuk mampu menghadapi tantangan di era globalisasi. Melalui pendidikan, kerjasama yang solid dan sinergis dari semua aspek diharapkan mampu mengatasi problematika yang dihadapi bangsa.
 
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pendidikan memiliki peranan vital dalam pemebentukan sumber daya manusia bagi pembangunan. Era globalisasi telah merubah berbagai tatanan dalam kehidupan, sehingga paradigma pendidikan yang tepat dipandang sebagai salah satu solusi dalam menghadapi globalisasi. Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional tidak bisa lepas dari globalisme. Sebagai negara berkembang, banyak persoalan bangsa yang harus dihadapi. Salah satunya adalah kualitas dan kapasitas sumber daya manusia Indonesia yang mampu menjawab tantangan jaman.
Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal, sistem persekolahan, harus memiliki ciri-ciri, sebagai berikut: (1) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); (2) Pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel; (3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri; serta (4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Paradigma baru pendidikan sistemik-organik perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan nasional, agar pendidikan sejalan dengan kebutuhan pasar kerja. Namun demikian pendidikan di era modern tidak boleh meninggalkan karakteristik kebangsaan yang Pancasilais.
Secara implementatif, pendidikan sistemik-organik merupakan konsepsi paradigma pendidikan yang tergolong baru di Indonesia. Pelaksanaan pendidikan sistemik-organik belum banyak diperkenalkan pada lingkup pendidikan formal, meskipun secara parsial dapat diidentifikasi bahwa beberapa jenjang persekolahan telah melaksanakannya. Perwujudan konsepsi paradigma baru pendidikan sistemik-organik di Indonesia perlu disosialisasikan lebih lanjut pada lingkup pendidikan formal. Segenap komponen-komponen pendidikan diarahkan untuk menciptakan pendidikan yang bersifat double track, dimana pendidikan tidak boleh lepas dari dunia luar, dan agar pendidikan lebih bersifat inklusif.
Perwujudan pendidikan sistemik-organik pada tingkat mikro, bisa dimulai dari proses pembelajaran yang melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik. Terutama guru harus memiliki komitmen yang kuat dan secara pribadi mempelopori implementasi pendidikan sistemik-organik dari pembelajaran di kelas dengan prisip-prinsip pembelajaran yang seimbang. Pembelajaran yang seimbang antara lain: (1) Pembelajaran yang seimbang dalam porsi pengaturan waktu/jam pelajaran secara fair; (2) Pembelajaran yang seimbang dalam porsi penyampaian materi (dalam hal ini secara kognisi); dan (3) Pembelajaran yang seimbang dalam porsi hard skill dan soft skill. Formulasi pembelajaran yang seimbang tersebut sebagai bentuk aplikasi pendidikan sistemik-organik pada lingkup pembelajaran di kelas.

B.       Implikasi
Penulisan makalah mengenai paradigma baru pendidikan sitemik-organik ini diharapkan mampu memberikan pengaruh positif terutama bagi guru untuk memulai mengaplikasikan pendidikan sistemik-organik pada lingkup pembelajaran yang diampunya. Selain itu penulisan makalah ini bermaksud memberikan sudut pandang mengenai pendidikan sistemik-organik yang difokuskan pada proses pembelajaran di kelas, sehingga diharapkan munculnya berbagai sudut pandang lain yang akan menambah pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai topik tersebut.
C.      Saran
Pelaku dan pemerhati pendidikan agar memberikan ulasan dan formulasi yang lengkap dan jelas mengenai hakikat paradigma baru pendidikan sistemik-organik. Minimnya sumber yang berkaitan dengan pendidikan sistemik-organik menyebabkan konsepsi ini dimaknai secara multi tafsir, bahkan oleh penulis sendiri. Implementasi paradigma baru pendidikan sistemik-organik yang dipandang mampu mengatasi permasalahan rendahnya sumber daya manusia hasil cetakan lembaga pendidikan formal, tidak mungkin terwujud tanpa adanya kerjasama yang sinergis dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, jika pendidikan menuntut bersifat double track, maka langkah-langkah untuk merangkul stakehoders perlu diupayakan secara serius. Bila perlu menjadikan langkah tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Namun demikian, sebelum mengambil tindakan tersebut perlu dilakukan sosialisasi bagi pelaku dan pemerhati pendidikan untuk memahami arti, maksud, tujuan, dan koridor kerja yang sesuai dengan konsepsi pendidikan sistemik-organik itu sendiri.
 
DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Andri Hakim. Hipnosis In Teaching (Cara Dahsyat Mendidikan dan Mengajar). Jakarta: Visimedia, 2011.
De Porter Bobbi, dkk. Quantun Teaching (Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas). Bandung: Kaifa, 2003.
Munif Chatib. Sekolahnya Manusia (Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia). Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2012
Rusman. Seri Managemen Sekolah Bermutu, Model-model Pembelajaran (Mengembangkan Profesionalisme Guru). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

INTERNET:
Carapedia Online. Pengertian dan Devinisi Pembelajaran Menurut Para Ahli, diunduh dari http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembelajaran_menurut_para_ahli_info507.html, di akses pada 01 Oktober 2012.
Elly Nurcahyati. Permasalahan Pendidikan di Indonesia, diunduh dari http://blog.elearning.unesa.ac.id/elly-nurcahyanti/makalah-permasalahan-pendidikan-di-indonesia-beserta-solusinya, diakses pada Sabtu, 15 September 2012.
Hany Pratiwi. Pendidikan dan Perubahan Sosial Budaya, diunduh dari http://indonesiadalamtulisan.blogspot.com/2012/08/pendidikan-dan--------perubahan-sosial-budaya.html, diakses pada Rabu,  03 Oktober 2012.
Hafis Muadaddab. Paradigma struktural fungsional dalam Pendidikan di Indonesia, diunduh dari http://hafismuaddab.wordpress.com/tag/paradigma-fungsional -pendidikan/?blogsub=confirming#subscribe-blog, diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012.
Republika Online. Tingginya Angka Penggangguran Terdidik di Indonesia, diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/12/ma8dl2-kemenpora-pengangguran-terdidik-capai-4781-persen, diakses pada Sabtu, 15 September 2012.
Sutisna. Paradigma Pendidikan di Indonesia, diunduh dari http://sutisna.com/pendidikan/cara-pandang-interaktif-terhadap-kualitas-output/, diakses pada Kamis, 20 September 2012.
Teach For Indonesia, forum pemerhati pendidikan dalam facebook, diunduh dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=127089700706053, diakses pada Kamis, 04 Oktober 2012.
Uak Sena. Hakikat Pendidikan, diunduh dari http://rumah-blog-baca.blogspot.com/2011/07/hakikat-pendidikan.html, diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012.
Zuky Iriani. Komitmen Guru di Dalam Kelas, diunduh dari http://zukizukazuku.blogspot.com/, diakses pada Rabu, 03 Oktober 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar