Disusun untuk memenuhi tugas matkul Masalah Sosial Aktual
Dosen pengampu: Mr. John Sabari
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Reputasi
Indonesia sebagai negara yang memiliki keluhuran budaya yang terpelihara,
masyarakat yang ramah, sopan santun, dan senantiasa menjunjung tinggi
nilai-nilai kepatutan di tengah-tengah masyarakat kini nampak mengalami
degradasi. Beragam faktor yang dituding sebagai penyebabnya sulit untuk
dibendung. Terlebih di era globalisasi dengan akses informasi yang serba cepat
dan serba terbuka. Apalagi ditambah dengan label modernitas, menjadikan
masyarakat seolah terlalu mudah menerima produk-produk modernitas. Produk-produk
modernitas tidak terbatas pada pengertian barang dan jasa, tetapi meliputi pula
ide, perspektif, perilaku, citra, bahasa, dan fenomena sosial kemasyarakatan
dalam arus utama kebudayaan.
Pada tingkat rendah, kapitalisme global ala
neo-liberal, membentuk gaya hidup baru manusia, yang diciptakan melalui trend. Kombinasi antara media massa,
citra, dan belanja secara bersamaan membentuk gaya hidup konsumerisme.
Konsumerisme adalah kecenderungan orang untuk mengidentifikasi dirinya, dengan
produk barang atau jasa yang mereka konsumsi. Khususnya dengan nama-nama merek
komersial dan daya tarik meningkatkan status. Masyarakat kapitalisme global ala
neo-liberal, dibangun di atas persaingan tinggi. Persaingan yang ketat antar
perusahaan, mendorong perusahaan membentuk pandangan baru dalam mengonsumsi
suatu barang. Mereka menciptakan perbedaan sekaligus persaingan gaya hidup.
Kondisi sosial kemudian dikonstruksikan di atas perbedaan. Konsumsi dalam
masyarakat global kini bukan lagi berurusan dengan nilai guna (use value), namun selalu berkaitan
dengan gaya hidup. Hal belanja misalnya, lebih didorong untuk memenuhi hasrat
daripada memenuhi kebutuhan, yang disuburkan melalui image dan diprovokasi melalui iklan.
Diakui atau
tidak, keberadaan neo-liberalisme pada dasarnya memiliki kekuatan yang besar
untuk menggerus nilai-nilai asli masyarakat, dimana nilai-nilai tersebut
merupakan warisan leluhur yang telah lama membentuk watak dan jiwa masyarakat
tradisional. Tidak semua hal yang bersifat tradisional selalu baik, namun harus
diakui pula bahwa, modernitas selain membawa dampak negatif, di lain sisi juga
memberikan perkembangan positif dalam dinamika masyarakat. Modernitas mampu
menggeser takhayul yang biasanya terpelihara dalam masyarakat tradisional,
namun nilai-nilai luhur harus tetap terjaga agar ada keseimbangan antara
penerimaan terhadap produk-produk modernitas beserta akibat buruk yang
dibawanya. Ini berarti nilai-nilai tradisional memiliki peran kontrol terhadap
pengaruh modernisasi. Namun sejauh mana fungsi peran kontrol tersebut dapat
dipegang oleh masyarakat, maka masyarakat pula lah yang menentukan nasibnya
sendiri.
Kebudayaan
sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat, tidak pernah menjadi suatu
objek yang bersifat statis. Kebudayaan selalu dipertahankan, terpelihara dan
dilestarikan, tetapi masyarakat tidak dapat mengelak dari lahirnya bentuk
kebudayaan baru. Kebudayaan sebagai karya dan karsa manusia akan terus ada
selama peradaban manusia berlangsung. Kecenderungan dalam dinamika masyarakat modern,
lahirnya bentuk-bentuk kebudayaan baru, sering kali justru berseberangan dengan
eksistensi bentuk budaya yang bersifat adiluhung (tinggi), yang merupakan
warisan budaya leluhur yang dinilai agung, klasik, original, tradisional, serta
mengindahkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.
Globalisasi
telah melahirkan bentuk-bentuk kebudayaan baru, sehingga muncul terminologi pop culture atau budaya pop. Pop culture merupakan akronim dari popular culture. Budaya massa merupakan
budaya yang ada dalam masyarakat dan sering disamakan dengan budaya popular.
Budaya massa besifat relatif, yaitu budaya rendah dan budaya tinggi, sedangkan
budaya popular lebih cenderung dimaknai sebagai kebudayaan rendah dengan
karakteristik banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan
untuk menyenangkan orang, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya
sendiri (diunduh dari http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/04/25/budaya-populer/,
diakses
pada Kamis, 19 September 2013).
Pop
culture sebagai bentuk kebudayaan masyarakat modern, sering
kali berseberangan dengan arus utama kebudayaan. Pop culture telah melahirkan urban
art. Secara harafiah, urban art
merupakan wujud ekspresi ‘estetika’ dari sekelompok msyarakat yang berada di
perkotaan. Akan tetapi melihat perkembangan sekarang, tidak hanya perkotaan
saja yang dilanda virus ini, melainkan juga sampai merambah pedesaan. Meskipun
tetap definitif, urban art merupakan
wujud pop culture khas perkotaan,
dimana pekerja seninya (art worker)
adalah para kaum urban.
Jika dilihat dari konsep dasarnya, urban art merupakan manifestasi seni yang mencirikan perkembangan
kota, dimana perkembangan tersebut, selanjutnya melahirkan sistem di masyarakat
yang secara struktur berbeda dengan struktur dan kultur yang ada di pedesaan.
Hal ini sekaligus mendobrak konsep seni yang selama ini berlatar belakang
tradisi, menjadi lebih merespon tradisi-tradisi baru (neo-cultural), terutama di daerah perkotaan yang secara demografis
dihuni oleh anggota masyarakat yang bersifat
heterogen. Urban
art lahir karena
adanya kerinduan untuk merespon kreativitas masyarakat yang tinggal di daerah
perkotaan dengan segala problematikanya.
Oleh karena itu muncul usaha dari sekelompok orang untuk
memamerkan dan mendatangkan seni di tengah-tengah masyarakat dengan cara
melakukan ‘kebebasan berekspresi’ di ruang publik. Ekspresi yang ditampilkan
adalah ekspresi yang mencoba memotret permasalahan-permasalahan yang terjadi dan
kerap mendominasi mereka sebagai masyarakat urban. Permasalahan ini mencakup
aspek sosial, ekonomi, politik, dan juga budaya. Melalui media seni dan
dilatarbelakangi oleh pertumbuhan dan kapitalisasi kota itu sendiri.
Yogyakarta,
sebagai salah satu kota di Indonesia yang dipandang sebagai kota kebudayaan
turut memberikan sumbangan besar terhadap tumbuh suburnya urban art dalam lingkup kebudayaan lokal dan nasional. Urban art di kota Yogyakarta menampakkan
dirinya dalam wujud berbagai produk pop
culture seperti graffiti, vandalism,
mural, kebebasan berekspresi yang dituangkan dalam beragam produk berupa barang
seperti kaos, topi, jaket, stiker dan lain sebagainya. Dipandang dari segi
kreatifitas, urban art memang
memiliki nilai tersendiri, namun bukan berarti hal ini tidak menimbulkan
potensi masalah sosial di tengah-tengah masyarakat.
Pekerja seni,
dan peminat produk urban art di
Yogyakarta, memang didominasi oleh kaum muda di kota ini. Urban art menjadi sangat digemari oleh kaum muda, karena dipandang sebagai
sarana untuk mengekspresikan diri, pernyataan terhadap kebebasan berpendapat,
bahkan bentuk pemberontakan terhadap aturan-aturan sosial yang dinilai
membatasi ‘jiwa muda’ kaum remaja. Saat ini mudah ditemui di jalan-jalan di
kota Yogyakarta anak-anak muda yang menggunakan kaos, stiker helm, sepeda
motor, maupun mobil yang yang memuat kata-kata kebebasan seperti “I MUST KILL U
FUCK”, “I HATE KIMCIL”, “PECAH NDASHE”, “SARKEM, INGAT NAMANYA LUPA RASANYA”,
dan lain sebagainya. Jika dipandang dari segi kepatutan, tentu kata-kata
tersebut tidak sesuai dengan watak keluhuran bangsa Indonesia.
Suburnya pop culture di kalangan masyarakat
perkotaan dipengaruhi oleh berbagai hal. Urban
art sebagai konsekuensi tumbuh suburnya pop
culture di Yogyakarta ternyata memberikan nuansa tersendiri dalam koridor
kebudayaan di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Kehadirannya ternyata juga
mampu memunculan ekonomi kerakyatan dengan industri kreatif yang semakin
berkembang dan memberikan kontribusi positif dalam koridor perekonomian di
Yogyakarta. Disamping implikasi tersebut, patut pula dikaji mengenai adanya
konsensus informal diantara kaum muda dalam mengidentifikasi dirinya, serta
mengidentifikasi komunitasnya. Dengan demikian akan diketahui dampak yang
ditimbulkan cenderung ke arah positif atau justru sebaliknya.
Menunjuk pada produk-produk
urban art yang memiliki kecenderungan
meminggirkan nilai-nilai kepatutan dimungkinkan akan merembes menjadi gaya
hidup di kalangan masyarakat. Artinya masyarakat mungkin menolak produk urban art yang dinilai bertentangan
dengan nilai-nilai umum kemasyarakatan, tapi jika dibiarkan maka masyarakat
akan terbiasa dengan ekspresi kebebasan yang kelewat batas. Lama kelamaan
masyarakat akan menerimanya tanpa perlawanan, tanpa ada upaya untuk menelaah
mana produk urban art yang memiliki kepatutan dan yang layak diterima oleh
masyarakat. Apalagi, penilaian masyarakat mengenai kepatutan merupakan hal yang
relatif. Ekstrimnya, nilai-nilai kepatutan seperti sopan santun, tidak
mengumbar aib di depan umum, menghargai keberadaan orang lain, akan menjadi
luntur.
Akan sangat
ironis rasanya, manakala harga diri manusia direndahkan oleh manusia itu
sendiri. Orang akan menganggap hal ‘biasa’ mencela orang lain, atau hal ‘biasa’
bekata kasar maupun berkata jorok. Bisa jadi, akan ada pergeseran makna
mengenai hal-hal tabu yang tidak lazim dan tidak selayaknya diungkapkan pada orang lain,
menjadi hal yang bebas diekspos di hadapan semua orang. Perkembangan urban art di Yogyakarta patut
diapresiasi, namun dilain pihak perlu pula diantisipasi, agar kebebasan
berekspresi tidak menjadi ‘kebablasan’, dalam artian kebebasan berpendapat yang
dangkal, liar, dan cenderung anarkis.
Kembali pada
relativitas penilaian masyarakat apakah jenis produk urban art yang demikian dipandang sebagai suatu masalah sosial atau
bukan, maka masyarakat pula lah yang kelak memutuskan. Jika ini dipandang
sebagai fenomena sosial yang berpotensi menimbulkan masalah, maka masyarakat
seharusnya tidak tinggal diam. Namun, jika masyarakat menerima hal ini sebagai
bagian dari dinamika sosial yang wajar dan tidak perlu ditakutkan, maka tidak
berlebihan rasanya jika kelak generasi muda Indonesia muncul dengan paras
neo-liberalism yang cenderung hedonis dan melupakan Pancasila.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan berikut ini:
1.
Bagaimana dilema yang ditimbulkan oleh tingginya
minat kaum muda Yogyakarta terhadap urban
art sebagai bagian dari pop culture
dalam konteks problematika sosial aktual di Yogyakarta?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini, yakni:
1. Mengetahui
dilema yang ditimbulkan oleh tingginya minat kaum muda Yogyakarta terhadap produk
urban art sebagai bagian dari pop culture dalam konteks problematika
sosial aktual di Yogyakarta.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dilema
yang Ditimbulkan oleh Berkembangnya Minat Kaum Muda Yogyakarta terhadap Produk Urban Art sebagai Bagian dari Pop Culture, Dalam Konteks Problematika
Sosial Aktual di Yogyakarta.
Keberadaan pop culture di tengah-tengah masyarakat
perkotaan di belahan dunia manapun tidak dapat dihindari. Pop culture yang telah melahirkan aliran baru berkesenian, yakni urban art mendapatkan berbagai macam
respon di kalangan masyarakat. Urban art
lebih mudah diterima oleh kaum muda, bahkan berbagai produk urban art dapat dikatakan tinggi
peminatnya. Urban art dapat dikatakan
sebagai bentuk revolusi berkesenian, karena ekspresi kesenian dalam urban art berbeda dengan kesenian dalam
kebudayaan arus utama.
Di Yogyakarta,
salah satu bentuk revolusi berkesenian dalam aliran urban art diwujudkan dalam bentuk penuangan ekspresi ke dalam seni
graffiti, vandalism, dan mural. Ekspresi
kebebasan berpendapat ini dituangkan dalam bentuk visualisasi berupa gambar
maupun tulisan. Diantara produk urban art
tersebut, terdapat pula produk-produk komersil urban art yang mudah diperoleh seperti kaos, topi, jaket, stiker dan
beragam jenis asesoris. Kebanyakan berisi mengenai pesan tertentu, baik dalam
bentuk gambar maupun kata-kata.
Ekspresi
kebebasan berpendapat yang dituangkan dalam gambar maupun kata-kata tersebut
biasanya memiliki berbagai pesan
bermakna, antara lain: (1) makna positif seperti kata-kata motivasi,
nasionalisme, protes politik, dan lain sebagainya; (2) makna konotatif, atau
pesan yang bersifat metafora, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran
tergantung pada orang yang mengartikannya; (3) maupun yang bermakna negatif,
seperti kekerasan, kata-tata seronok yang cenderung vulgar, menyerempet ke hal-hal yang berbau
porno; (4) parodi, yakni sekadar pesan lucu, serta (5) hanya sekadar mengangkat
tema tertentu yang sedang trend di
media massa dan sedang banyak dikenal dan digemari oleh masyarakat.
Gambar 1. Produk urban art berupa kaos, dengan berbagai makna didalamnya.
Tingginya minat
kaum muda terhadap produk-produk ini dapat diketahui dari semakin meningkatnya
penjualan berbagai produk garmen dan asesoris seperti kaos, jaket, topi, tas,
maupun stiker yang terkategori dalam urban
art. Selain dari jumlah penjualan, kemunculan distro-distro yang
memproduksi dan menjual produk kaos dan stiker dalam basis bisnis indie clothing semakin menjamur di
Yogyakarta. Produk-produk komersil aliran urban
art memang terkesan sangat berjiwa muda. Mayoritas peminatnya adalah kaum
muda yang akan merasa senang dan lebih percaya diri jika ia dilabeli dengan
sebutan ‘keren’, cuek, bahkan tidak
jarang akan merasa senang dengan kesan anti kemapanan.
Diawali sekitar
tahun 2000, perkembangan indie clothing
hingga saat ini menunjukkan perkembangan yang menggairahkan. Berbagai
penyelenggaraan pameran indie clothing
yang dimotori oleh penggiat bisnis produk-produk bergenre urban art, selalu mendapatkan minat pasar, terutama kaum muda.
Penyelenggaraan pameran produk urban art
tidak hanya di Yogyakarta, namun digelar juga di kota-kota besar seperti; Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Ini
menunjukkan bahwa minat masyarakat terhadap produk-produk urban art memang mendapatkan respons positif dari pasar.
Disebut sebagai
dilema, manakala seseorang maupun masyarakat dihadapkan pada dua hal atau
beberapa pilihan yang memiliki sisi baik dan buruk. Demikian halnya dengan
permasalahan tingginya minat masyarakat terhadap produk-produk urban art. Pop culture dalam lingkup lokal telah mendorong munculnya komunitas
yang mengatasnamakan pekerja seni yang menghasilkan beragam produk urbant art. Meskipun dalam tulisan ini
memberikan kritikan yang tajam terhadap kemunculan produk-produk urban art, namun tulisan ini tidak
mengeneralisir semua produk yang terkategori dalam urban art.
Banyak pula
produk-produk urban art yang memiliki
nilai seni yang patut diapresiasi, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
sosial kemasyarakatan yang Pancasilais. Produk-produk urban art yang mendapatkan kritik dalam tulisan ini menunjuk pada
beragam produk yang mengumbar aib, berkesan seronok, dangkal, dan merendahkan
harkat dan martabat manusia. Berikut akan dipaparkan dilema apa yang
ditimbulkan oleh tingginya minat kaum muda Yogyakarta terhadap produk urban art sebagai bagian dari pop culture, dalam konteks problematika
sosial aktual di Yogyakarta:
1.
Urban art memunculkan gairah industri
kreatif di tengah-tengah permasalahan sulitnya mencari lapangan pekerjaan.
Sulitnya mencari
lapangan pekerjaan merupakan masalah utama yang sering dihadapi oleh
negara-negara miskin dan berkembang, sebagaimana di Indonesia. Setiap tahun,
Indonesia selalu mengalami permasalahan meningkatnya jumlah penggangguran di
usia produktif, maupun penggangguran terdidik. Menciptakan lapangan kerja
sendiri, akan mengurangi permasalahan tersebut. Paling tidak, ketergantungan
masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja sedikit
teratasi.
Industri kreatif dapat diartikan sebagai kumpulan
aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan
dan informasi. Industri kreatif juga dikenal dengan nama lain industri budaya
(terutama di Eropa) atau juga ekonomi kreatif. Kementerian Perdagangan Indonesia menyatakan
bahwa industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas,
keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta
lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya
cipta individu tersebut.
Menurut Howkins,
Ekonomi Kreatif terdiri dari periklanan, arsitektur, seni, kerajinan. desain, fashion, film, musik, seni pertunjukkan,
penerbitan, Penelitian dan Pengembangan (R&D
/ Research and Development), perangkat lunak, mainan dan permainan, Televisi
dan Radio, dan Permainan Video. Muncul pula definisi yang berbeda-beda mengenai
sektor ini. Namun sejauh ini penjelasan Howkins masih belum diakui secara
internasional. Industri kreatif dipandang semakin penting dalam mendukung
kesejahteraan dalam perekonomian, berbagai pihak berpendapat bahwa kreativitas manusia
adalah sumber daya ekonomi utama dan bahwa industri abad kedua puluh satu akan
tergantung pada produksi pengetahuan melalui kreativitas dan inovasi (diunduh
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Industri_kreatif,
diakses pada Minggu, 22 September 2013).
Salah satu
konsep usaha fesyen khusus anak muda yang paling popular adalah distro (distribution store). Perkembangan usaha clothing dengan segmen pasar anak muda
dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah distro yang menjual
produk-produk fashion untuk kalangan
muda. Produk-produk fashion yang
ditawarkan memiliki genre urban art
dilihat dari sisi kreativitas desain produk yang dijual. Berdasarkan keterangan
dari Ade Andriansyah, sekretaris Kreatif Independent
Clothing Community, pada tahun 2009 saja industri kreatif berbasis industri
lokal dan komunitas tersebut bisa menyerap banyak tenaga kerja dan mengangkat
ekonomi kreatif kawula muda. Pada tahun 2009, jumlah indie clothing dan distro di Indonesia mencapai 1.000 buah dan tersebar
di 94 kota, termasuk di Yogyakarta, (diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2009/04/20/090171208/Pameran-Distro-di-Yogya-Target-Panitia-Keruk-Rp-5-miliar,
diakses
pada Minggu,
22 September 2013). Sedangkan saat ini jumlah distro telah mencapai ribuan, dan
setengahnya berada di Bandung, karena Bandung dinilai sebagai pelopor bisnis clothing distro.
Beragam brand cloting anak muda, semua
menawarkan produksi pakaian buatan sendiri. Bagi anak muda fesyen adalah
kebutuhan yang trend-nya harus diikuti. Tidak heran bila banyak wirausaha
busana ala distro menjamur sampai saat ini. Di Yogyakarta, terdapat banyak
sekali distro yang tersebar di kota Yogyakarta, semuanya menawarkan produk
fesyen hasil kreativitas artist urban art.
Distro-distro ini pun memiliki nama-nama yang unik, yang sesuai dengan selera
anak muda, seperti: Colourboom, Brain, Invictus, Nimco, Bloods, Burger Kill, Seephylliz,
Kaospolos Jogja, Troy, Slackers, dan
lain sebagainya.
Gambar 3. Beberapa distro yang menjual
produk fesyen urban art di sekitar
wilayah Yoyakarta.
Meski konsep ini
sudah booming sejak tahun 2000,
hingga kini anak muda masih menjadikan distro sebagai arena belanja yang
memenuhi selera mereka. Kunci keberhasilan bisnis di bidang ini adalah
kreativitas serta kemampuan membaca selera konsumen. Distro lebih menonjolkan
kreativitas desain yang biasanya tidak diproduksi dalam jumlah missal. Hal ini
juga yang menjadikan kelebihan distro dibandingkan produk pabrikan, yakni desain
yang tidak pasaran (diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2013/01/14/bisnis-distro-kian-bergeliat-di-yogya/,
diakses pada Minggu, 22 September 2013).
2.
Urban
art sebagai sarana kebebasan berekspresi di ruang-ruang publik, termasuk di
fasilitas umum yang disediakan bagi masyarakat, jika tidak dikendalikan maka
akan terjadi vandalisme.
Pada bagian ini,
mengacu pada mural dan graffiti. Keduanya bisa berubah menjadi vandalism manakala ekspresi kebebasan
tersebut dituangkan di fasilitas-fasilitas umum yang jelas-jelas dilarang untuk
di coret-coret. Urban art jenis ini
harus tetap mendapatkan pengawasan dan pengendalian, agar kebebasan berekspresi
benar-benar ditujukan untuk seni dan estetika kota, bukan mengarah pada
perusakan dan pengotoran fasilitas-fasilitas umum. Mural dan graffiti merupakan
street art, karena hasil karya
seninya bisa dinikmati di jalan-jalan. Yogyakarta terkenal dengan seni mural
dan graffitinya, sehingga banyak areal publik yang sengaja dijadikan sebagai
objek bagi seniman mural dan graffiti untuk menunjukkan karya seninya.
Akan tetapi masih
ada pula komunitas tertentu yang secara sembunyi-sembunyi menorehkan ‘karyanya’
di tempat-tempat atau di fasilitas umum yang tidak diperbolehkan. Diantaranya
di perkantoran, di gerbong-gerbong kereta, dan lain sebagainya. Coret-coretan
yang justru merusak keindahan ini termasuk bentuk vandalism. Vandalisme biasanya dilakukan oleh orang untuk
menunjukkan eksistensinya. Vandalisme bisa berwujud coret-coretan ‘ngawur’ atau
dalam bentuk mural dan graffiti, tetapi ditujukan pada fasilitas-fasilitas umum
dengan kecenderungan merusak estetika. Urban
art dengan segala bentuk produk budayanya sangat bergantung pada pelaku
atau kreatornya.
Sebenarnya
apresiasi masyarakat Yogyakarta terhadap street
art, disambut baik pula dengan dukungan dari lembaga-lembaga tertentu
seperti perusahaan swasta, kantor pemerintah, lembaga pendidikan yang
memberikan ruang bagi kreatifitas seni mural dan graffiti. Mereka menyediakan
tempat, yakni dinding-dinding yang menghadap jalan untuk dibubuhi dengan
graffiti maupun mural. Bahkan beberapa perusahaan menjadi sponsor untuk
gerakkan muralisasi di jalan-jalan Yogyakarta. Hal ini tentu dipandang sebagai
hal yang positif bagi penyaluran kreativitas urban artist yang menaruh minat pada seni mural dan graffiti.
3.
Urban art sebagai wadah atas; ide, gagasan, serta
kreatifitas kaum muda dalam berkesenian, berekspresi, dan berpendapat.
Berbeda dengan
kebudayaan arus utama yang berciri warisan dari leluhur, bersifat adiluhung, dan
memiliki nila-nilai tradisional, urban
art memiliki tipikal tersendiri. Produk kebudayaan arus utama dapat
dinikmati di tempat-tempak yang bisa dikatakan berkelas, seperti galeri seni,
museum, maupun gedung teater, dengan penikmatnya yang terbatas pada kalangan
tertentu pula. Urban art memiliki ‘wajah’ yang berbeda, ia lahir dari
kreativitas masyarakat perkotaan yang mengangkat problematika dan dinamika
masyarakat itu sendiri. Ini menjadikan urban art lebih bisa menampung ide dan
gagasan masyarakat perkotaan, sekaligus lebih mudah dinikmati, karena
produk-produk urban art lebih eye catchy.
Melalui urban art pula, kritik-kritik sosial
muncul secara apik. Urban art dinilai sebagai sarana bagi
masyarakat kelas bawah untuk menyuarakan aspirasinya. Selain itu urban art sering digunakan sebagai
sarana untuk mengkampanyekan gerakan
tertentu yang dikemas secara persuasif. Selama ini, seni dianggap sebagai
bagian dari kebudayaan yang berlatar
belakang tradisi yang memiliki fungsi dan pengertian yang agung (adiluhung),
klasik, orisinil, serta tradisional. Akan tetapi, hal inilah yang membuat seni
menjadi berjarak dengan publik sebagai kreatoris dengan karya seni itu sendiri.
Keberadaan urban
art sebagai representasi dari pop
culture seolah meruntuhkan konstruksi seni dan karya seni yang selama ini
berkembang di masyarakat. Karya seni yang selama ini diterjemahkan oleh masyarakat
sebagai tradisi yang adiluhung dan hanya ‘pantas’ digelar di galery art saja, oleh mereka
(para seniman-seniman urban)
kebebasan ekspresi dijadikan semacam perspektif baru
dalam menciptakan sebuah karya seni. Realisasinya, karya seni tidak hanya dipamerkan di galery art saja, melainkan bisa
dinikmati oleh publik di mana saja.
Bahkan media-media yang ‘tak lazim’ pun dapat menjadi
media bagi seniman-seniman urban tersebut, atau yang kerap menyabut diri mereka
dengan sebutan writers, untuk
mengekspresikan ide-idenya. Mereka memanfaatkan fasilitas-fasilitas publik
sebagai sarana bertarung dengan media-media lainnya seperti iklan-iklan di
televisi misalnya.
Di sinilah wujud resistensi terhadap dominasi yang mereka alami selama ini. Fasilitas-fasilitas publik yang mereka jadikan media berekspresi menjadi bukti bahwa tujuan dari urban art sendiri adalah berakar pada perbedaan sikap politik, anti kemapanan, vandalism, dan perlawanan terhadap sistem dominan yang ada di masyarakat. Sedangkan bentuknya, bisa bermacam-macam, yang terpenting adalah tetap mengusung spirit dinamika kaum urban.
Di sinilah wujud resistensi terhadap dominasi yang mereka alami selama ini. Fasilitas-fasilitas publik yang mereka jadikan media berekspresi menjadi bukti bahwa tujuan dari urban art sendiri adalah berakar pada perbedaan sikap politik, anti kemapanan, vandalism, dan perlawanan terhadap sistem dominan yang ada di masyarakat. Sedangkan bentuknya, bisa bermacam-macam, yang terpenting adalah tetap mengusung spirit dinamika kaum urban.
4.
Urban
art memiliki magnet tersendiri bagi daya tarik pariwisata di Yogyakarta.
Seni graffiti
dan mural banyak tersebar di jalanan di kota Yogyakarta. Ini pula yang menambah
keunikan dan daya tarik kota Yogyakarta sebagai tempat tujuan wisata. Yogyakarta
memiliki banyak sebutan, diantaranya sebagai kota pelajar, kota gudeg, dan kini
dikenal pula sebagai Mural city.
Keberadaan karya
seni graffiti dan mural sebagai bentuk urban art justru memperkaya khasanah
kebudayaan Yogyakarta. Jika selama ini Yogyakarta memiliki ikon kebudayaan
klasik karena pengaruh tradisi dan keberadaan Kraton Ngayogyakarta, Yogyakarta
juga memiliki ikon kebudayaan modern yakni urban art dengan street art-nya yang
meliputi seni mural dan graffiti.
5.
Urban art menjadikan kaum muda cenderung
meminggirkan nilai-nilai kepatutan di tengah-tengah masyarakat.
Penilaian
masyarakat luas mengenai ukuran kepatutan memang merupakan hal yang sangat
subjektif. Patut bagi seseorang belum tentu patut menurut orang lain dan
sebaliknya. Namun demikian, tidak berlebihan rasanya jika hal yang patut dan
tidak patu dilihat dari kaca mata kesopansantunan dan kesusilaan. Beragam jenis bentuk dan produk yang termasuk
hasil kreativitas seniman-seniman urban
art yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Baik seni mural, graffiti yang
bisa dinikmati di ruang-ruang public maupun untuk tujuan komersial, seperti
fesyen dan beragam asesoris untuk menunjuang penampilan.
Produk-produk
komersil urban art sangat digemari
oleh kawula muda, karena dinilai mampu mengikuti selera anak muda yang sesuai
dengan trend. Menggunakan produk-produk ini akan meningkatkan kepercayaan diri
sekaligus dipandang tidak ketinggalan jaman. Demi memperoleh label ‘keren’ dan
‘gaul’, kaum muda tidak segan berpenampilan ‘nyleneh’. Makna kata ‘keren’
diasumsikan dalam bentuk penampilan yang unik, berani beda, rock n roll, anti kemapanan, seksi,
tidak kampungan, dan yang jelas diterima dalam lingkungan pergaulannya.
Hal ini
menjadikan kaum muda menjadi berprinsip lemah, karena dalam pergaulan remaja,
sering kali prinsip individu mengikuti prinsip komunitasnya. Masa muda selalu
dikatakan sebagai masa pencarian jati diri. Memang itulah kenyataannya.
Umumnya, kaum muda lebih sering terbawa arus pergaulan mayoritas, ketimbang
memiliki kemampuan untuk mempertahankan prinsip-prinsip dan perspektifnya
sendiri.
Tidak heran jika
definisi ‘malu’ untuk pergaulan masa kini dengan devinisi ini pada era 90an
tentu sangat berbeda. Pada era 90an orang akan merasa malu manakala ia berkata
mengenai hal-hal yang dianggap tabu. Orang akan merasa malu mengenakan pakaian
yang terbuka pada bagian-bagian tertentu yang dinilai sebagai aurat. Berbeda
dengan kondisi saat ini, hal-hal yang dinilai tabu mengalami pergeseran. Kata-kata
tabu yang dulu dianggap tidak patut untuk dibicarakan di depan umum, kini
justru banyak tercetak dalam bentuk produk-produk komersil urban art. Mudah ditemui di tempat-tempat umum, orang mengenakan
kaos bertuliskan kata-kata vulgar, kata-kata ancaman, maupun kata-kata seronok.
Ironisnya, oleh sebagian orang, hal tersebut dipandang sebagai hal biasa,
bahkan justru dipandang ‘keren’ karena memberikan kesan cuek dan modern.
Modernitas dalam
masyarakat salah satunya memang ditandai dengan keterbukaan dan kebebasan, baik
dalam berekspresi, berpendapat, dan menyatakan diri. Kebebasan dan keterbukaan
yang borderless seharusnya dipandang memiliki potensi rusaknya moral jika
dibiarkan begitu saja. Orang akan secara terbuka, secara bebas, tanpa beban
menyatakan kebencian terhadap individu, atau kelompok, atau kondisi tertentu
melalui tulisan yang tertera di pakaian atau stiker milikinya. Bukankah ini
berbanding terbalik dengan nilai-nilai moralitas bangsa Indonesia yang mengacu
pada Pancasila? Tentu jawabannya, iya.
6.
Urban
art mempengaruhi identifikasi diri individu dan indentifikasi diri suatu
komunitas tertentu.
Berkaitan dengan
identifikasi diri individu dan kelompok, bentuk kesenian maupun produk-produk
urban art yang beredar dikalangan kawula muda, pada dasarnya mampu memberikan
pengaruh yang signifikan. Remaja dan pergaulan diantaranya merupakan dua hal
yang tidak dapat terpisahkan. Remaja sering kali mengidentifikasikan dirinya
sesuai dengan lingkungan dan kelompok ia biasa bergaul dan bersosialisasi.
Bilamana remaja tampil dengan ‘paras’ yang berbeda dari komunitasnya, maka ia
akan sulit untuk bisa diterima dalam lingkungan pergaulannya tersebut. Itulah
mengapa, remaja sering terbawa arus dalam pergaulannya. Komunitas yang
didominasi oleh kelompok orang yang memiliki kebiasaan negatif, maka akan
menarik individu dalam kebiasaan tersebut, dan sebaliknya. Disinilah
identifikasi diri biasanya diperoleh. Identifikasi diri tidak sebatas pada
imitasi, tetapi bagaimana individu menemukan dan membentuk konsep dirinya. Agar
bisa diterima dalam pergaulan di komunitasnya, maka individu akan mengikuti
arus dan kebiasaan-kebiasaan yang ‘hidup’ dalam komunitas tersebut.
Beberapa ahli mendefinisikan mengenai pengertian konsep
diri, atara lain:
a. James F Calhoun menyatakah bahwa konsep
diri merupakan gambaran mental diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan
tentang diri sendiri, pengharapan diri dan penilaian terhadap diri sendiri
(1995: 90).
b. Menurut
Hurlock (1994) yang dimaksud konsep diri
adalah kesan (image) individu
mengenai karakteristik dirinya, yang mencakup karakteristik fisik, sosial,
emosional, aspirasi dan achievement.
c. William D. Brooks yang dikutip
Jalaluddin Rahmad. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri
sendiri (persepsi diri). Persepsi diri tersebut dapat bersifat sosial, fisik
dan psikis.
d. Musthofa Fahmi menyatakan; konsep
diri adalah sekumpulan pengenalan orang terhadap dirinya dan penilaiannya
terhadap dirinya itu.
e. Carles Haston Cooley; konsep diri
adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang
lain.
f. Clara R. Pudjiyo Yanti konsep diri
merupakan sikap, pandangan, atau keyakinan seseorang terhadap keseluruhan
dirinya. Bagaimana individu memandang dan menilai seluruh keadaan dirinya baik
fisik, psikis maupun sosial akan muncul dalam penilaian individu. Perilaku yang
ditampilkan oleh individu menunjukkan arah konsep diri yang dimiliki.
Ada tiga alasan pentingnya konsep
diri dalam menentukan perilaku seperti yang diungkapkan Clara R Pudjijogyanti
(1995: 5):
1.
Konsep
diri mempunyai peranan dalam mempertahankan keseluruhan batin. Apabila timbul
perasaan, pikiran dan persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan
satu sama lain, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan.
Untuk menyeimbangkan dan menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan
mengubah perilakunya.
2.
Seluruh
sikap, pandangan individu terhadap dirinya akan mempengaruhi individu dalam
menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan berbeda antara
individu yang satu dengan individu lainnya dikarenakan masing-masing individu
mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap dirinya.
3.
Konsep
diri menentukan pengharapan individu. Pengharapan ini merupakan inti dari
konsep diri. Sikap dan pandangan negatif terhadap kemampuan diri akan
menyebabkan individu tidak mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang
gemilang.
Salah satu
bentuk urban art adalah graffiti. Sebenarnya graffiti memiliki daya tarik
tersendiri dan banyak pula hasil graffiti yang bisa dikatakan indah dan
memiliki nilai seni. Namun demikian, graffiti banyak digunakan sebagai ajang
komunitas geng untuk menunjukkan eksistensinya. Graffiti yang seharusnya
menarik, karena mampu menutup coret-coretan di dinding jalanan kota Jogja baik
sekadar coret-coretan iseng maupun coret-coretan yang disengaja untuk
menunjukkan kekuasaan kelompok geng tertentu dan coret-coretan yang berbau
pelecehan dan kekerasan.
Urban
art sebagai sarana kebebasan berekspresi kaum muda, nyatanya mampu memberikan
pengaruh terhadap konsep diri individu, dalam hal ini pemuda sebagai subjeknya.
Urban art dianggap sebagai ‘pemersatu’ komunitas pergaulan kaum muda dengan
segala bentuk aliran budayanya. Sebagai contoh, graffiti dan mural. Keduanya
mampu menjadi pemersatu komunitas yang gemar dan melakoni hobi ini. Bentuk
urban art ini sebenarnya memiliki nilai positif, nilai estetika, dan sisi
keunikan tersendiri.
Namun
itu jika graffiti dan mural digunakan untuk tujuan estetika. Bahkan keberadaan
seniman graffiti dan mural di Yogyakarta justru telah melahirkan ciri khas
keunikan dan tingginya kreativitas masyarakat Yogyakarta, dan menjadi daya
tarik tersendiri bagi pariwisata di Yogyakarta. Kondisi ini apabila dikaitkan
dengan konsep diri individu (terutama pelaku seninya yang mayoritas terdiri
dari kaum muda, maka konsep diri yang
terbentuk adalah yang positif). Baik konsep diri dan identifikasi diri memiliki
hubungan saling mempengaruhi.
Di
lain pihak, seni graffiti maupun mural juga dapat memberikan dampak yang tidak
diharapkan. Baik dampak terhadap estetika, yakni kebersihan dan keindahan
lingkungan, juga dapak terhadap identifikasi diri dalam kelompok pergaulan kaum
muda. Graffiti dan mural sebagai ajang kebebasan berekspresi dan berpendapat
seolah-olah memiliki makna kebebasan yang borderless.
Banyak jalanan di Yogyakarta yang dibubuhi graffiti berisi nama-nama dan simbol-simbol
geng, seperti Neo-Zaraf, Qzruh, Joxin, Humoriezt, dan lain sebagainya. Tulisan
nama-nama atau simbol geng yang dituangkan entah dalam bentuk graffiti maupun
coret-coretan yang sembarangan tersebut selain merusak keindahan, juga
menunjukkan adanya komunitas pergaulan remaja yang ‘tidak sehat’ karena condong
kearah kekerasan dan persaingan antar kelompok.
Hal seperti ini
tidak bisa dipandang ringan, karena pada dasarnya tujuan geng tersebut adalah
‘menandai’ daerah kekuasaannya. Kaum muda sebagai individu cenderung akan
mengikuti kebiasaan komunitas pergaulannya agar bisa diterima dalam kelompok
tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk kecenderungan kaum muda mengikuti
trend yang sedang berkembang baik dalam komunitasnya, maupun trend masyarakat
secara umum. Penggunaan atribut-atribut pergaulan seperti fesyen urban art,
sedikit banyak juga berkontribusi terhadap pembentukan konsep diri individu
serta bagaimana ia mengidentifikasi dirinya secara pribadi dan sebagai bagian
dari komunitas pergaulannya.
Sering dijumpai
di tempat-tempat umum di sekitar Yogyakarta, sekelompok pemuda yang berpakaian
ala rocker, dengan kaos hitam
bergambar tengkorak, atau bertuliskan kata-kata yang oleh sebagian masyarakat
dinilai tidak patut. Begitulah konsepsi diri terbentuk, begitu pula lah bentuk
penerimaan kelompok terhadap individu sebagai bagian dari komunitasnya.
Terdapat semacam konsensus tidak tertulis dalam pergaulan kaum muda. Seseorang
akan dapat diterima dalam pergaulannya jika ia tampil sesuai karakter dan
keingingan kelompok.
Produk urban art
seperti fesyen juga mampu mempemgaruhi konsep diri seseorang. Individu
mempersepsikan dirinya salah satunya adalah dari bagaimana ia berpenampilan.
Pakaian yang dikenakan ternyata bisa dianggap sebagai cerminan individu dalam
mengidentifikasikan dirinya.
7.
Urban art mendorong gaya hidup konsumerisme,
neo-liberalisme, dan hedonis.
Perkembangan
urban art ditengah-tengah masyarakat memberikan kontribusi positif bagi
lahirnya ekonomi kreatif. Namun di lain sisi, gaya hidup konsumerisme,
neo-liberalisme, dan hedonis mengintai masyarakat. Kebebasan berekspresi yang
diwujudkan dalam bentuk urban art yang menghasilkan produk-produk layak jual
telah menjadikan kaum muda ‘haus’ akan perkembangan fesyen terbaru. Urban art sangat akomodir terhadap
selera dan permintaan pasar, sehingga masyarakat dimanjakan dengan trend yang
selalu baru. Ini artinya urban art turut menyuburkan pola pikir dan kebiasaan
masyarakat yang cenderung konsumeris.
Di tingkatan
produsen, persaingan pasar menjadi tidak terkendali. Perang ide dan kreativitas
ditujukan semata-mata untuk memenangkan pasar. Dengan demikian masyarakat yang
dibangun di atas fondasi Pancasila akan bergeser menjadi masyarakat kapitalis
yang mengedepankan kebebasan dalam bersaing. Tidak berlebihan rasanya, bilamana
ada ketakutan bahwa kelak kaum muda Indonesia akan menjadi budak-budak fesyen.
Mengedepankan pola hidup yang hedonism, tanpa melihat pada realitas, kondisi,
dan kemampuan mereka.
Tidak
semua yang berkaitan dengan urban art
memiliki nilai negatif. Urban art
sebagai salah satu cara berkesenian memiliki banyak kelebihan dan patut untuk
diapresiasi. Namun demikian, kontrol terhadap pelaksanaannya pun perlu
dilakukan. Maksudnya agar urban art sebagai sarana dan aliran berkesenian tidak
bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kontrol baik berupa
pelaksanaan regulasi oleh pihak-pihak terkait maupun kontrol oleh individu
sendiri akan memberikan arti positif bagi perkembangan urban art sebagai aliran
berkesenian yang bercita rasa urban
tanpa harus meninggalkan kekhasan karakteristik urban art itu sendiri.
Terakhir,
setiap fenomena sosial kemasyarakatan kerap menimbulkan dilema di tengah-tengah
masyarakat. Bentuk-bentuk upaya penanggulangannya pun cukup rumit, apalagi jika
dibenturkan dengan relativitas masyarakat dalam memandang dan menilai suatu
permasalahan. Menjadikan diri sendiri teguh memegang nilai-nilai dan
prinsip-prinsip kepatutan merupakan hal paling minimal yang bisa dilakukan oleh
setiap individu. Selain, tentunya harus ada upaya yang lebih besar agar
nilai-nilai kepatutan tetap terjaga. Imbasnya tidak hanya untuk diri sendiri,
tetapi untuk keberlangsungan kehidupan di masa depan, yang mau tidak mau, kaum
mudalah sebagai penerusnya. Ini berarti setiap individu maupun kelompok sosial
yang telah memiliki kedewasaan, berkewajiban untuk menjamin agar masalah sosial
ini segera teratasi, sehingga kelak tidak menjadi ‘bom waktu’ yang akan meledak
di kemudian hari.
Sekali
lagi, pop cultere dengan segenap
atributnya tidak dapat ditolak. Namun perlu diingat bahwa individu dan masyarakat
sebenarnya berada dalam posisi tawar. Apakah gelombang pop culture akan tunduk pada masyarakat, atau justru masyarakat
akan didikte olehnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar