my 24-7 notez

Selasa, 08 Oktober 2013

URBAN ART DAN DILEMANYA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT YOGYAKARTA

Disusun untuk memenuhi tugas matkul Masalah Sosial Aktual
Dosen pengampu: Mr. John Sabari
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Reputasi Indonesia sebagai negara yang memiliki keluhuran budaya yang terpelihara, masyarakat yang ramah, sopan santun, dan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kepatutan di tengah-tengah masyarakat kini nampak mengalami degradasi. Beragam faktor yang dituding sebagai penyebabnya sulit untuk dibendung. Terlebih di era globalisasi dengan akses informasi yang serba cepat dan serba terbuka. Apalagi ditambah dengan label modernitas, menjadikan masyarakat seolah terlalu mudah menerima produk-produk modernitas. Produk-produk modernitas tidak terbatas pada pengertian barang dan jasa, tetapi meliputi pula ide, perspektif, perilaku, citra, bahasa, dan fenomena sosial kemasyarakatan dalam arus utama kebudayaan.
Pada tingkat rendah, kapitalisme global ala neo-liberal, membentuk gaya hidup baru manusia, yang diciptakan melalui trend. Kombinasi antara media massa, citra, dan belanja secara bersamaan membentuk gaya hidup konsumerisme. Konsumerisme adalah kecenderungan orang untuk mengidentifikasi dirinya, dengan produk barang atau jasa yang mereka konsumsi. Khususnya dengan nama-nama merek komersial dan daya tarik meningkatkan status. Masyarakat kapitalisme global ala neo-liberal, dibangun di atas persaingan tinggi. Persaingan yang ketat antar perusahaan, mendorong perusahaan membentuk pandangan baru dalam mengonsumsi suatu barang. Mereka menciptakan perbedaan sekaligus persaingan gaya hidup. Kondisi sosial kemudian dikonstruksikan di atas perbedaan. Konsumsi dalam masyarakat global kini bukan lagi berurusan dengan nilai guna (use value), namun selalu berkaitan dengan gaya hidup. Hal belanja misalnya, lebih didorong untuk memenuhi hasrat daripada memenuhi kebutuhan, yang disuburkan melalui image dan diprovokasi melalui iklan.
Diakui atau tidak, keberadaan neo-liberalisme pada dasarnya memiliki kekuatan yang besar untuk menggerus nilai-nilai asli masyarakat, dimana nilai-nilai tersebut merupakan warisan leluhur yang telah lama membentuk watak dan jiwa masyarakat tradisional. Tidak semua hal yang bersifat tradisional selalu baik, namun harus diakui pula bahwa, modernitas selain membawa dampak negatif, di lain sisi juga memberikan perkembangan positif dalam dinamika masyarakat. Modernitas mampu menggeser takhayul yang biasanya terpelihara dalam masyarakat tradisional, namun nilai-nilai luhur harus tetap terjaga agar ada keseimbangan antara penerimaan terhadap produk-produk modernitas beserta akibat buruk yang dibawanya. Ini berarti nilai-nilai tradisional memiliki peran kontrol terhadap pengaruh modernisasi. Namun sejauh mana fungsi peran kontrol tersebut dapat dipegang oleh masyarakat, maka masyarakat pula lah yang menentukan nasibnya sendiri.
Kebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat, tidak pernah menjadi suatu objek yang bersifat statis. Kebudayaan selalu dipertahankan, terpelihara dan dilestarikan, tetapi masyarakat tidak dapat mengelak dari lahirnya bentuk kebudayaan baru. Kebudayaan sebagai karya dan karsa manusia akan terus ada selama peradaban manusia berlangsung. Kecenderungan dalam dinamika masyarakat modern, lahirnya bentuk-bentuk kebudayaan baru, sering kali justru berseberangan dengan eksistensi bentuk budaya yang bersifat adiluhung (tinggi), yang merupakan warisan budaya leluhur yang dinilai agung, klasik, original, tradisional, serta mengindahkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.
Globalisasi telah melahirkan bentuk-bentuk kebudayaan baru, sehingga muncul terminologi pop culture atau budaya pop. Pop culture merupakan akronim dari popular culture. Budaya massa merupakan budaya yang ada dalam masyarakat dan sering disamakan dengan budaya popular. Budaya massa besifat relatif, yaitu budaya rendah dan budaya tinggi, sedangkan budaya popular lebih cenderung dimaknai sebagai kebudayaan rendah dengan karakteristik banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (diunduh dari http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/04/25/budaya-populer/, diakses pada  Kamis, 19 September 2013).
Pop culture sebagai bentuk kebudayaan masyarakat modern, sering kali berseberangan dengan arus utama kebudayaan. Pop culture telah melahirkan urban art. Secara harafiah, urban art merupakan wujud ekspresi ‘estetika’ dari sekelompok msyarakat yang berada di perkotaan. Akan tetapi melihat perkembangan sekarang, tidak hanya perkotaan saja yang dilanda virus ini, melainkan juga sampai merambah pedesaan. Meskipun tetap definitif, urban art merupakan wujud pop culture khas perkotaan, dimana pekerja seninya (art worker) adalah para kaum urban.
Jika dilihat dari konsep dasarnya, urban art merupakan manifestasi seni yang mencirikan perkembangan kota, dimana perkembangan tersebut, selanjutnya melahirkan sistem di masyarakat yang secara struktur berbeda dengan struktur dan kultur yang ada di pedesaan. Hal ini sekaligus mendobrak konsep seni yang selama ini berlatar belakang tradisi, menjadi lebih merespon tradisi-tradisi baru (neo-cultural), terutama di daerah perkotaan yang secara demografis dihuni oleh anggota masyarakat yang bersifat heterogen. Urban art lahir karena adanya kerinduan untuk merespon kreativitas masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala problematikanya.
Oleh karena itu muncul usaha dari sekelompok orang untuk memamerkan dan mendatangkan seni di tengah-tengah masyarakat dengan cara melakukan ‘kebebasan berekspresi’ di ruang publik. Ekspresi yang ditampilkan adalah ekspresi yang mencoba memotret permasalahan-permasalahan yang terjadi dan kerap mendominasi mereka sebagai masyarakat urban. Permasalahan ini mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, dan juga budaya. Melalui media seni dan dilatarbelakangi oleh pertumbuhan dan kapitalisasi kota itu sendiri.
Yogyakarta, sebagai salah satu kota di Indonesia yang dipandang sebagai kota kebudayaan turut memberikan sumbangan besar terhadap tumbuh suburnya urban art dalam lingkup kebudayaan lokal dan nasional. Urban art di kota Yogyakarta menampakkan dirinya dalam wujud berbagai produk pop culture  seperti graffiti, vandalism, mural, kebebasan berekspresi yang dituangkan dalam beragam produk berupa barang seperti kaos, topi, jaket, stiker dan lain sebagainya. Dipandang dari segi kreatifitas, urban art memang memiliki nilai tersendiri, namun bukan berarti hal ini tidak menimbulkan potensi masalah sosial di tengah-tengah masyarakat.
Pekerja seni, dan peminat produk urban art di Yogyakarta, memang didominasi oleh kaum muda di kota ini. Urban art menjadi sangat digemari oleh kaum muda, karena dipandang sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, pernyataan terhadap kebebasan berpendapat, bahkan bentuk pemberontakan terhadap aturan-aturan sosial yang dinilai membatasi ‘jiwa muda’ kaum remaja. Saat ini mudah ditemui di jalan-jalan di kota Yogyakarta anak-anak muda yang menggunakan kaos, stiker helm, sepeda motor, maupun mobil yang yang memuat kata-kata kebebasan seperti “I MUST KILL U FUCK”, “I HATE KIMCIL”, “PECAH NDASHE”, “SARKEM, INGAT NAMANYA LUPA RASANYA”, dan lain sebagainya. Jika dipandang dari segi kepatutan, tentu kata-kata tersebut tidak sesuai dengan watak keluhuran bangsa Indonesia.
Suburnya pop culture di kalangan masyarakat perkotaan dipengaruhi oleh berbagai hal. Urban art sebagai konsekuensi tumbuh suburnya pop culture di Yogyakarta ternyata memberikan nuansa tersendiri dalam koridor kebudayaan di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Kehadirannya ternyata juga mampu memunculan ekonomi kerakyatan dengan industri kreatif yang semakin berkembang dan memberikan kontribusi positif dalam koridor perekonomian di Yogyakarta. Disamping implikasi tersebut, patut pula dikaji mengenai adanya konsensus informal diantara kaum muda dalam mengidentifikasi dirinya, serta mengidentifikasi komunitasnya. Dengan demikian akan diketahui dampak yang ditimbulkan cenderung ke arah positif atau justru sebaliknya.
Menunjuk pada produk-produk urban art yang memiliki kecenderungan meminggirkan nilai-nilai kepatutan dimungkinkan akan merembes menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat. Artinya masyarakat mungkin menolak produk urban art yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai umum kemasyarakatan, tapi jika dibiarkan maka masyarakat akan terbiasa dengan ekspresi kebebasan yang kelewat batas. Lama kelamaan masyarakat akan menerimanya tanpa perlawanan, tanpa ada upaya untuk menelaah mana produk urban art yang memiliki kepatutan dan yang layak diterima oleh masyarakat. Apalagi, penilaian masyarakat mengenai kepatutan merupakan hal yang relatif. Ekstrimnya, nilai-nilai kepatutan seperti sopan santun, tidak mengumbar aib di depan umum, menghargai keberadaan orang lain, akan menjadi luntur.
Akan sangat ironis rasanya, manakala harga diri manusia direndahkan oleh manusia itu sendiri. Orang akan menganggap hal ‘biasa’ mencela orang lain, atau hal ‘biasa’ bekata kasar maupun berkata jorok. Bisa jadi, akan ada pergeseran makna mengenai hal-hal tabu yang tidak lazim dan tidak  selayaknya diungkapkan pada orang lain, menjadi hal yang bebas diekspos di hadapan semua orang. Perkembangan urban art di Yogyakarta patut diapresiasi, namun dilain pihak perlu pula diantisipasi, agar kebebasan berekspresi tidak menjadi ‘kebablasan’, dalam artian kebebasan berpendapat yang dangkal, liar, dan cenderung anarkis.
Kembali pada relativitas penilaian masyarakat apakah jenis produk urban art yang demikian dipandang sebagai suatu masalah sosial atau bukan, maka masyarakat pula lah yang kelak memutuskan. Jika ini dipandang sebagai fenomena sosial yang berpotensi menimbulkan masalah, maka masyarakat seharusnya tidak tinggal diam. Namun, jika masyarakat menerima hal ini sebagai bagian dari dinamika sosial yang wajar dan tidak perlu ditakutkan, maka tidak berlebihan rasanya jika kelak generasi muda Indonesia muncul dengan paras neo-liberalism yang cenderung hedonis dan melupakan Pancasila.



B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan berikut ini:
1.         Bagaimana dilema yang ditimbulkan oleh tingginya minat kaum muda Yogyakarta terhadap urban art sebagai bagian dari pop culture dalam konteks problematika sosial aktual di Yogyakarta?

C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini, yakni:
1.      Mengetahui dilema yang ditimbulkan oleh tingginya minat kaum muda Yogyakarta terhadap produk urban art sebagai bagian dari pop culture dalam konteks problematika sosial aktual di Yogyakarta.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Dilema yang Ditimbulkan oleh Berkembangnya Minat Kaum Muda Yogyakarta terhadap Produk Urban Art sebagai Bagian dari Pop Culture, Dalam Konteks Problematika Sosial Aktual di Yogyakarta.
Keberadaan pop culture di tengah-tengah masyarakat perkotaan di belahan dunia manapun tidak dapat dihindari. Pop culture yang telah melahirkan aliran baru berkesenian, yakni urban art mendapatkan berbagai macam respon di kalangan masyarakat. Urban art lebih mudah diterima oleh kaum muda, bahkan berbagai produk urban art dapat dikatakan tinggi peminatnya. Urban art dapat dikatakan sebagai bentuk revolusi berkesenian, karena ekspresi kesenian dalam urban art berbeda dengan kesenian dalam kebudayaan arus utama.  
Di Yogyakarta, salah satu bentuk revolusi berkesenian dalam aliran urban art diwujudkan dalam bentuk penuangan ekspresi ke dalam seni graffiti, vandalism, dan mural. Ekspresi kebebasan berpendapat ini dituangkan dalam bentuk visualisasi berupa gambar maupun tulisan. Diantara produk urban art tersebut, terdapat pula produk-produk komersil urban art yang mudah diperoleh seperti kaos, topi, jaket, stiker dan beragam jenis asesoris. Kebanyakan berisi mengenai pesan tertentu, baik dalam bentuk gambar maupun kata-kata.
Ekspresi kebebasan berpendapat yang dituangkan dalam gambar maupun kata-kata tersebut biasanya  memiliki berbagai pesan bermakna, antara lain: (1) makna positif seperti kata-kata motivasi, nasionalisme, protes politik, dan lain sebagainya; (2) makna konotatif, atau pesan yang bersifat metafora, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran tergantung pada orang yang mengartikannya; (3) maupun yang bermakna negatif, seperti kekerasan, kata-tata seronok yang cenderung vulgar, menyerempet ke hal-hal yang berbau porno; (4) parodi, yakni sekadar pesan lucu, serta (5) hanya sekadar mengangkat tema tertentu yang sedang trend di media massa dan sedang banyak dikenal dan digemari oleh masyarakat.

     
Gambar 1. Produk urban art berupa kaos, dengan berbagai makna didalamnya.

Tingginya minat kaum muda terhadap produk-produk ini dapat diketahui dari semakin meningkatnya penjualan berbagai produk garmen dan asesoris seperti kaos, jaket, topi, tas, maupun stiker yang terkategori dalam urban art. Selain dari jumlah penjualan, kemunculan distro-distro yang memproduksi dan menjual produk kaos dan stiker dalam basis bisnis indie clothing semakin menjamur di Yogyakarta. Produk-produk komersil aliran urban art memang terkesan sangat berjiwa muda. Mayoritas peminatnya adalah kaum muda yang akan merasa senang dan lebih percaya diri jika ia dilabeli dengan sebutan ‘keren’, cuek, bahkan tidak jarang akan merasa senang dengan kesan anti kemapanan.
Diawali sekitar tahun 2000, perkembangan indie clothing hingga saat ini menunjukkan perkembangan yang menggairahkan. Berbagai penyelenggaraan pameran indie clothing yang dimotori oleh penggiat bisnis produk-produk bergenre  urban art, selalu mendapatkan minat pasar, terutama kaum muda. Penyelenggaraan pameran produk urban art tidak hanya di Yogyakarta, namun digelar juga di kota-kota besar seperti;  Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Ini menunjukkan bahwa minat masyarakat terhadap produk-produk urban art memang mendapatkan respons positif dari pasar.
  

  


Rectangular Callout: Gambar 2. Berbagai pamphlets iklan penyelenggaraan pameran produk urban art, dari tahun 2010 sampai tahun 2013.
 


Disebut sebagai dilema, manakala seseorang maupun masyarakat dihadapkan pada dua hal atau beberapa pilihan yang memiliki sisi baik dan buruk. Demikian halnya dengan permasalahan tingginya minat masyarakat terhadap produk-produk urban art. Pop culture dalam lingkup lokal telah mendorong munculnya komunitas yang mengatasnamakan pekerja seni yang menghasilkan beragam produk urbant art. Meskipun dalam tulisan ini memberikan kritikan yang tajam terhadap kemunculan produk-produk urban art, namun tulisan ini tidak mengeneralisir semua produk yang terkategori dalam urban art.
Banyak pula produk-produk urban art yang memiliki nilai seni yang patut diapresiasi, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang Pancasilais. Produk-produk urban art yang mendapatkan kritik dalam tulisan ini menunjuk pada beragam produk yang mengumbar aib, berkesan seronok, dangkal, dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Berikut akan dipaparkan dilema apa yang ditimbulkan oleh tingginya minat kaum muda Yogyakarta terhadap produk urban art sebagai bagian dari pop culture, dalam konteks problematika sosial aktual di Yogyakarta:
1.      Urban art memunculkan gairah industri kreatif di tengah-tengah permasalahan sulitnya mencari lapangan pekerjaan.
Sulitnya mencari lapangan pekerjaan merupakan masalah utama yang sering dihadapi oleh negara-negara miskin dan berkembang, sebagaimana di Indonesia. Setiap tahun, Indonesia selalu mengalami permasalahan meningkatnya jumlah penggangguran di usia produktif, maupun penggangguran terdidik. Menciptakan lapangan kerja sendiri, akan mengurangi permasalahan tersebut. Paling tidak, ketergantungan masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja sedikit teratasi.
Industri kreatif dapat diartikan sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Industri kreatif juga dikenal dengan nama lain industri budaya (terutama di Eropa) atau juga ekonomi kreatif. Kementerian Perdagangan Indonesia menyatakan bahwa industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Menurut Howkins, Ekonomi Kreatif terdiri dari periklanan, arsitektur, seni, kerajinan. desain, fashion, film, musik, seni pertunjukkan, penerbitan, Penelitian dan Pengembangan (R&D / Research and Development), perangkat lunak, mainan dan permainan, Televisi dan Radio, dan Permainan Video. Muncul pula definisi yang berbeda-beda mengenai sektor ini. Namun sejauh ini penjelasan Howkins masih belum diakui secara internasional. Industri kreatif dipandang semakin penting dalam mendukung kesejahteraan dalam perekonomian, berbagai pihak berpendapat bahwa kreativitas manusia adalah sumber daya ekonomi utama  dan bahwa industri abad kedua puluh satu akan tergantung pada produksi pengetahuan melalui kreativitas dan inovasi (diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Industri_kreatif, diakses pada Minggu, 22 September 2013).
Salah satu konsep usaha fesyen khusus anak muda yang paling popular adalah distro (distribution store). Perkembangan usaha clothing dengan segmen pasar anak muda dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah distro yang menjual produk-produk fashion untuk kalangan muda. Produk-produk fashion yang ditawarkan memiliki genre urban art dilihat dari sisi kreativitas desain produk yang dijual. Berdasarkan keterangan dari Ade Andriansyah, sekretaris Kreatif Independent Clothing Community, pada tahun 2009 saja industri kreatif berbasis industri lokal dan komunitas tersebut bisa menyerap banyak tenaga kerja dan mengangkat ekonomi kreatif kawula muda. Pada tahun 2009, jumlah indie  clothing dan distro di Indonesia mencapai 1.000 buah dan tersebar di 94 kota, termasuk di Yogyakarta, (diunduh dari  http://www.tempo.co/read/news/2009/04/20/090171208/Pameran-Distro-di-Yogya-Target-Panitia-Keruk-Rp-5-miliar, diakses pada Minggu, 22 September 2013). Sedangkan saat ini jumlah distro telah mencapai ribuan, dan setengahnya berada di Bandung, karena Bandung dinilai sebagai pelopor bisnis clothing distro.
Beragam brand cloting anak muda, semua menawarkan produksi pakaian buatan sendiri. Bagi anak muda fesyen adalah kebutuhan yang trend-nya harus diikuti. Tidak heran bila banyak wirausaha busana ala distro menjamur sampai saat ini. Di Yogyakarta, terdapat banyak sekali distro yang tersebar di kota Yogyakarta, semuanya menawarkan produk fesyen hasil kreativitas artist urban art. Distro-distro ini pun memiliki nama-nama yang unik, yang sesuai dengan selera anak muda, seperti: Colourboom, Brain, Invictus, Nimco, Bloods, Burger Kill, Seephylliz, Kaospolos Jogja,  Troy, Slackers, dan lain sebagainya.
Gambar 3. Beberapa distro yang menjual produk fesyen urban art di sekitar wilayah Yoyakarta.
Meski konsep ini sudah booming sejak tahun 2000, hingga kini anak muda masih menjadikan distro sebagai arena belanja yang memenuhi selera mereka. Kunci keberhasilan bisnis di bidang ini adalah kreativitas serta kemampuan membaca selera konsumen. Distro lebih menonjolkan kreativitas desain yang biasanya tidak diproduksi dalam jumlah missal. Hal ini juga yang menjadikan kelebihan distro dibandingkan produk pabrikan, yakni desain yang tidak pasaran (diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2013/01/14/bisnis-distro-kian-bergeliat-di-yogya/, diakses pada Minggu, 22 September 2013).

2.      Urban art sebagai sarana kebebasan berekspresi di ruang-ruang publik, termasuk di fasilitas umum yang disediakan bagi masyarakat, jika tidak dikendalikan maka akan terjadi vandalisme.
Pada bagian ini, mengacu pada mural dan graffiti. Keduanya bisa berubah menjadi vandalism manakala ekspresi kebebasan tersebut dituangkan di fasilitas-fasilitas umum yang jelas-jelas dilarang untuk di coret-coret. Urban art jenis ini harus tetap mendapatkan pengawasan dan pengendalian, agar kebebasan berekspresi benar-benar ditujukan untuk seni dan estetika kota, bukan mengarah pada perusakan dan pengotoran fasilitas-fasilitas umum. Mural dan graffiti merupakan street art, karena hasil karya seninya bisa dinikmati di jalan-jalan. Yogyakarta terkenal dengan seni mural dan graffitinya, sehingga banyak areal publik yang sengaja dijadikan sebagai objek bagi seniman mural dan graffiti untuk menunjukkan karya seninya.
Akan tetapi masih ada pula komunitas tertentu yang secara sembunyi-sembunyi menorehkan ‘karyanya’ di tempat-tempat atau di fasilitas umum yang tidak diperbolehkan. Diantaranya di perkantoran, di gerbong-gerbong kereta, dan lain sebagainya. Coret-coretan yang justru merusak keindahan ini termasuk bentuk vandalism. Vandalisme biasanya dilakukan oleh orang untuk menunjukkan eksistensinya. Vandalisme bisa berwujud coret-coretan ‘ngawur’ atau dalam bentuk mural dan graffiti, tetapi ditujukan pada fasilitas-fasilitas umum dengan kecenderungan merusak estetika. Urban art dengan segala bentuk produk budayanya sangat bergantung pada pelaku atau kreatornya.
Rectangular Callout: Gambar 4. Vandalisme di Yogyakarta telah mengganggu keindahan kota karena mengacu pada perusakan fasilitas-fasilitas umum.


Sebenarnya apresiasi masyarakat Yogyakarta terhadap street art, disambut baik pula dengan dukungan dari lembaga-lembaga tertentu seperti perusahaan swasta, kantor pemerintah, lembaga pendidikan yang memberikan ruang bagi kreatifitas seni mural dan graffiti. Mereka menyediakan tempat, yakni dinding-dinding yang menghadap jalan untuk dibubuhi dengan graffiti maupun mural. Bahkan beberapa perusahaan menjadi sponsor untuk gerakkan muralisasi di jalan-jalan Yogyakarta. Hal ini tentu dipandang sebagai hal yang positif bagi penyaluran kreativitas urban artist yang menaruh minat pada seni mural dan graffiti.

3.      Urban art sebagai wadah atas; ide, gagasan, serta kreatifitas kaum muda dalam berkesenian, berekspresi, dan berpendapat.
Berbeda dengan kebudayaan arus utama yang berciri warisan dari leluhur, bersifat adiluhung, dan memiliki nila-nilai tradisional, urban art memiliki tipikal tersendiri. Produk kebudayaan arus utama dapat dinikmati di tempat-tempak yang bisa dikatakan berkelas, seperti galeri seni, museum, maupun gedung teater, dengan penikmatnya yang terbatas pada kalangan tertentu pula. Urban art memiliki ‘wajah’ yang berbeda, ia lahir dari kreativitas masyarakat perkotaan yang mengangkat problematika dan dinamika masyarakat itu sendiri. Ini menjadikan urban art lebih bisa menampung ide dan gagasan masyarakat perkotaan, sekaligus lebih mudah dinikmati, karena produk-produk urban art lebih eye catchy.
Melalui urban art pula, kritik-kritik sosial muncul secara apik. Urban art dinilai sebagai sarana bagi masyarakat kelas bawah untuk menyuarakan aspirasinya. Selain itu urban art sering digunakan sebagai sarana untuk  mengkampanyekan gerakan tertentu yang dikemas secara persuasif. Selama ini, seni dianggap sebagai bagian dari kebudayaan yang berlatar belakang tradisi yang memiliki fungsi dan pengertian yang agung (adiluhung), klasik, orisinil, serta tradisional. Akan tetapi, hal inilah yang membuat seni menjadi berjarak dengan publik sebagai kreatoris dengan karya seni itu sendiri.
Keberadaan urban art sebagai representasi dari pop culture seolah meruntuhkan konstruksi seni dan karya seni yang selama ini berkembang di masyarakat. Karya seni yang selama ini diterjemahkan oleh masyarakat sebagai tradisi yang adiluhung dan hanya ‘pantas’ digelar di galery art saja, oleh mereka (para seniman-seniman urban) kebebasan ekspresi dijadikan semacam perspektif baru dalam menciptakan sebuah karya seni. Realisasinya, karya seni tidak hanya dipamerkan di galery art saja, melainkan bisa dinikmati oleh publik di mana saja.



Bahkan media-media yang ‘tak lazim’ pun dapat menjadi media bagi seniman-seniman urban tersebut, atau yang kerap menyabut diri mereka dengan sebutan writers, untuk mengekspresikan ide-idenya. Mereka memanfaatkan fasilitas-fasilitas publik sebagai sarana bertarung dengan media-media lainnya seperti iklan-iklan di televisi misalnya.
Di sinilah wujud resistensi terhadap dominasi yang mereka alami selama ini. Fasilitas-fasilitas publik yang mereka jadikan media berekspresi menjadi bukti bahwa tujuan dari urban art sendiri adalah berakar pada perbedaan sikap politik, anti kemapanan, vandalism, dan perlawanan terhadap sistem dominan yang ada di masyarakat. Sedangkan bentuknya, bisa bermacam-macam, yang terpenting adalah tetap mengusung spirit dinamika kaum urban.
   
4.      Urban art memiliki magnet tersendiri bagi daya tarik pariwisata di Yogyakarta.
Seni graffiti dan mural banyak tersebar di jalanan di kota Yogyakarta. Ini pula yang menambah keunikan dan daya tarik kota Yogyakarta sebagai tempat tujuan wisata. Yogyakarta memiliki banyak sebutan, diantaranya sebagai kota pelajar, kota gudeg, dan kini dikenal pula sebagai Mural city.
   


Rectangular Callout: Gambar 6. Yogyakarta kota mural. Sebagian besar dinding-dinding di jalan-jalan di kota Yogyakarta dihiasi dengan seni mural.
 
Keberadaan karya seni graffiti dan mural sebagai bentuk urban art justru memperkaya khasanah kebudayaan Yogyakarta. Jika selama ini Yogyakarta memiliki ikon kebudayaan klasik karena pengaruh tradisi dan keberadaan Kraton Ngayogyakarta, Yogyakarta juga memiliki ikon kebudayaan modern yakni urban art dengan street art-nya yang meliputi seni mural dan graffiti.

5.      Urban art menjadikan kaum muda cenderung meminggirkan nilai-nilai kepatutan di tengah-tengah masyarakat.
Penilaian masyarakat luas mengenai ukuran kepatutan memang merupakan hal yang sangat subjektif. Patut bagi seseorang belum tentu patut menurut orang lain dan sebaliknya. Namun demikian, tidak berlebihan rasanya jika hal yang patut dan tidak patu dilihat dari kaca mata kesopansantunan dan kesusilaan.  Beragam jenis bentuk dan produk yang termasuk hasil kreativitas seniman-seniman urban art yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Baik seni mural, graffiti yang bisa dinikmati di ruang-ruang public maupun untuk tujuan komersial, seperti fesyen dan beragam asesoris untuk menunjuang penampilan.
Produk-produk komersil urban art sangat digemari oleh kawula muda, karena dinilai mampu mengikuti selera anak muda yang sesuai dengan trend. Menggunakan produk-produk ini akan meningkatkan kepercayaan diri sekaligus dipandang tidak ketinggalan jaman. Demi memperoleh label ‘keren’ dan ‘gaul’, kaum muda tidak segan berpenampilan ‘nyleneh’. Makna kata ‘keren’ diasumsikan dalam bentuk penampilan yang unik, berani beda, rock n roll, anti kemapanan, seksi, tidak kampungan, dan yang jelas diterima dalam lingkungan pergaulannya.
Hal ini menjadikan kaum muda menjadi berprinsip lemah, karena dalam pergaulan remaja, sering kali prinsip individu mengikuti prinsip komunitasnya. Masa muda selalu dikatakan sebagai masa pencarian jati diri. Memang itulah kenyataannya. Umumnya, kaum muda lebih sering terbawa arus pergaulan mayoritas, ketimbang memiliki kemampuan untuk mempertahankan prinsip-prinsip dan perspektifnya sendiri.  
Tidak heran jika definisi ‘malu’ untuk pergaulan masa kini dengan devinisi ini pada era 90an tentu sangat berbeda. Pada era 90an orang akan merasa malu manakala ia berkata mengenai hal-hal yang dianggap tabu. Orang akan merasa malu mengenakan pakaian yang terbuka pada bagian-bagian tertentu yang dinilai sebagai aurat. Berbeda dengan kondisi saat ini, hal-hal yang dinilai tabu mengalami pergeseran. Kata-kata tabu yang dulu dianggap tidak patut untuk dibicarakan di depan umum, kini justru banyak tercetak dalam bentuk produk-produk komersil urban art. Mudah ditemui di tempat-tempat umum, orang mengenakan kaos bertuliskan kata-kata vulgar, kata-kata ancaman, maupun kata-kata seronok. Ironisnya, oleh sebagian orang, hal tersebut dipandang sebagai hal biasa, bahkan justru dipandang ‘keren’ karena memberikan kesan cuek dan modern.
Modernitas dalam masyarakat salah satunya memang ditandai dengan keterbukaan dan kebebasan, baik dalam berekspresi, berpendapat, dan menyatakan diri. Kebebasan dan keterbukaan yang borderless seharusnya dipandang memiliki potensi rusaknya moral jika dibiarkan begitu saja. Orang akan secara terbuka, secara bebas, tanpa beban menyatakan kebencian terhadap individu, atau kelompok, atau kondisi tertentu melalui tulisan yang tertera di pakaian atau stiker milikinya. Bukankah ini berbanding terbalik dengan nilai-nilai moralitas bangsa Indonesia yang mengacu pada Pancasila? Tentu jawabannya, iya.

6.      Urban art mempengaruhi identifikasi diri individu dan indentifikasi diri suatu komunitas tertentu.
Berkaitan dengan identifikasi diri individu dan kelompok, bentuk kesenian maupun produk-produk urban art yang beredar dikalangan kawula muda, pada dasarnya mampu memberikan pengaruh yang signifikan. Remaja dan pergaulan diantaranya merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Remaja sering kali mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan lingkungan dan kelompok ia biasa bergaul dan bersosialisasi. Bilamana remaja tampil dengan ‘paras’ yang berbeda dari komunitasnya, maka ia akan sulit untuk bisa diterima dalam lingkungan pergaulannya tersebut. Itulah mengapa, remaja sering terbawa arus dalam pergaulannya. Komunitas yang didominasi oleh kelompok orang yang memiliki kebiasaan negatif, maka akan menarik individu dalam kebiasaan tersebut, dan sebaliknya. Disinilah identifikasi diri biasanya diperoleh. Identifikasi diri tidak sebatas pada imitasi, tetapi bagaimana individu menemukan dan membentuk konsep dirinya. Agar bisa diterima dalam pergaulan di komunitasnya, maka individu akan mengikuti arus dan kebiasaan-kebiasaan yang ‘hidup’ dalam komunitas tersebut.
Beberapa ahli mendefinisikan mengenai pengertian konsep diri, atara lain:
a.       James F Calhoun menyatakah bahwa konsep diri merupakan gambaran mental diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan diri dan penilaian terhadap diri sendiri (1995: 90).
b.      Menurut Hurlock (1994) yang dimaksud konsep diri adalah kesan (image) individu mengenai karakteristik dirinya, yang mencakup karakteristik fisik, sosial, emosional, aspirasi dan achievement.
c.       William D. Brooks yang dikutip Jalaluddin Rahmad. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri sendiri (persepsi diri). Persepsi diri tersebut dapat bersifat sosial, fisik dan psikis.
d.      Musthofa Fahmi menyatakan; konsep diri adalah sekumpulan pengenalan orang terhadap dirinya dan penilaiannya terhadap dirinya itu.
e.       Carles Haston Cooley; konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain.
f.       Clara R. Pudjiyo Yanti konsep diri merupakan sikap, pandangan, atau keyakinan seseorang terhadap keseluruhan dirinya. Bagaimana individu memandang dan menilai seluruh keadaan dirinya baik fisik, psikis maupun sosial akan muncul dalam penilaian individu. Perilaku yang ditampilkan oleh individu menunjukkan arah konsep diri yang dimiliki.
Ada tiga alasan pentingnya konsep diri dalam menentukan perilaku seperti yang diungkapkan Clara R Pudjijogyanti (1995: 5):
1.         Konsep diri mempunyai peranan dalam mempertahankan keseluruhan batin. Apabila timbul perasaan, pikiran dan persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan satu sama lain, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menyeimbangkan dan menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilakunya.
2.         Seluruh sikap, pandangan individu terhadap dirinya akan mempengaruhi individu dalam menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya dikarenakan masing-masing individu mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap dirinya.
3.         Konsep diri menentukan pengharapan individu. Pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri. Sikap dan pandangan negatif terhadap kemampuan diri akan menyebabkan individu tidak mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang gemilang.
Salah satu bentuk urban art adalah graffiti. Sebenarnya graffiti memiliki daya tarik tersendiri dan banyak pula hasil graffiti yang bisa dikatakan indah dan memiliki nilai seni. Namun demikian, graffiti banyak digunakan sebagai ajang komunitas geng untuk menunjukkan eksistensinya. Graffiti yang seharusnya menarik, karena mampu menutup coret-coretan di dinding jalanan kota Jogja baik sekadar coret-coretan iseng maupun coret-coretan yang disengaja untuk menunjukkan kekuasaan kelompok geng tertentu dan coret-coretan yang berbau pelecehan dan kekerasan.
  

Urban art sebagai sarana kebebasan berekspresi kaum muda, nyatanya mampu memberikan pengaruh terhadap konsep diri individu, dalam hal ini pemuda sebagai subjeknya. Urban art dianggap sebagai ‘pemersatu’ komunitas pergaulan kaum muda dengan segala bentuk aliran budayanya. Sebagai contoh, graffiti dan mural. Keduanya mampu menjadi pemersatu komunitas yang gemar dan melakoni hobi ini. Bentuk urban art ini sebenarnya memiliki nilai positif, nilai estetika, dan sisi keunikan tersendiri.
Namun itu jika graffiti dan mural digunakan untuk tujuan estetika. Bahkan keberadaan seniman graffiti dan mural di Yogyakarta justru telah melahirkan ciri khas keunikan dan tingginya kreativitas masyarakat Yogyakarta, dan menjadi daya tarik tersendiri bagi pariwisata di Yogyakarta. Kondisi ini apabila dikaitkan dengan konsep diri individu (terutama pelaku seninya yang mayoritas terdiri dari kaum muda, maka  konsep diri yang terbentuk adalah yang positif). Baik konsep diri dan identifikasi diri memiliki hubungan saling mempengaruhi.
Di lain pihak, seni graffiti maupun mural juga dapat memberikan dampak yang tidak diharapkan. Baik dampak terhadap estetika, yakni kebersihan dan keindahan lingkungan, juga dapak terhadap identifikasi diri dalam kelompok pergaulan kaum muda. Graffiti dan mural sebagai ajang kebebasan berekspresi dan berpendapat seolah-olah memiliki makna kebebasan yang borderless. Banyak jalanan di Yogyakarta yang dibubuhi graffiti berisi nama-nama dan simbol-simbol geng, seperti Neo-Zaraf, Qzruh, Joxin, Humoriezt, dan lain sebagainya. Tulisan nama-nama atau simbol geng yang dituangkan entah dalam bentuk graffiti maupun coret-coretan yang sembarangan tersebut selain merusak keindahan, juga menunjukkan adanya komunitas pergaulan remaja yang ‘tidak sehat’ karena condong kearah kekerasan dan persaingan antar kelompok.



Rectangular Callout: Gambar 8. Graffiti atas nama geng besar yang berpusat di Yogyakarta, Neo-Zaraf yang juga dikenal dengan sebutan Q’Sruh.
 



Hal seperti ini tidak bisa dipandang ringan, karena pada dasarnya tujuan geng tersebut adalah ‘menandai’ daerah kekuasaannya. Kaum muda sebagai individu cenderung akan mengikuti kebiasaan komunitas pergaulannya agar bisa diterima dalam kelompok tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk kecenderungan kaum muda mengikuti trend yang sedang berkembang baik dalam komunitasnya, maupun trend masyarakat secara umum. Penggunaan atribut-atribut pergaulan seperti fesyen urban art, sedikit banyak juga berkontribusi terhadap pembentukan konsep diri individu serta bagaimana ia mengidentifikasi dirinya secara pribadi dan sebagai bagian dari komunitas pergaulannya.
Sering dijumpai di tempat-tempat umum di sekitar Yogyakarta, sekelompok pemuda yang berpakaian ala rocker, dengan kaos hitam bergambar tengkorak, atau bertuliskan kata-kata yang oleh sebagian masyarakat dinilai tidak patut. Begitulah konsepsi diri terbentuk, begitu pula lah bentuk penerimaan kelompok terhadap individu sebagai bagian dari komunitasnya. Terdapat semacam konsensus tidak tertulis dalam pergaulan kaum muda. Seseorang akan dapat diterima dalam pergaulannya jika ia tampil sesuai karakter dan keingingan kelompok.
Produk urban art seperti fesyen juga mampu mempemgaruhi konsep diri seseorang. Individu mempersepsikan dirinya salah satunya adalah dari bagaimana ia berpenampilan. Pakaian yang dikenakan ternyata bisa dianggap sebagai cerminan individu dalam mengidentifikasikan dirinya.

7.      Urban art mendorong gaya hidup konsumerisme, neo-liberalisme, dan hedonis.
Perkembangan urban art ditengah-tengah masyarakat memberikan kontribusi positif bagi lahirnya ekonomi kreatif. Namun di lain sisi, gaya hidup konsumerisme, neo-liberalisme, dan hedonis mengintai masyarakat. Kebebasan berekspresi yang diwujudkan dalam bentuk urban art yang menghasilkan produk-produk layak jual telah menjadikan kaum muda ‘haus’ akan perkembangan fesyen terbaru. Urban art sangat akomodir terhadap selera dan permintaan pasar, sehingga masyarakat dimanjakan dengan trend yang selalu baru. Ini artinya urban art turut menyuburkan pola pikir dan kebiasaan masyarakat yang cenderung konsumeris.
Di tingkatan produsen, persaingan pasar menjadi tidak terkendali. Perang ide dan kreativitas ditujukan semata-mata untuk memenangkan pasar. Dengan demikian masyarakat yang dibangun di atas fondasi Pancasila akan bergeser menjadi masyarakat kapitalis yang mengedepankan kebebasan dalam bersaing. Tidak berlebihan rasanya, bilamana ada ketakutan bahwa kelak kaum muda Indonesia akan menjadi budak-budak fesyen. Mengedepankan pola hidup yang hedonism, tanpa melihat pada realitas, kondisi, dan kemampuan mereka.

Tidak semua yang berkaitan dengan urban art memiliki nilai negatif. Urban art sebagai salah satu cara berkesenian memiliki banyak kelebihan dan patut untuk diapresiasi. Namun demikian, kontrol terhadap pelaksanaannya pun perlu dilakukan. Maksudnya agar urban art sebagai sarana dan aliran berkesenian tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kontrol baik berupa pelaksanaan regulasi oleh pihak-pihak terkait maupun kontrol oleh individu sendiri akan memberikan arti positif bagi perkembangan urban art sebagai aliran berkesenian yang bercita rasa urban tanpa harus meninggalkan kekhasan karakteristik urban art itu sendiri.
Terakhir, setiap fenomena sosial kemasyarakatan kerap menimbulkan dilema di tengah-tengah masyarakat. Bentuk-bentuk upaya penanggulangannya pun cukup rumit, apalagi jika dibenturkan dengan relativitas masyarakat dalam memandang dan menilai suatu permasalahan. Menjadikan diri sendiri teguh memegang nilai-nilai dan prinsip-prinsip kepatutan merupakan hal paling minimal yang bisa dilakukan oleh setiap individu. Selain, tentunya harus ada upaya yang lebih besar agar nilai-nilai kepatutan tetap terjaga. Imbasnya tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk keberlangsungan kehidupan di masa depan, yang mau tidak mau, kaum mudalah sebagai penerusnya. Ini berarti setiap individu maupun kelompok sosial yang telah memiliki kedewasaan, berkewajiban untuk menjamin agar masalah sosial ini segera teratasi, sehingga kelak tidak menjadi ‘bom waktu’ yang akan meledak di kemudian hari.
Sekali lagi, pop cultere dengan segenap atributnya tidak dapat ditolak. Namun perlu diingat bahwa individu dan masyarakat sebenarnya berada dalam posisi tawar. Apakah gelombang pop culture akan tunduk pada masyarakat, atau justru masyarakat akan didikte olehnya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar