A.
Penggunaan
Sistem untuk Menciptakan Kultur Sekolah yang Ideal.
Secara nyata,
kultur sekolah merupakan bagian dari sistem, atau sebagai salah satu unsur
pembentuk sistem. Namun dalam porsi yang berbeda, kultur sekolah justru menjadi
tujuan sistem itu sendiri. Sistem digunakan sebagai instrument untuk meraih
tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini, sistem juga sebagai instrument untuk
menciptakan kultur sekolah yang ideal. Memiliki kultur sekolah yang ideal
merupakan tujuan yang termaktub dalam visi dan misi setiap lembaga pendidikan.
Budaya sekolah
adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang
menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah, termasuk stakeholder pendidikan. Ini seperti cara
melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang
dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah menunjuk pada suatu sistem nilai,
kepercayaan, dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan
dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan
yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil
sekolah, baik itu kepala sekolah, guru, staf, peserta didik, dan jika perlu
membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
Pengembangan
budaya sekolah sebagai bagian dari unsur pembentuk sistem dan sebagai tujuan
sistem memiliki berbagai manfaat. Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya
pengembangan budaya sekolah, diantaranya:
1. Menjamin
kualitas kerja yang lebih baik.
2. Membuka
seluruh jaringan dan komunikasi dari segala jenis dan level, baik komunikasi
vertikal maupun horisontal.
3. Lebih
terbuka dan transparan.
4. Menciptakan
kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi.
5. Meningkatkan
rasa solidaritas dan rasa kekeluargaan.
6. Jika
menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki.
7. Dapat
beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK.
Selain babarapa
manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah:
1.
Meningkatkan kepuasan kerja.
2.
Pergaulan lebih akrab.
3.
Disiplin meningkat.
4.
Pengawasan fungsional bisa lebih ringan.
5.
Muncul keinginan untuk selalu berbuat
proaktif.
6.
Memotivasi untuk terus belajar dan berprestasi.
7.
Selalu ingin memberikan yang terbaik
bagi sekolah, keluarga, orang lain, dan diri sendiri.
Manfaat, baik dalam cakupan kelembagaan maupun
manfaat bagi individu tersebut, merupakan bentuk kultur sekolah yang
diidam-idamkan (kultur sekolah yang ideal). Dalam merancang sistem yang
memiliki tujuan untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal, harus didasarkan
pada prinsip pengembangan budaya sekolah yang terintegrasi dengan sistem itu
sendiri. Prinsip-prinsip tersebut, antara lain:
1. Berfokus
pada visi, misi, dan tujuan sekolah.
2. Penciptaan
komunikasi formal dan informal.
3. Inovatif
dan bersedia mengambil resiko.
4. Memiliki
strategi yang jelas.
5. Berorientasi
kinerja.
6. Sistem
evaluasi yang jelas.
7. Memiliki
komitmen yang kuat.
8. Keputusan
berdasarkan konsnsus.
9. Sistem
imbalan yang jelas.
10. Evaluasi
diri.
Penciptaan
sistem dengan salah satu tujuannya menciptakan kultur sekolah yang ideal, harus
memuat asas-asas pengembangan budaya sekolah, antara lain: (1) kerjasama tim;
(2) kemampuan; (3) keinginan; (4) kegembiraan; (5) hormat; (6) jujur; (7) disiplin;
(8) empati; serta (9) pengetahuan dan kesopanan.
ANALISIS
|
Kultur sekolah yang sudah ada
|
PROCESSING
|
Kultur sekolah yang ideal
|
Sebagai input
|
Sebagai output
|
Feedback
|
Feedback
|
EVALUASI
|
KOREKSI
|
FILTERING
|
+ / -
|
kesesuaian
|
Kesalahan dalam sistem
|
Keputusan-keputusan
|
Skema
6. Kultur sekolah sebagai input dan output.
Budaya
organisasi sebagai salah satu input untuk menghasilkan kultur sekolah yang
ideal harus memiliki kemanfaatan, serta mendasarkan pada prinsip dan asas
pengembangan budaya sekolah. Dengan kata lain, budaya organisasi sekolah serta
budaya sekolah yang telah berlangsung (telah ada) merupakan input yang diproses
bersama dengan prinsip dan asas pengembangan budaya sekolah.
Input dalam alur
sistem ini menunjuk pada segala sesuatu baik itu informasi, materi, maupun
energi. Sebagai asumsi dasar jenis-jenis input mentah tersebut, dapat
diidentifikasikan dalam aspek-aspek yang terkategorisasi. Berikut pemetaan
aspek tersebut:
1.
Dalam kategori informasi, input mentah
dapat berupa:
a. Seperangkat
kebijakan, baik kebijakan eksternal maupun internal.
b. Pengetahuan
organisasi sekolah mengenai demografi lingkungan sekolah maupun demografi warga
sekolah.
c. Pengalaman
yang dimiliki pihak sekolah sendiri maupun pengalaman dari lembaga pendidikan
lain yang dapat dijadikan sebagai masukkan dalam upaya pengelolaan sumber daya
manusia. Disebut sebagai pengelolaan sumber daya manusia, karena manusia
merupakan subjek sekaligus objek pembangunan kultur itu sendiri. Demikian
halnya dalam membangun kultur sekolah yang ideal, diperlukan pengelolaan sumber
daya manusia di dalamnya.
2.
Dalam kategori materi, input mentah
dapat berupa:
a. Warga
sekolah, meliputi pimpinan, guru, staf/karyawan, dan peserta didik. Warga
sekolah dalam hal ini menunjuk pada posisi warga sekolah sebagai subjek (pelaku,
pembawa, pengubah, dan penambah kultur dalam lingkup sekolah), dan sebagai
objek yang hendak dijadikan sasaran ‘pemilik’ kultur sekolah yang ideal.
b. Kondisi
sekolah, yang menunjuk pada kondisi fisik sekolah, keberadaan
fasilitas-fasilitas di dalamnya, sampai pada kondisi lingkungan sekolah.
c. Rencana
dan rumusan tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah, terutama yang berkaitan
dengan upaya peningkatan kualitas personel yang mencakup seluruh warga sekolah.
3.
Dalam kategori energi, input mentah
dapat berupa:
a. Jumlah
warga sekolah (baik pimpinan, guru, staf/karyawan, dan peserta didik. Menunjuk
pada banyak atau sedikitnya jumlah keseluruhan warga sekolah maupun jumlah
setiap cluster (jumlah personel pada level managerial, jumlah pendidik, jumlah
peserta didik, dan jumlah staf).
b. Jumlah
personel dalam setiap clusternya dapat untuk menentukan kapasitas fungsional
setiap cluster, termasuk kemampuan prediktif munculnya hambatan yang bersumber
dari cluster.
Input mentah dalam kategorisasi di atas bukanlah
sebuah ‘harga mati’, identifikasi aspek dalam kategori-ketegori tersebut
terbuka terhadap penjelasan-penjelasan yang rasional. Tidak menutup pula
kemungkinan masih terdapat aspek yang bisa dikategorikan di dalamnya selain
aspek-aspek yang telah disebutkan di atas.
Pada alur
berikutnya, meskipun proses pengolahan informasi, energi, dan materi telah
menghasilkan keluaran yang berupa kultur sekolah yang lebih baik (dari
sebelumnya), namun alur sistem tidak berhenti hanya pada tahapan ini. Sistem
masih harus bekerja memberikan feedback
(umpan balik). Umpan balik ini meliputi sejumlah kegiatan seperti analisis;
filtering; koreksi; dan evaluasi. Serangkaian kegiatan ini memiliki tujuan
antara lain:
1. Analisis
dilakukan dengan maksud untuk menemukan dan mengidentifikasi kelebihan maupun
kelemahan sistem, dengan melihat hasil (output). Dalam kerangka penciptaan
kultur sekolah yang ideal, maka dapat diketahui kultur sekolah yang diciptakan
oleh sistem memiliki sejumlah kelebihan dan kelemahan apa saja, dimana letak
kebaikan maupun keburukannya. Hal-hal semacam itu.
2. Filtering berkaitan
dengan upaya sistem untuk menyaring, kultur apa saja yang sesuai dan tidak
sesuai dengan tujuan dan harapan yang ingin dicapai. Selanjutnya dilakukan
langkah ‘mempertahankan’ atau ‘meninggalkan’ unsur-unsur kultur sekolah
berdasarkan kesesuaiannya (live or leave
out).
3. Correction
(koreksi), yakni langkah yang dilakukan untuk memeriksa terjadinya
kesalahan-kesalahan maupun penyimpangan-penyimpangan dalam alur sistem. Tahapan
ini juga dilakukan dengan melihat hasil (output).
Caranya dengan menelusur ketidaksesuaian hasil dan mencari tahu penyebabnya.
Koreksi juga bertujuan untuk memperbaiki alur kerja sistem.
4. Evaluation
(penilaian), yakni langkah lanjutan yang bertujuan untuk memberikan penilaian
hasil (output) yang telah mengalami
proses alur sistem berupa analisis, filtering, dan koreksi. Penilaian dijadikan
sebagai dasar untuk membuat keputusan-keputusan terkait dengan tindak lanjut
hasil yang dapat dijadikan sebagai input untuk pemrosesan selanjutnya. Sama
halnya, proses penilaian ini akan menghasilkan informasi, materi, maupun energy
yang telah terseleksi dan dapat dijadikan sebagai input dalam alur sistem yang
terus berputar.
Sistem yang
bekerja optimal adalah sistem yang tidak berhenti beroperasi meskipun telah menghasilkan
output sebagai tujuan sistem. Sistem bekerja secara mekanis dan berkelanjutan.
Jika sistem berhenti pada tahap input – proses – output saja, tanpa ada feedback dan kelanjutannya, maka sistem
tersebut akan menjadi statis. Pencapaian sistem hanya akan ‘begitu-begitu saja’ tanpa ada peningkatan kualitas outputnya.
Demikian halnya dalam upaya penciptaan kultur sekolah yang ideal. Sistem harus
tanggap dan reaktif terhadap hal-hal yang mempengaruhi jalannya sistem. Oleh
karenanya fungsi unsur kendali dalam melakukan pengawasan dan seperangkat
kewenangan pengendalian lainnya harus tetap dilakukan pada setiap alur kerja
sistem.
Sistem harus
dirancang sedemikian rupa agar ia peka terhadap aspek-aspek yang mempengaruhi
alur sistem. Selain faktor internal yang dapat memberikan pengaruh terhadap
sistem, sistem tersebut harus pula dirancang agar peka terhadap faktor
eksternal, dalam hal ini menunjuk pada lingkungan sistem. Apalagi jika kultur
sekolah yang ideal yang menjadi tujuannya. Faktor eksternal memiliki sumbangan
terhadap pembentukan, wilayah sistem, serta prinsip kerja sistem.
Perumusan sistem
ditinjau dari wilayah karakteristik sistem, diawali dengan mengidentifikasi
aspek-aspek yang berkaitan dengan karakteristik sistem yang berfokus pada
‘wilayah’ sistem. Mengidentifikasi aspek-aspek tersebut menjadi langkah yang
penting, karena dengan mengetahui aspek-aspek apa saja yang dibutuhkan dan
berkaitan dengan pembentukan sistem, maka langkah untuk memposisikan
aspek-aspek tersebut akan menjadi lebih terarah. Sistem memiliki prinsip kerja
mekanis, artinya keteraturan, merupakan hal utama agar sistem dapat berfungsi
sebagaimana mustinya. Mengenali bagian-bagian ‘wilayah’ sistem dimaksudkan agar
aspek-aspek yang dibutuhkan dan berkaitan dengan pembentukan sistem dapat
teraplikasi dengan baik. Berikut adalah
formulasi wilayah karakteristik sistem untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal,
yang diformulasikan oleh kelompok pemakalah:
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
Skema 7. Formulasi
penempatan aspek-aspek yang dibutuhkan dan terkait dalam pembentukan sistem ke
dalam karakteristik ‘wilayah’ sistem.
Skema 7 di atas
merupakan bentuk penerapan formulasi dasar sebagaimana tergambar dalam skema 4.
Upaya untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal melalui sebuah sistem, selain
dengan merumuskan detail alur sistem, juga dengan menentukan aspek apa saja
yang termasuk dalam wilayah karakteristik sistem. Berikut akan dijelaskan
secara rinci:
1. Sistem.
Menciptakan
sebuah kultur sekolah yang ideal dilakukan oleh sistem. Sistem dalam hal ini
adalah sistem pendidikan yang diterapkan di lembaga persekolahan.
Pengertian tersebut, tentu memiliki cakupan yang lebih sempit jika dibandingkan
dengan sistem pendidikan dalam tataran general. Sistem dirancang sedemikian
rupa agar bekerja secara mekanis untuk mencapai tujuan (dalam hal ini visi dan
misi sekolah). Salah satu visi dan misi sekolah adalah menciptakan kultur
sekolah yang ideal. Sistem harus diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
2. Komponen/subsistem.
Komponen sistem
(subsistem) sebagai bagian-bagian pembentuk sistem dengan fokus pada tujuan
menciptakan kultur sekolah yang ideal, dapat diidentifikasikan dalam tiga aspek
utama sistem pendidikan, antara lain: (1) managemen sekolah; (2) proses
pembelajaran; dan (3) kultur sekolah. Penentuan ketiga aspek tersebut
mengadaptasi tiga aspek utama pembentuk sistem pendidikan dalam tataran
general.
Perlu diingat,
mengapa kultur sekolah selain sebagai tujuan juga sebagai komponen sistem,
karena kultur sekolah berposisi sebagai input dan output dalam alur sistem.
Tiga aspek utama tersebut diposisikan sebagai komponen sistem karena masing-masing
memiliki fungsi penggerak organisasi sekolah. Ketiganya sebagai ‘agen’ yang
berkaitan langsung dengan upaya penciptaan kultur sekolah yang ideal.
3. Sub-subsistem.
Sistem yang
baik, terdiri dari komponen-komponen yang membentuknya, dimana setiap komponen
masih memiliki bagian komponen yang lebih kecil lagi atau disebut dengan
sub-subsistem. Bahkan tidak jarang terdapat suatu sistem yang sub-subsistemnya
masih memiliki komponen yang lebih kecil lagi. Hal ini sesuai dengan prinsip
pengorganisasian dalam suatu sistem. Dalam upaya menciptakan kultur sekolah
yang ideal, komponen-komponen utama sistem seperti managemen sekolah, proses
pembelajaran, serta kultur sekolah memiliki subsistemnya masing-masing, yakni:
a. Managemen
sekolah, dilihat dari sisi pengorganisasian, terdiri dari:
(1) kepala sekolah sebagai pimpinan; (2)
seperangkat organisasi seperti sarana prasarana, kurikulum, kesiswaan, humas;
(3) Komite sekolah; serta (4) stakeholder.
b. Proses
pembelajaran, dilihat dari sisi pengorganisasian sebagai pembentuk subsistem,
antara lain: (1) kurikulum; (2) pendidik dan peserta didik; (3) berbagai fasilitas
dan perangkat pembelajaran.
c. Kultur
sekolah, dilihat dari sisi pengorganisasian sebagai pembentuk subsistem,
terdiri dari: (1) seperangkat aturan dan tata tertib di setiap level; (2)
kebiasaan yang tumbuh dan berkembang diantara warga dan lingkungan sekolah; (3)
cita-cita dan harapan yang hendak dicapai terutama dalam penciptaan kultur
sekolah itu sendiri.
Pengorganisasian
berbagai input ke dalam komponen/subsistem dan sub-subsistem akan diikuti
dengan terciptanya hubungan-hubungan yang interaktif, interdependentif,
integrative secara otomatis. Dengan demikian kultur sekolah yang ideal sebagai
main objection akan dapat terwujudkan. Meskipun masih dalam tataran teoritis,
ini membentuk suatu hipotesa bahwa penerapan sistem dengan alur demikian akan
mampu meraih tujuannya.
Tidak
dipungkiri pula bahwa dalam pengoperasian sistem selalu saja dapat dipastikan
munculnya hambatan-hambatan yang dapat mempengaruhi berjalannya sistem. Akan
tetapi dengan pengorganisasian sub-subsistem yang jelas maka kemunculan
hambatan dapat diprediksi, dapat segera diketahui, dan dapat segera diatasi.
4. Boundary.
Setiap sistem
pasti memiliki batasan (boundary).
Demikian halnya dengan koponen/subsistem dan sub-subsistem. Boundary ini menunjuk pada batasan yang
dimiliki oleh setiap bagian maupun tingkatan dalam sistem. Batasan berfungsi
untuk memperjelas tugas dan wewenang sistem, komponen/subsistem, serta
sub-subsistem. Termasuk fungsinya masing-masing. Batasan memiliki arti penting,
agar tidak terjadi over leap atau
ketumpang tindihan fungsi masing-masing beserta garis pertanggungjawaban setiap
bagian. Batasan juga menjadikan sistem akan fokus dalam meraih
tujuan-tujuannya. Selain itu batasan berperan pula ‘menangkal’
pengaruh-pengaruh dari luar yang akan berdampak pada berjalannya sistem.
Dalam upaya
penciptaan kultur sekolah yang ideal dengan menggunakan sistem sebagai
instrumennya, maka batasan sistem dalam hal ini menunjuk pada fungsi kendali
(kontrol), dimana fungsi ini dipegang oleh:
a. Hirearkhi
kepemimpinan, mulai dari kepala sekolah hingga tingkatan kepemimpinan di
bawahnya.
b. Tugas
dan wewenang setiap subsistem sudah jelas.
c. Kebijakan
(seperangkat aturan) yang mengatur bekerjanya sistem juga sudah ada.
d. Penerapan
reward and punishment dalam sistem.
5. Lingkungan
sistem.
Lingkungan
sistem dalam sistem persekolahan menunjuk pada lingkungan alam maupun sosial di luar sekolah. Lingkungan sistem
dalam hal ini juga menunjuk pada stakeholder
yang memiliki hubungan kontinuitas maupun hubungan incidental dengan sekolah sebagai sistem. Berkaitan dengan
penciptaan kultur sekolah yang ideal, masyarakat yang tinggal di wilayah yang
ditempati oleh sekolah turut mempengaruhi berjalannya sistem. Masyarakat dalam
hal ini tidak hanya menunjuk pada masyarakat luas tetapi menunjuk pula pada
entitas-entitas kelembagaan.
Ini dikarenakan,
nilai-nilai sosial tidak hanya dimiliki oleh masyarakat dalam artian kumpulan
manusia yang tingga di wilayah tertentu. Entitas kelembagaan pun memiliki
nilai-nilai sosial yang turut mempengaruhi lingkungan sistem. Terutama
nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang di wilayah
tersebut. Prinsipnya, nilai-nilai positif senantiasa dipertahankan, sedangkan
nilai-nilai negative tentu harus ditinggalkan.
6. Interface.
Hubungan
komunikasi antar komponen sistem dapat terjadi dalam keseharian berjalannya
sistem. Komunikasi ini dapat bersifat formal maupun informal. Komunikasi multi
dimensional sangat dibutuhkan oleh sistem dalam menjaga kerjasama dan hubungan
yang sinergis. Interface juga
berfungsi sebagai saluran untuk pendistribusian kerja antar komponen dan
sub-subsistem. Pemenuhan sasaran dalam level subsistem dikomunikasikan melalui
interface ini agar sejalan dengan main objection sistem secara utuh. Dalam
lingkup penciptaan kultur sekolah yang ideal, setiap komponen proaktif dalam
mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhannya, kekuatan dan kelemahan yang
dimilikinya, bahkan hubungan baik yang terjaga diantara individu-individunya.
Prinsip dan
penggunaan sistem untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal, dipandang
sebagai instrument wajib yang mampu mengolah berbagai input dan memrosesnya
menjadi output yang dicita-citakan. Namun demikian alur kerja sistem selain
bersifat mekanis, juga memiliki sifat dinamis. Sistem tidak akan berhenti
bekerja meskipun telah dihasilkan suatu output. Keberhasilan dalam meraih
tujuan senantiasa mengalami proses recycling demi peningkatan kualitas setiap
aspek yang dibutuhkan dalam input hingga dicapainya tujuan sistem. Pada
akhirnya, sistem tidaklah lebih dari sekadar rancangan kerja, manakala manusia
sebagai ‘penggerak’ sistem enggan untuk berinovasi dan peka terhadap hal-hal
yang mempengaruhi jalannya sistem. Sistem adalah instrument kerja yang mengedepankan
kerjasama sinergis setiap komponen yang membentuknya, bahkan komponen yang
terkecil sekalipun tetap memiliki fungsinya yang determinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar