my 24-7 notez

Jumat, 04 Oktober 2013

Prinsip dan Penggunaan Sistem untuk Menciptakan kultur Sekolah yang Ideal



A.      Penggunaan Sistem untuk Menciptakan Kultur Sekolah yang Ideal.
Secara nyata, kultur sekolah merupakan bagian dari sistem, atau sebagai salah satu unsur pembentuk sistem. Namun dalam porsi yang berbeda, kultur sekolah justru menjadi tujuan sistem itu sendiri. Sistem digunakan sebagai instrument untuk meraih tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini, sistem juga sebagai instrument untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal. Memiliki kultur sekolah yang ideal merupakan tujuan yang termaktub dalam visi dan misi setiap lembaga pendidikan.
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah, termasuk stakeholder pendidikan. Ini seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah menunjuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan, dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah, baik itu kepala sekolah, guru, staf, peserta didik, dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
Pengembangan budaya sekolah sebagai bagian dari unsur pembentuk sistem dan sebagai tujuan sistem memiliki berbagai manfaat. Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya:
1.      Menjamin kualitas kerja yang lebih baik.
2.      Membuka seluruh jaringan dan komunikasi dari segala jenis dan level, baik komunikasi vertikal maupun horisontal.
3.      Lebih terbuka dan transparan.
4.      Menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi.
5.      Meningkatkan rasa solidaritas dan rasa kekeluargaan.
6.      Jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki.
7.      Dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK.
Selain babarapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah:
1.      Meningkatkan kepuasan kerja.
2.      Pergaulan lebih akrab.
3.      Disiplin meningkat.
4.      Pengawasan fungsional bisa lebih ringan.
5.      Muncul keinginan untuk selalu berbuat proaktif.
6.      Memotivasi untuk terus belajar dan berprestasi.
7.      Selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain, dan diri sendiri.
Manfaat, baik dalam cakupan kelembagaan maupun manfaat bagi individu tersebut, merupakan bentuk kultur sekolah yang diidam-idamkan (kultur sekolah yang ideal). Dalam merancang sistem yang memiliki tujuan untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal, harus didasarkan pada prinsip pengembangan budaya sekolah yang terintegrasi dengan sistem itu sendiri. Prinsip-prinsip tersebut, antara lain:
1.      Berfokus pada visi, misi, dan tujuan sekolah.
2.      Penciptaan komunikasi formal dan informal.
3.      Inovatif dan bersedia mengambil resiko.
4.      Memiliki strategi yang jelas.
5.      Berorientasi kinerja.
6.      Sistem evaluasi yang jelas.
7.      Memiliki komitmen yang kuat.
8.      Keputusan berdasarkan konsnsus.
9.      Sistem imbalan yang jelas.
10.  Evaluasi diri.
Penciptaan sistem dengan salah satu tujuannya menciptakan kultur sekolah yang ideal, harus memuat asas-asas pengembangan budaya sekolah, antara lain: (1) kerjasama tim; (2) kemampuan; (3) keinginan; (4) kegembiraan; (5) hormat; (6) jujur; (7) disiplin; (8) empati; serta (9) pengetahuan dan kesopanan.
ANALISIS
Dalam upaya penciptaan kultur sekolah yang ideal, sistem memiliki kedudukan yang penting sebagai instrument untuk mewujudkannya. Ditinjau dari posisi komponen-komponen sistem, yang berkaitan dengan prinsip/cara kerja sistem, budaya organisasi merupakan salah satu input utamanya. Budaya organisasi yang dimaksud, menunjuk pada konsep tentang budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tujuan akhirnya adalah kultur sekolah yang ideal, dan input utamanya adalah kultur organisasi sekolah yang selama ini telah dianut. Kelompok pemakalah mencoba memformulasikan alur prinsip/cara kerja sistem, berikut ini:
Kultur sekolah yang sudah ada
PROCESSING
Kultur sekolah yang ideal
Sebagai input
Sebagai output
Feedback
Feedback
EVALUASI
KOREKSI
FILTERING
+ / -
kesesuaian
Kesalahan dalam sistem
Keputusan-keputusan
 












Skema 6. Kultur sekolah sebagai input dan output.
Budaya organisasi sebagai salah satu input untuk menghasilkan kultur sekolah yang ideal harus memiliki kemanfaatan, serta mendasarkan pada prinsip dan asas pengembangan budaya sekolah. Dengan kata lain, budaya organisasi sekolah serta budaya sekolah yang telah berlangsung (telah ada) merupakan input yang diproses bersama dengan prinsip dan asas pengembangan budaya sekolah.
Input dalam alur sistem ini menunjuk pada segala sesuatu baik itu informasi, materi, maupun energi. Sebagai asumsi dasar jenis-jenis input mentah tersebut, dapat diidentifikasikan dalam aspek-aspek yang terkategorisasi. Berikut pemetaan aspek tersebut:
1.      Dalam kategori informasi, input mentah dapat berupa:
a.       Seperangkat kebijakan, baik kebijakan eksternal maupun internal.
b.      Pengetahuan organisasi sekolah mengenai demografi lingkungan sekolah maupun demografi warga sekolah.
c.       Pengalaman yang dimiliki pihak sekolah sendiri maupun pengalaman dari lembaga pendidikan lain yang dapat dijadikan sebagai masukkan dalam upaya pengelolaan sumber daya manusia. Disebut sebagai pengelolaan sumber daya manusia, karena manusia merupakan subjek sekaligus objek pembangunan kultur itu sendiri. Demikian halnya dalam membangun kultur sekolah yang ideal, diperlukan pengelolaan sumber daya manusia di dalamnya.
2.      Dalam kategori materi, input mentah dapat berupa:
a.       Warga sekolah, meliputi pimpinan, guru, staf/karyawan, dan peserta didik. Warga sekolah dalam hal ini menunjuk pada posisi warga sekolah sebagai subjek (pelaku, pembawa, pengubah, dan penambah kultur dalam lingkup sekolah), dan sebagai objek yang hendak dijadikan sasaran ‘pemilik’ kultur sekolah yang ideal.
b.      Kondisi sekolah, yang menunjuk pada kondisi fisik sekolah, keberadaan fasilitas-fasilitas di dalamnya, sampai pada kondisi lingkungan sekolah.
c.       Rencana dan rumusan tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah, terutama yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas personel yang mencakup seluruh warga sekolah.
3.      Dalam kategori energi, input mentah dapat berupa:
a.       Jumlah warga sekolah (baik pimpinan, guru, staf/karyawan, dan peserta didik. Menunjuk pada banyak atau sedikitnya jumlah keseluruhan warga sekolah maupun jumlah setiap cluster (jumlah personel pada level managerial, jumlah pendidik, jumlah peserta didik, dan jumlah staf).
b.      Jumlah personel dalam setiap clusternya dapat untuk menentukan kapasitas fungsional setiap cluster, termasuk kemampuan prediktif munculnya hambatan yang bersumber dari cluster.
Input mentah dalam kategorisasi di atas bukanlah sebuah ‘harga mati’, identifikasi aspek dalam kategori-ketegori tersebut terbuka terhadap penjelasan-penjelasan yang rasional. Tidak menutup pula kemungkinan masih terdapat aspek yang bisa dikategorikan di dalamnya selain aspek-aspek yang telah disebutkan di atas.
Pada alur berikutnya, meskipun proses pengolahan informasi, energi, dan materi telah menghasilkan keluaran yang berupa kultur sekolah yang lebih baik (dari sebelumnya), namun alur sistem tidak berhenti hanya pada tahapan ini. Sistem masih harus bekerja memberikan feedback (umpan balik). Umpan balik ini meliputi sejumlah kegiatan seperti analisis; filtering; koreksi; dan evaluasi. Serangkaian kegiatan ini memiliki tujuan antara lain:
1.      Analisis dilakukan dengan maksud untuk menemukan dan mengidentifikasi kelebihan maupun kelemahan sistem, dengan melihat hasil (output). Dalam kerangka penciptaan kultur sekolah yang ideal, maka dapat diketahui kultur sekolah yang diciptakan oleh sistem memiliki sejumlah kelebihan dan kelemahan apa saja, dimana letak kebaikan maupun keburukannya. Hal-hal semacam itu.
2.      Filtering berkaitan dengan upaya sistem untuk menyaring, kultur apa saja yang sesuai dan tidak sesuai dengan tujuan dan harapan yang ingin dicapai. Selanjutnya dilakukan langkah ‘mempertahankan’ atau ‘meninggalkan’ unsur-unsur kultur sekolah berdasarkan kesesuaiannya (live or leave out).
3.      Correction (koreksi), yakni langkah yang dilakukan untuk memeriksa terjadinya kesalahan-kesalahan maupun penyimpangan-penyimpangan dalam alur sistem. Tahapan ini juga dilakukan dengan melihat hasil (output). Caranya dengan menelusur ketidaksesuaian hasil dan mencari tahu penyebabnya. Koreksi juga bertujuan untuk memperbaiki alur kerja sistem.
4.      Evaluation (penilaian), yakni langkah lanjutan yang bertujuan untuk memberikan penilaian hasil (output) yang telah mengalami proses alur sistem berupa analisis, filtering, dan koreksi. Penilaian dijadikan sebagai dasar untuk membuat keputusan-keputusan terkait dengan tindak lanjut hasil yang dapat dijadikan sebagai input untuk pemrosesan selanjutnya. Sama halnya, proses penilaian ini akan menghasilkan informasi, materi, maupun energy yang telah terseleksi dan dapat dijadikan sebagai input dalam alur sistem yang terus berputar.
Sistem yang bekerja optimal adalah sistem yang tidak berhenti beroperasi meskipun telah menghasilkan output sebagai tujuan sistem. Sistem bekerja secara mekanis dan berkelanjutan. Jika sistem berhenti pada tahap input – proses – output saja, tanpa ada feedback dan kelanjutannya, maka sistem tersebut akan menjadi statis. Pencapaian sistem hanya akan ‘begitu-begitu saja’ tanpa ada peningkatan kualitas outputnya. Demikian halnya dalam upaya penciptaan kultur sekolah yang ideal. Sistem harus tanggap dan reaktif terhadap hal-hal yang mempengaruhi jalannya sistem. Oleh karenanya fungsi unsur kendali dalam melakukan pengawasan dan seperangkat kewenangan pengendalian lainnya harus tetap dilakukan pada setiap alur kerja sistem.
Sistem harus dirancang sedemikian rupa agar ia peka terhadap aspek-aspek yang mempengaruhi alur sistem. Selain faktor internal yang dapat memberikan pengaruh terhadap sistem, sistem tersebut harus pula dirancang agar peka terhadap faktor eksternal, dalam hal ini menunjuk pada lingkungan sistem. Apalagi jika kultur sekolah yang ideal yang menjadi tujuannya. Faktor eksternal memiliki sumbangan terhadap pembentukan, wilayah sistem, serta prinsip kerja sistem.
Perumusan sistem ditinjau dari wilayah karakteristik sistem, diawali dengan mengidentifikasi aspek-aspek yang berkaitan dengan karakteristik sistem yang berfokus pada ‘wilayah’ sistem. Mengidentifikasi aspek-aspek tersebut menjadi langkah yang penting, karena dengan mengetahui aspek-aspek apa saja yang dibutuhkan dan berkaitan dengan pembentukan sistem, maka langkah untuk memposisikan aspek-aspek tersebut akan menjadi lebih terarah. Sistem memiliki prinsip kerja mekanis, artinya keteraturan, merupakan hal utama agar sistem dapat berfungsi sebagaimana mustinya. Mengenali bagian-bagian ‘wilayah’ sistem dimaksudkan agar aspek-aspek yang dibutuhkan dan berkaitan dengan pembentukan sistem dapat teraplikasi dengan baik.  Berikut adalah formulasi wilayah karakteristik sistem untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal, yang diformulasikan oleh kelompok pemakalah:
1
2
3
4
5
6
 










Skema 7. Formulasi penempatan aspek-aspek yang dibutuhkan dan terkait dalam pembentukan sistem ke dalam karakteristik ‘wilayah’ sistem.

Skema 7 di atas merupakan bentuk penerapan formulasi dasar sebagaimana tergambar dalam skema 4. Upaya untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal melalui sebuah sistem, selain dengan merumuskan detail alur sistem, juga dengan menentukan aspek apa saja yang termasuk dalam wilayah karakteristik sistem. Berikut akan dijelaskan secara rinci:
1.      Sistem.
Menciptakan sebuah kultur sekolah yang ideal dilakukan oleh sistem. Sistem dalam hal ini adalah sistem pendidikan yang diterapkan di lembaga persekolahan. Pengertian tersebut, tentu memiliki cakupan yang lebih sempit jika dibandingkan dengan sistem pendidikan dalam tataran general. Sistem dirancang sedemikian rupa agar bekerja secara mekanis untuk mencapai tujuan (dalam hal ini visi dan misi sekolah). Salah satu visi dan misi sekolah adalah menciptakan kultur sekolah yang ideal. Sistem harus diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
2.      Komponen/subsistem.
Komponen sistem (subsistem) sebagai bagian-bagian pembentuk sistem dengan fokus pada tujuan menciptakan kultur sekolah yang ideal, dapat diidentifikasikan dalam tiga aspek utama sistem pendidikan, antara lain: (1) managemen sekolah; (2) proses pembelajaran; dan (3) kultur sekolah. Penentuan ketiga aspek tersebut mengadaptasi tiga aspek utama pembentuk sistem pendidikan dalam tataran general.
Perlu diingat, mengapa kultur sekolah selain sebagai tujuan juga sebagai komponen sistem, karena kultur sekolah berposisi sebagai input dan output dalam alur sistem. Tiga aspek utama tersebut diposisikan sebagai komponen sistem karena masing-masing memiliki fungsi penggerak organisasi sekolah. Ketiganya sebagai ‘agen’ yang berkaitan langsung dengan upaya penciptaan kultur sekolah yang ideal.
3.      Sub-subsistem.
Sistem yang baik, terdiri dari komponen-komponen yang membentuknya, dimana setiap komponen masih memiliki bagian komponen yang lebih kecil lagi atau disebut dengan sub-subsistem. Bahkan tidak jarang terdapat suatu sistem yang sub-subsistemnya masih memiliki komponen yang lebih kecil lagi. Hal ini sesuai dengan prinsip pengorganisasian dalam suatu sistem. Dalam upaya menciptakan kultur sekolah yang ideal, komponen-komponen utama sistem seperti managemen sekolah, proses pembelajaran, serta kultur sekolah memiliki subsistemnya masing-masing, yakni:
a.       Managemen sekolah, dilihat dari sisi pengorganisasian, terdiri dari: (1)  kepala sekolah sebagai pimpinan; (2) seperangkat organisasi seperti sarana prasarana, kurikulum, kesiswaan, humas; (3) Komite sekolah; serta (4) stakeholder.
b.      Proses pembelajaran, dilihat dari sisi pengorganisasian sebagai pembentuk subsistem, antara lain: (1) kurikulum; (2) pendidik dan peserta didik; (3) berbagai fasilitas dan perangkat pembelajaran.
c.       Kultur sekolah, dilihat dari sisi pengorganisasian sebagai pembentuk subsistem, terdiri dari: (1) seperangkat aturan dan tata tertib di setiap level; (2) kebiasaan yang tumbuh dan berkembang diantara warga dan lingkungan sekolah; (3) cita-cita dan harapan yang hendak dicapai terutama dalam penciptaan kultur sekolah itu sendiri.
Pengorganisasian berbagai input ke dalam komponen/subsistem dan sub-subsistem akan diikuti dengan terciptanya hubungan-hubungan yang interaktif, interdependentif, integrative secara otomatis. Dengan demikian kultur sekolah yang ideal sebagai main objection akan dapat terwujudkan. Meskipun masih dalam tataran teoritis, ini membentuk suatu hipotesa bahwa penerapan sistem dengan alur demikian akan mampu meraih tujuannya.
Tidak dipungkiri pula bahwa dalam pengoperasian sistem selalu saja dapat dipastikan munculnya hambatan-hambatan yang dapat mempengaruhi berjalannya sistem. Akan tetapi dengan pengorganisasian sub-subsistem yang jelas maka kemunculan hambatan dapat diprediksi, dapat segera diketahui, dan dapat segera diatasi.
4.      Boundary.
Setiap sistem pasti memiliki batasan (boundary). Demikian halnya dengan koponen/subsistem dan sub-subsistem. Boundary ini menunjuk pada batasan yang dimiliki oleh setiap bagian maupun tingkatan dalam sistem. Batasan berfungsi untuk memperjelas tugas dan wewenang sistem, komponen/subsistem, serta sub-subsistem. Termasuk fungsinya masing-masing. Batasan memiliki arti penting, agar tidak terjadi over leap atau ketumpang tindihan fungsi masing-masing beserta garis pertanggungjawaban setiap bagian. Batasan juga menjadikan sistem akan fokus dalam meraih tujuan-tujuannya. Selain itu batasan berperan pula ‘menangkal’ pengaruh-pengaruh dari luar yang akan berdampak pada berjalannya sistem.
Dalam upaya penciptaan kultur sekolah yang ideal dengan menggunakan sistem sebagai instrumennya, maka batasan sistem dalam hal ini menunjuk pada fungsi kendali (kontrol), dimana fungsi ini dipegang oleh:
a.       Hirearkhi kepemimpinan, mulai dari kepala sekolah hingga tingkatan kepemimpinan di bawahnya.
b.      Tugas dan wewenang setiap subsistem sudah jelas.
c.       Kebijakan (seperangkat aturan) yang mengatur bekerjanya sistem juga sudah ada.
d.      Penerapan reward and punishment dalam sistem.
5.      Lingkungan sistem.
Lingkungan sistem dalam sistem persekolahan menunjuk pada lingkungan alam maupun  sosial di luar sekolah. Lingkungan sistem dalam hal ini juga menunjuk pada stakeholder yang memiliki hubungan kontinuitas maupun hubungan incidental dengan sekolah sebagai sistem. Berkaitan dengan penciptaan kultur sekolah yang ideal, masyarakat yang tinggal di wilayah yang ditempati oleh sekolah turut mempengaruhi berjalannya sistem. Masyarakat dalam hal ini tidak hanya menunjuk pada masyarakat luas tetapi menunjuk pula pada entitas-entitas kelembagaan.
Ini dikarenakan, nilai-nilai sosial tidak hanya dimiliki oleh masyarakat dalam artian kumpulan manusia yang tingga di wilayah tertentu. Entitas kelembagaan pun memiliki nilai-nilai sosial yang turut mempengaruhi lingkungan sistem. Terutama nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang di wilayah tersebut. Prinsipnya, nilai-nilai positif senantiasa dipertahankan, sedangkan nilai-nilai negative tentu harus ditinggalkan.
6.      Interface.
Hubungan komunikasi antar komponen sistem dapat terjadi dalam keseharian berjalannya sistem. Komunikasi ini dapat bersifat formal maupun informal. Komunikasi multi dimensional sangat dibutuhkan oleh sistem dalam menjaga kerjasama dan hubungan yang sinergis. Interface juga berfungsi sebagai saluran untuk pendistribusian kerja antar komponen dan sub-subsistem. Pemenuhan sasaran dalam level subsistem dikomunikasikan melalui interface ini agar sejalan dengan main objection sistem secara utuh. Dalam lingkup penciptaan kultur sekolah yang ideal, setiap komponen proaktif dalam mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhannya, kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, bahkan hubungan baik yang terjaga diantara individu-individunya.
Prinsip dan penggunaan sistem untuk menciptakan kultur sekolah yang ideal, dipandang sebagai instrument wajib yang mampu mengolah berbagai input dan memrosesnya menjadi output yang dicita-citakan. Namun demikian alur kerja sistem selain bersifat mekanis, juga memiliki sifat dinamis. Sistem tidak akan berhenti bekerja meskipun telah dihasilkan suatu output. Keberhasilan dalam meraih tujuan senantiasa mengalami proses recycling demi peningkatan kualitas setiap aspek yang dibutuhkan dalam input hingga dicapainya tujuan sistem. Pada akhirnya, sistem tidaklah lebih dari sekadar rancangan kerja, manakala manusia sebagai ‘penggerak’ sistem enggan untuk berinovasi dan peka terhadap hal-hal yang mempengaruhi jalannya sistem. Sistem adalah instrument kerja yang mengedepankan kerjasama sinergis setiap komponen yang membentuknya, bahkan komponen yang terkecil sekalipun tetap memiliki fungsinya yang determinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar