my 24-7 notez

Kamis, 28 Maret 2013

Pembelajaran Berbasis Student Center


Paradigma pembelajaran senantiasa mengalami perubahan. Perubahan dimaksudkan untuk perkembangan dan kemajuan pembelajaran yang dapat memberikan hasil yang lebih baik. Paradigma pembelajaran yang berkembang dan diterapkan selalu menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Tidak berlebihan bilamana terdapat anggapan umum, bahwa pembangunan sumber daya manusia dimulai dari ruang-ruang kelas dalam lingkup pendidikan formal di sekolah. Proses pendidikan merupakan langkah nyata untuk mempersiapkan sumber daya manusia bagi kemajuan bangsa dan negara (human investment).
Salah satu cita-cita pendidikan diantaranya, proses pembelajaran di kelas mampu membentuk sumber daya manusia yang memiliki kapasitas dan kualitas yang dibutuhkan jaman, tanpa meninggalkan karekter humanis yang berkebangsaan. Melihat betapa pentingnya pembelajaran di kelas, sebagai bagian dari human investement, tentu proses pembelajaran di kelas harus memiliki kualitas yang di atas rata-rata. Penentu proses pembelajaran yang berkualitas terletak di tangan guru. Secara sederhana proses pembelajaran di kelas dapat diringkas dalam tiga tahapan utama. Ketiga tahapan tersebut antara lain: (1) persiapan; (2) pelaksanaan; dan, (3) evaluasi.
Terminologi guru berperan sebagai ‘fasilitator’ pembelajaran, memiliki makna yang fungsional. Menjadi seorang fasilitator pembelajaran, tidak cukup dimaknai dengan memberikan bimbingan dan mendampingi pembelajar, tetapi berkaitan dengan sejauh mana guru mampu mengoptimalkan kewenangan yang dimilikinya sebagai seorang fasilitator pembelajaran. Sebenarnya sangat disadari bahwa guru, sebagai seorang pendidik memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola pembelajaran di kelas yang diampunya. Kewenangan yang luas tersebut dapat dilihat dari peran guru yang multidimensi. Pertama, dilihat dari dimensi persiapan pembelajaran, guru berperan sebagai seorang desainer, yang memiliki kebebasan dalam membuat perencanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran dalam hal ini meliputi pembuatan RPP sekaligus berbagai persiapan yang dibutuhkan sebelum proses pembelajaran di kelas dilaksanakan, seperti penguasaan materi, penentuan sumber maupun media belajar, menentukan setting belajar (lingkungan yang meliputi situasi dan suasana belajar), dan lain sebagainya.
Kedua, dilihat dari dimensi pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru memiliki peran sebagai konduktor. Dalam analogi yang sederhana, guru seolah-olah adalah seorang pemimpin orkestra musik yang banyak melibatkan banyak instrumen dan pemain musik yang beragam. ‘Guru sebagai konduktor’ dalam hal ini adalah guru bertugas memimpin proses pembelajaran. Memimpin proses pembelajaran tidak diartikan guru mendominasi di dalamnya, tetapi guru memastikan rencana pembelajaran (learning design) benar-benar terlaksana dengan baik, dengan berbagai penyesuaian terhadap lingkungan kelas. Sebagai seorang konduktor dalam proses pembelajaran, guru harus mampu mengelola berbagai aspek-aspek yang dibutuhkan dalam situasi belajar. Termasuk kemampuan dalam mengelola aspek-aspek yang muncul pada saat pembelajaran berlangsung, yang terkadang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Sebagaimana tugas seorang konduktor dalam sebuah orkestra musik yang mampu menggabungkan berbagai macam instrumen musik menjadi sebuah simponi. Demikian halnya dengan pelaksanaan proses pembelajaran di kelas.
Ketiga, dimensi evaluasi. Penilaian yang ideal adalah penilaian yang mampu mencakup tiga ranah penting dalam pembentukan pengalaman belajar. Antara lain mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik. Ini menjadikan penilaian tidak hanya pada penilaian pekerjaan siswa, tetapi juga penilaian terhadap kinerja siswa. Pekerjaan dan kinerja merupakan dua hal yang berbeda. Pekerjaan menunjuk pada hasil secara fisik, seperti jawaban soal, lembar kerja, laporan dan sebagainya yang bersifat fisik, sehingga penilaian terhadap pekerjaan dapat dilakukan setelah pembelajaran di kelas selesai. Berbeda dengan kinerja, penilaian kinerja peserta didik dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Dalam menilai kinerja peserta didik, yang menjadi indikator penilaian adalah partisipasi, performa, dan sikap peserta didik yang dapat diamati secara langsung oleh guru dan dicatat dalam lembar penilaian kinerja. Peran guru sebagai seorang evaluator harus dijalankan secara profesional, sistematis, adil, dan terekam. Agar peran tersebut terlaksana secara ideal, guru harus memberikan penilaian sebagaimana telah dirumuskan dalam desain pembelajaran. Penilaian akhir merupakan akumulasi dari pekerjaan dan kinerja.
Proses evaluasi tidak berhenti pada penilaian terhadap proses pembelajaran yang terpusat pada pekerjaan dan kinerja peserta didik saja. Evaluasi intern oleh guru terhadap keseluruhan tahapan utama pembelajaran yang diselenggarakannya pun harus dilakukan. Guru harus melakukan penilaian terhadap keseluruhan proses pembelajaran yang ia rancang dan ia laksanakan. Tujuannya agar guru menemukan kelebihan, kekurangan, maupun kendala-kendala yang dihadapi saat pelaksanaan proses pembelajaran. Guru juga perlu melakukan evaluasi diri dan memberikan tindak lanjut dari keseluruhan evaluasi yang dilakukannya, demi kemajuan kapasitasnya sebagai seorang pendidik.
Pelaksanaan pembelajaran yang meliputi tiga tahapan utama proses pembelajaran di kelas, mutlak memerlukan pertimbangan-pertimbangan dalam pemilihan metode pembelajaran yang sesuai. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat berbagai macam metode pembelajaran, antara lain: ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, simulasi, sosiodrama, resitasi, karyawisata, dril, problem solving, dan lainnya. Pemilihan metode pembelajaran yang sesuai akan memudahkan guru dan peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Di sisi lain, pemilihan metode pembelajaran yang sesuai akan mampu memberikan pengalaman belajar pada peserta didik yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Konsepsi student center, saat ini menjadi sebuah euforia pendidikan di Indonesia yang selama ini didominasi oleh porsi keaktifan guru daripada keaktifan siswa. Para pakar pendidikan menjadi lebih gencar dalam mensosialisasikan berbagai metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan keaktifan siswa. Pemerhati pendidikan termasuk guru terdorong untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam merancang metode-metode pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif. Namun tidak dipungkiri pula, bahwa tuntutan ini menjadi sulit dipenuhi oleh guru manakala guru dihadapkan pada kendala-kendala baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kendala internal berkaitan dengan kompetensi dan kemauan guru untuk mampu mengimplementasikan metode pembelajaran yang sesuai dalam mata pelajaran yang diampunya. Kendala eksternal berkaitan dengan kondisi sekitar lingkungan belajar, apakah mendukung atau tidak untuk dapat menerapkan suatu metode pembelajaran.
Adanya tuntutan pendidikan di Indonesia, bahwa penyelenggaraan pembelajaran harus mampu membentuk karakter dan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur, juga menuntut guru untuk dapat mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam penyelenggaraan pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu, pemilihan metode pembelajaran sebenarnya akan membantu guru mengimplementasikan pembelajaran yang dapat memunculkan nilai-nilai luhur tersebut. Melihat banyaknya tuntutan pelaksanaan pembelajaran yang ideal, untuk menentukan penggunaan suatu metode pembelajaran harus mempertimbangkan banyak hal. Tujuannya, agar metode pembelajaran yang dipilih dapat mencapai hasil yang hendak dicapai, memudahkan interaksi dan kegiatan belajar, memberikan pengalaman belajar bagi peserta didik secara fungsional, serta ‘membekas’.
 Keberhasilan suatu pembelajaran dapat diraih manakala semua aspek yang berkaitan dengan pembelajaran membentuk hubungan yang sinergis, saling melengkapi, dan didukung oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Dukungan dari semua warga belajar tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus dibangun melalui pola interaksi positif antara pendidik dan peserta didik. Seorang pendidik harus memiliki kepercayaan diri yang dilandasi dengan kapasitas, kualitas, dan komitmen yang kuat, sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan peserta didik akan kemampuan pendidik sebagai seorang fasilitator pembelajaran. Guru sebagai seorang learning designer, konduktor, sekaligus evaluator harus mampu mengoptimalkan peranan-peranan fungsional tersebut agar keberhasilan pembelajaran dapat dicapai. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran, bukan keberhasilan guru seorang, tetapi keberhasilan yang sama-sama diraih beserta peserta didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar