Paradigma
pembelajaran senantiasa mengalami perubahan. Perubahan dimaksudkan untuk
perkembangan dan kemajuan pembelajaran yang dapat memberikan hasil yang lebih
baik. Paradigma pembelajaran yang berkembang dan diterapkan selalu menyesuaikan
dengan kondisi kekinian. Tidak berlebihan bilamana terdapat anggapan umum,
bahwa pembangunan sumber daya manusia dimulai dari ruang-ruang kelas dalam
lingkup pendidikan formal di sekolah. Proses pendidikan merupakan langkah nyata
untuk mempersiapkan sumber daya manusia bagi kemajuan bangsa dan negara (human investment).
Salah satu
cita-cita pendidikan diantaranya, proses pembelajaran di kelas mampu membentuk sumber
daya manusia yang memiliki kapasitas dan kualitas yang dibutuhkan jaman, tanpa
meninggalkan karekter humanis yang berkebangsaan. Melihat betapa pentingnya
pembelajaran di kelas, sebagai bagian dari human
investement, tentu proses pembelajaran di kelas harus memiliki kualitas
yang di atas rata-rata. Penentu proses pembelajaran yang berkualitas terletak
di tangan guru. Secara sederhana proses pembelajaran di kelas dapat diringkas
dalam tiga tahapan utama. Ketiga tahapan tersebut antara lain: (1) persiapan;
(2) pelaksanaan; dan, (3) evaluasi.
Terminologi guru
berperan sebagai ‘fasilitator’ pembelajaran, memiliki makna yang fungsional.
Menjadi seorang fasilitator pembelajaran, tidak cukup dimaknai dengan
memberikan bimbingan dan mendampingi pembelajar, tetapi berkaitan dengan sejauh
mana guru mampu mengoptimalkan kewenangan yang dimilikinya sebagai seorang
fasilitator pembelajaran. Sebenarnya sangat disadari bahwa guru, sebagai
seorang pendidik memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola pembelajaran di
kelas yang diampunya. Kewenangan yang luas tersebut dapat dilihat dari peran guru
yang multidimensi. Pertama, dilihat dari dimensi persiapan pembelajaran, guru
berperan sebagai seorang desainer, yang memiliki kebebasan dalam membuat
perencanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran dalam hal ini meliputi
pembuatan RPP sekaligus berbagai persiapan yang dibutuhkan sebelum proses
pembelajaran di kelas dilaksanakan, seperti penguasaan materi, penentuan sumber
maupun media belajar, menentukan setting
belajar (lingkungan yang meliputi situasi dan suasana belajar), dan lain
sebagainya.
Kedua, dilihat
dari dimensi pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru memiliki peran sebagai
konduktor. Dalam analogi yang sederhana, guru seolah-olah adalah seorang
pemimpin orkestra musik yang banyak melibatkan banyak instrumen dan pemain
musik yang beragam. ‘Guru sebagai konduktor’ dalam hal ini adalah guru bertugas
memimpin proses pembelajaran. Memimpin proses pembelajaran tidak diartikan guru
mendominasi di dalamnya, tetapi guru memastikan rencana pembelajaran (learning design) benar-benar terlaksana
dengan baik, dengan berbagai penyesuaian terhadap lingkungan kelas. Sebagai
seorang konduktor dalam proses pembelajaran, guru harus mampu mengelola
berbagai aspek-aspek yang dibutuhkan dalam situasi belajar. Termasuk kemampuan
dalam mengelola aspek-aspek yang muncul pada saat pembelajaran berlangsung,
yang terkadang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Sebagaimana
tugas seorang konduktor dalam sebuah orkestra musik yang mampu menggabungkan
berbagai macam instrumen musik menjadi sebuah simponi. Demikian halnya dengan pelaksanaan
proses pembelajaran di kelas.
Ketiga, dimensi
evaluasi. Penilaian yang ideal adalah penilaian yang mampu mencakup tiga ranah
penting dalam pembentukan pengalaman belajar. Antara lain mencakup ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik. Ini menjadikan penilaian tidak
hanya pada penilaian pekerjaan siswa, tetapi juga penilaian terhadap kinerja
siswa. Pekerjaan dan kinerja merupakan dua hal yang berbeda. Pekerjaan menunjuk
pada hasil secara fisik, seperti jawaban soal, lembar kerja, laporan dan sebagainya
yang bersifat fisik, sehingga penilaian terhadap pekerjaan dapat dilakukan
setelah pembelajaran di kelas selesai. Berbeda dengan kinerja, penilaian
kinerja peserta didik dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Dalam menilai kinerja peserta didik, yang menjadi indikator penilaian adalah
partisipasi, performa, dan sikap peserta didik yang dapat diamati secara
langsung oleh guru dan dicatat dalam lembar penilaian kinerja. Peran guru
sebagai seorang evaluator harus dijalankan secara profesional, sistematis,
adil, dan terekam. Agar peran tersebut terlaksana secara ideal, guru harus
memberikan penilaian sebagaimana telah dirumuskan dalam desain pembelajaran.
Penilaian akhir merupakan akumulasi dari pekerjaan dan kinerja.
Proses evaluasi
tidak berhenti pada penilaian terhadap proses pembelajaran yang terpusat pada
pekerjaan dan kinerja peserta didik saja. Evaluasi intern oleh guru terhadap
keseluruhan tahapan utama pembelajaran yang diselenggarakannya pun harus
dilakukan. Guru harus melakukan penilaian terhadap keseluruhan proses
pembelajaran yang ia rancang dan ia laksanakan. Tujuannya agar guru menemukan
kelebihan, kekurangan, maupun kendala-kendala yang dihadapi saat pelaksanaan
proses pembelajaran. Guru juga perlu melakukan evaluasi diri dan memberikan
tindak lanjut dari keseluruhan evaluasi yang dilakukannya, demi kemajuan
kapasitasnya sebagai seorang pendidik.
Pelaksanaan
pembelajaran yang meliputi tiga tahapan utama proses pembelajaran di kelas, mutlak
memerlukan pertimbangan-pertimbangan dalam pemilihan metode pembelajaran yang
sesuai. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan
praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat berbagai macam metode
pembelajaran, antara lain: ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi,
simulasi, sosiodrama, resitasi, karyawisata, dril, problem solving, dan lainnya. Pemilihan metode pembelajaran yang
sesuai akan memudahkan guru dan peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran
di kelas. Di sisi lain, pemilihan metode pembelajaran yang sesuai akan mampu
memberikan pengalaman belajar pada peserta didik yang mencakup ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor.
Konsepsi student center, saat ini menjadi sebuah
euforia pendidikan di Indonesia yang selama ini didominasi oleh porsi keaktifan
guru daripada keaktifan siswa. Para pakar pendidikan menjadi lebih gencar dalam
mensosialisasikan berbagai metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan keaktifan
siswa. Pemerhati pendidikan termasuk guru terdorong untuk menjadi lebih kreatif
dan inovatif dalam merancang metode-metode pembelajaran yang mampu membuat
siswa aktif. Namun tidak dipungkiri pula, bahwa tuntutan ini menjadi sulit
dipenuhi oleh guru manakala guru dihadapkan pada kendala-kendala baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Kendala internal berkaitan dengan
kompetensi dan kemauan guru untuk mampu mengimplementasikan metode pembelajaran
yang sesuai dalam mata pelajaran yang diampunya. Kendala eksternal berkaitan
dengan kondisi sekitar lingkungan belajar, apakah mendukung atau tidak untuk
dapat menerapkan suatu metode pembelajaran.
Adanya tuntutan
pendidikan di Indonesia, bahwa penyelenggaraan pembelajaran harus mampu
membentuk karakter dan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur, juga menuntut guru
untuk dapat mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam penyelenggaraan
pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu, pemilihan metode pembelajaran sebenarnya
akan membantu guru mengimplementasikan pembelajaran yang dapat memunculkan
nilai-nilai luhur tersebut. Melihat banyaknya tuntutan pelaksanaan pembelajaran
yang ideal, untuk menentukan penggunaan suatu metode pembelajaran harus
mempertimbangkan banyak hal. Tujuannya, agar metode pembelajaran yang dipilih dapat
mencapai hasil yang hendak dicapai, memudahkan interaksi dan kegiatan belajar,
memberikan pengalaman belajar bagi peserta didik secara fungsional, serta
‘membekas’.
Keberhasilan suatu
pembelajaran dapat diraih manakala semua aspek yang berkaitan dengan
pembelajaran membentuk hubungan yang sinergis, saling melengkapi, dan didukung
oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Dukungan dari semua warga belajar
tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus dibangun melalui pola interaksi
positif antara pendidik dan peserta didik. Seorang pendidik harus memiliki
kepercayaan diri yang dilandasi dengan kapasitas, kualitas, dan komitmen yang
kuat, sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan peserta didik akan kemampuan
pendidik sebagai seorang fasilitator pembelajaran. Guru sebagai seorang learning designer, konduktor, sekaligus
evaluator harus mampu mengoptimalkan peranan-peranan fungsional tersebut agar
keberhasilan pembelajaran dapat dicapai. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran,
bukan keberhasilan guru seorang, tetapi keberhasilan yang sama-sama diraih
beserta peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar