my 24-7 notez

Senin, 05 Januari 2015

Mentari di Lanjee



Mentari di Lanjee
Short Novel by: ZUKY IRIANI


M
omase berlari kencang ke dalam hutan. Ia tidak menyangka akan sesakit ini mendengar pengakuan Ranjiibara tentang dirinya. Pangeran dari suku Sansibardos itu telah membohonginya selama ini. Yang paling menyedihkan diantara semuanya adalah Momase tidak bisa memungkiri kalau ia telah jatuh cinta pada pada Ranjibara. Ia telah rela meninggalkan sukunya dan mengarungi perjalanan jauh demi lelaki itu. Ia telah rela berpisah dengan keluarganya demi mengikuti kemanapun lelaki itu pergi.
Momase menangis sepanjang pelariannya. Dalam hati ia sangat berharap Ranjibara akan mengejarnya. Meminta dirinya untuk tinggal. Untuk kembali padanya. Tapi nalar Momase memaksanya untuk terus berlari menjauhi lelaki itu. Kalau pun Ranjibara benar melakukannya, Momase akan tetap pergi. Hatinya sudah terlanjur luka oleh kejujuran Ranjibara di hadapan orang-orang suku Sansibardos.
Lagipula ternyata Ranjibara melakukan semua ini demi seorang gadis dari suku Darionjola. Gadis bernama Kalutima mensyaratkan agar ia bisa membawa seorang putri dari suku Umere untuk menjadi budaknya. Seumur hidupnya, perjalanan panjang yang pernah ia tempuh bersama Ranjibara, Momase belum pernah melihat sosok gadis secantik Kalutima. Kalutima memiliki kulit yang putih bersih. Matanya lebar dengan bola mata yang hitam dan tatapan yang tajam. Rambutnya hitam panjang bergelombang dan bibir yang merah. Gadis itu memiliki suara yang memukau setiap telinga yang mendengarnya. Kalutima sangat sadar akan kelebihan yang dimilikinya.
Ia masih mengingat setiap kata yang keluar dari mulut orang-orang malam itu. Setiap kata yang terlintas dalam pikirannya terasa menusuk-nusuk hati dan perasaannya.
Ranjibara membawanya ke sebuah pesta di tanah lapang di bawah bukit yang berbatasan dengan wilayah suku Darionjola. Orang-orang memakai pakaian terbaik mereka. Kain tapian yang mereka rajut dari serat pohon anghese. Hiasan kepala yang mereka anyam dari bunga kuleke yang dikeringkan. Meja-meja yang dibuat dari kayu deak dipenuhi dengan berbagai hidangan. Obor-obor yang diletakkan mengelilingi tempat itu dinyalakan sejak sore.
Orang-orang berkumpul dan membicarakan berbagai hal. Sebuah balai panggung sudah disediakan untuk dua orang. Orang-orang yang hadir bisa melihat balai panggung itu di hadapan mereka. Seseorang keluar dari kerumuman bersama beberapa gadis yang berjalan mengiringinya. Saat Kalutima berjalan mendekat pada Ranjibara, orang-orang berangsur terdiam. Mereka duduk membentuk lingkaran di sekelilingnya. Siapa pun akan terpukau dengan kecantikan dan keelokan Kalutima.
“Kau tak lupa janjimu kan pangeran? Kau akan membawakan budak dari Umere untukku. Kudengar wanita Umere pekerja keras. Mereka juga pandai mengobati dengan tanaman. Kalau kita menikah nanti kau tak perlu khawatir kehilangan waktumu untuk selalu bisa denganku. Karena semua pekerjaan sudah ditanggung budak perempuan yang kuinginkan”, Kalutima berdiri dengan angkuh dihadapan orang-orang. Matanya menatap Momase dari ujung kaki hingga ujung kepala. Momase merasa heran dengan perkataan perempuan itu. Ia belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Momase manatap Ranjibara dengan penuh pertanyaan. Ranjibara hanya menatap sepintas pada Momase. Tapi lelaki tampan itu jelas menghindari tatapan mata Momase yang menuntut sebuah penjelasan.
“Aku tidak akan mengecewakanmu. Kau lihat. Aku datang dengan janjiku yang terakhir”, Ranjibara secepatnya melangkah mendekati Kalutima dan meraih tangan gadis itu. Ia bahkan mengabaikan Momase yang sedari tadi berjalan di belakangnya. “Tuan, apa maksud semua ini?”, Momase akhirnya berkata.
“Aku tidak tahu apa yang membuatmu mau mengikutinya. Tapi kita semua tahu, tidak ada orang bodoh yang akan menerima tawaran kalau dirinya akan dijadikan budak. Jadi apa yang bisa kupikirkan kecuali kalau kau sudah jatuh cinta pada Ranjibara..”, Kalutima menatap Momase sambil tersenyum puas. Ia bukan gadis yang suka berbasa-basi. Ia menyadari dia pemenang dari permainan licik yang dilakukan oleh Ranjibara untuk menjerat gadis dari suku Umere.
“Kau tahu, kau yang terbaik. Dan aku hanya menginginkamu Kalutima..”, Ranjibara menundukkan badannya dan berlutut di hadapan Kalutima. Momase tersentak. Hatinya hancur seketika. Air matanya menitik tak terbendung.
“Untuk itu, aku pun menginginkan yang terbaik untukku. Gadis suku Umere akan menjadi budak terbaik yang kumiliki di Sansibardos dan di Darionjola”, Kalutima menarik tangannya perlahan dari tangan Ranjibara. “Tapi aku bukan budak. Aku tidak akan sudi menjadi budakmu atau budak siapa pun!”, Momase berkata keras. Hatinya terasa panas dan sesak. Ia belum pernah merasakan kemarahan dan kekecewaan sebesar ini sebelumnya.
Gadis-gadis lain yang mengiringi Kalutima hanya memandang remeh pada Momase. Mata mereka seolah mengatakan siapa kau berani berkata seperti itu dihadapan Kalutima..
“Kau mengatakan, kau akan membawaku ke Sasibardos untuk kau peristri. Apa kau mau memungkirinya?”, Momase melangkah dan menarik pergelangan tangan Ranjibara.
Ranjibara tidak berkata apa-apa. Ia bahkan bersikap acuh dan enggan menatap wajah Momase.
“Ranjibara mengatakan kalau dia akan memberikan batu ongkala untukku. Dan dia sudah melakukannya”, Kalutima memegang sebuah bandul yang menggantung di lehernya. Batu ongkala adalah permata yang harus dicari di goa ongkla-ongkla yang menjadi sarang gunau terbang. Burung sebesar kerbau yang memiliki cakar dan paruh tajam. Gunau terbang tidak akan segan-segan mencabik-cabik tubuh siapapun yang mengganggu sarangnya.
“Ia juga sudah mencabut bulu gunau terbang dan menghadiahkannya untukku. Kau juga melihatnya kan?”, Kalutima mengerlingkan matanya ke atas. Itu adalah semacam isyarat agar Momase melihat mahkota yang dikenakan di kepalanya.
Momase semakin merasakan perih menghujam jantungnya ketika melihat Kalutima memakai mahkota yang dianyam dari bulu gunau terbang. Ranjibara pasti sangat menginginkan gadis ini menjadi mempelainya, karena ia bahkan rela mempertaruhkan nyawanya demi menuruti permintaan Kalutima.
“Jadi apa yang sudah Ranjibara lakukan untukmu?”, pertanyaan Kalutima menghujam ke dalam jantung Momase. Ranjibara memang tidak melakukan apa pun untuk Momase. Ia hanya menjanjikan akan menikahi Momase jika gadis itu mau mengikutinya ke Sansibardos. Ranjibara hanya mengatakan kalau ia mencintai Momase sepenuh hatinya dan gadis itu percaya begitu saja. Momase merasa bodoh. Ia tertipu dengan kata-kata manis Ranjibara selama ini. “Jadi apa yang tersisa yang masih kau miliki, gadis lugu?”, Kalutima sudah menghujaninya dengan pertanyaan lain sebelum Momase sempat berpikir lurus kembali. Kalutima dan gadis-gadis pengiringnya mulai menertawakan Momase.
“Aku masih punya kesucianku dan kemerdekaanku!”, Momase menjawab dengan lantang. Semua seketika terdiam. Kalutima melangkah mendekat pada Momase. Ia meletakkan kedua tangannya di pinggang sambil menatap tajam ke dalam mata Momase. Mereka saling menatap sekarang.
“Apa itu benar, kekasihku..Ranjibara?”, Kalutima menoleh pada Ranjibara. “Kau bisa percaya kata-katanya. Tidak seorang gadispun yang bisa membuatku tertarik kecuali engkau. Aku tidak sudi menyentuhnya bahkan kalau dia menginginkannya”, Ranjibara berkata dengan angkuh. “Gadis Umere hanya menyerahkan kesuciannya pada suaminya. Kami bahkan mempertahankannya dengan nyawa kami. Kata-katamu itu rendah sekali”, Momase membela diri dan kehormatannya.
“Baiklah..Kalau demikian, itu akan menjadi satu-satunya hal yang kau miliki. Karena kemerdekaan seperti yang kau katakan bukan milik seorang budak sepertimu”, Kalutima mendorong pundak Momase dengan kasar. “Kau mungkin wanita tercantik yang kutemui seumur hidupku. Tapi kau memiliki hati bangkai”, Momase tidak berusaha menahan amarahnya sekarang.
Kalutima secepatnya mendesak ke arah Momase. Ia melayangkan tamparanya ke wajah Momase berkali-kali. Momase tidak mampu menghindar. Darah mengalir dari ujung bibirnya. Tapi Momase malah tersenyum. “Manusia macam apa kalian. Nalar kalian mati. Moral kalian dibutakan oleh kecantikan fisik yang tidak akan abadi”, Momase terkapar di tanah.
“Aku tidak ingin mendengar lagi ucapan budak perempuan ini yang menghina Kalutima ku. Bawa dia. Kurung dia di umbala!”, Ranjibara memerintahkan anak buahnya untuk menghukum Momase. Langit serasa runtuh dihadapan Momase. Ia tidak hanya dikhianati. Tapi Ranjibara telah membuangnya. Ranjibara menarik lengan Amuse, pengawal kepercayaannya agar segera melakukan perintahnya. Momase berusaha bangkit. Ia berdiri lagi dengan tegak. Kalutima melangkah mendekati Momase. Ia memegang dagu Momase dan mengatakan sesuatu dengan penuh ancaman, “Kau harus merenung. Umbala akan menjadi tempat yang bagus untukmu. Kalau kau tidak mati, kau akan mendapatkan kehormatan untuk menjadi budakku seumur hidupmu”. Kalutima melepaskan tangannya dengan kasar.
Amuse menarik lengan Momase dan menyeretnya menjauh dari orang-orang. Amuse berjalan dengan cepat sampai-sampai Momase harus tersandung akar-akar pohon beberapa kali. “Umbala. Apa umbala? Tempat seperti apa itu?”, Momase merasa ada kengerian di tempat itu jika mengingat kata-kata Kalutima tadi. Amuse tidak menjawab, ia malah semakin mempercepat langkahnya.
Mereka berhenti di sebuah cekungan tanah yang cukup dalam. Lubang di tanah itu setinggi orang dewasa dengan besar yang cukup untuk tiga atau empat orang. Di dinding tanahnya terdapat beberapa lubang yang cukup besar. Di bagian atas cekungan tanah ditutup dengan kayu-kayu swandi yang diikat dengan tali dari serat kulit kayu swandi. Di atasnya ditaruh sebuah batu besar agar kayu swandi tidak bisa digeser atau didorong dari dalam cekungan. “Apa itu umbala?”, Momase bertanya pada Amuse. “Itu adalah sarang ular galindru”, Amuse berkata dingin. “Ular yang bisa meremukkan tulang”, ia melanjutkan kalimatnya.
Momase seakan tidak percaya Ranjibara memerintahkan anak buahnya untuk memasukkan Momase ke tempat itu. Tapi lelaki itu memang memerintahkannya.
Momase memberontak. Ia berusaha melepaskan diri dari Amuse. Momase sekuat tenaga meraih lengannya dan menjejakkan kakinya pada Amuse. Amuse tidak membalas perlawanan Momase. Ia tetap memegang lengan gadis itu dengan erat. Momase memukulkan tinjunya berkali-kali ke muka Amuse. Pria itu masih memegang lengan Momase sekuat tenaga. Momase memukul dan menendang dengan keras. “Hentikan. Hentikan. Kumohon, hentikan”, Amuse mencengkeram tangan Momase. Momase masih merasa panik dan tetap berusaha melawan. “Kau bisa membunuhku kalau kau tidak menghentikannya..”. “Itulah yang akan kulakukan. Karena aku tidak mau mati dengan cara seperti itu”, Momase akan mengepalkan pukulannya sekali lagi ke arah Amuse tapi Amuse segera mendorong tubuh Momase ke tanah. Momase terlempar dan terjatuh ke tanah.
“Aku tidak akan melakukannya.. Aku tidak mungkin memasukkanmu ke tempat mengerikan itu..”, Amuse akhirnya berkata. Tubuhnya terhuyung-huyung karena pukulan, cakaran, dan tendangan Momase yang bertubi-tubi kepadanya. Momase masih merasa ketakutan, tapi ia segera tersadar dengan maksud perkataan Amuse.
“Apa maksudmu..?”, Momase ingin memastikan maksud Amuse. “Larilah ke hutan..”, Amuse berkata lagi. Ia mencoba untuk menyeimbangkan tubuhnya. Wajah Amuse dipenuhi dengan goresan-goresan dari kuku Momase, dan lebam di beberapa bagian. “Kau akan membiarkan aku pergi..? Kenapa? Kenapa begitu?”, Momase sekarang merasa heran. “Jika kau berniat membiarkanku pergi kenapa kau tidak melepaskan aku begitu saja tanpa aku perlu menghajarmu?”, Momase menginginkan penjelasan. Ia masih merasa heran dengan sikap Amuse. “Apa kau pikir mereka akan percaya begitu saja jika aku tidak seperti ini?”, Amuse memperlihatkan wajahnya yang penuh luka. “Mereka tidak akan percaya kau bisa dikalahkan oleh seorang perempuan!”. “Aku bisa membuat alasan yang terdengar masuk akal agar mereka percaya..”, Amuse berusaha meyakinkan Momase. “Tapi kenapa? Kenapa kau melakukannya untukku?”, Momase berusaha bangkit. “Kau tidak perlu memikirkannya. Cepatlah. Pergi dari tempat ini..”, Amuse berbalik membelakangi Momase. Ia memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu. Memastikan tidak ada orang lain yang melihat.
“Pergilah. Masuklah ke hutan. Berjalan lurus dan jangan berhenti sampai kau menemukan sungai. Menyeberanglah. Tapi kau harus berhati-hati karena arusnya cukup deras..”, Amuse mulai terlihat tidak tenang. Ia khawatir akan ada orang yang datang.
Momase menarik pergelangan tangan Amuse. Ia berusaha menepis rasa takutnya. “Kenapa kau mau melakukannya?!”, ia memaksa Amuse untuk menjawab. “Katakan Kenapa..?”. Sekarang mereka berdiri berhadapan.
“Aku tidak tahu..”, Amuse tertunduk. “Kau tidak mungkin mengambil resiko sebesar ini dan kau mengatakan kau tidak tahu! Untuk apa?! Katakan untuk apa?!”, Momase masih mendesak Amuse agar ia mengatakan alasannya. Amuse masih tidak mau menjawab. “Katakan atau aku tidak akan lari!”, Momase mengancam. Amuse menatap ke dalam mata Momase. Ia tahu gadis ini memiliki tekat yang kuat jika ia sudah mengatakan sesuatu. Ia ingat bagaimana Momase memilih meninggalkan keluarga dan sukunya demi Ranjibara. Ia ingat bagaimana ia berani melawan Kalutima. “Aku tidak bisa melihatmu menderita..”, Amuse berkata pelan.
Momase menarik nafasnya perlahan. Ia mulai menyadari Amuse mungkin telah jatuh cinta padanya. Dan Amuse memiliki perasaan yang tulus. Tidak seperti Ranjibara. Amuse menjadi orang kepercayaan sekaligus pengawal Ranjibara sejak mereka melakukan perjalanan meninggalkan Umere. Amuse bahkan sudah mengawal tuannya itu sejak lama. Ranjibara dan Amuse memiliki usia yang sama. Amuse adalah pengawal setia Ranjibara.
“Kita bisa lari bersama. Pergi dari tempat ini denganku”, Momase tidak ingin berpikir terlalu lama. Ia hanya berkesimpulan, Amuse berani menempuh resiko untuknya. Ia harus bertindak yang seharusnya.
“Tidak bisa. Aku tidak bisa melakukannya, bahkan jika itu untukmu..”, Amuse melangkah mundur dari Momase. Momase segera meraih tangan Amuse. “Kenapa? Kenapa tidak bisa? Mereka akan tahu kau sengaja membebaskanku. Ranjibara dan Kalutima pasti akan menghukum mu”. “Mereka akan menghukum keluargaku jika aku melakukannya. Mereka akan memasukkan orang tuaku dan adik-adikku ke umbala”, Amuse terlihat semakin tidak tenang. “Pergilah.. Kumohon pergilah sekarang!!”, Amuse membentak Momase. Momase tidak bisa berkata apa-apa lagi. Gadis itu menangis. Ia tidak menyangka Amuse akan berkorban untuknya.
Amuse secepatnya berbalik. Ia harus segera kembali ke pesta atau mereka akan curiga ia sengaja membebaskan Momase. Saat Momase mulai berlari meninggalkannya menuju hutan, Amuse menoleh perlahan. Menatap Momase untuk terakhir kalinya dari jauh. Ia menyadari rasa cinta yang dimilikinya pada Momase. Ia kagum pada gadis dari Umere itu. Kagum dengan tekad dan keberaniannya. Kagum dengan kepandaiannya. Tapi ia menyayangkan kenaifan Momase yang mempercayai Ranjibara dan jatuh cinta pada tuannya itu. Amuse memendam rasa cintanya pada Momase. Hatinya perih dan sesak saat melihat Momase bersama Ranjibara. Tapi ia mengagumi Momase yang kuat menjaga kehormatan dirinya sebagai seorang wanita. Ia mencintai Ranjibara tapi ia tidak dibutakan seluruhnya oleh cinta. Dia hanya gadis yang terlalu tergesa mengambil keputusan. Momase memang belum cukup dewasa menentukan langkahnya  kala itu.
Momase kini tidak tahu harus lari kemana. Keluarganya dan orang-orang suku Umere pasti akan menolaknya. Ia dinilai telah membangkang karena lebih memilih menerima ajakan Ranjibara kala itu untuk pergi ke Sansibardos daripada tinggal di Umere dan menikah dengan lelaki pilihan ayahnya.
Momase menangis tapi ia tidak menyukai keduanya. Ia tidak ingin menikah dengan lelaki yang dipilihkan untuknya. Ia ingin memilih sendiri orang yang akan menjadi suaminya. Tapi ia sangat menyesal karena ia telah melilih Ranjibara karena ia hanya ditipu olehnya.
Momase bertahan hidup di hutan selama berhari-hari. Ia bersyukur suku Umere memiliki pengetahuan yang bagus mengenai tanaman dan pengobatan. Ia menemukan sungai yang disebutkan oleh Amuse dan berjuang keras menyeberangi sungai itu. Meski ia harus berkali-kali hampir terbawa arusnya yang deras.
Tahun berganti. Momase semakin mensyukuri kehidupan yang dilaluinya. Ia tidak pernah melupakan bagaimana ia bisa lolos waktu itu. Meninggalkan Umere, kehilangan keluarganya, dibuang oleh orang yang dicintainya, bertahan hidup di hutan. Dan sekarang ia telah dikenal oleh orang-orang dari penjuru negeri sebagai tabib wanita dari desa Lanjee. Desa Lanjee adalah bagian dari sebuah kerajaan bernama Cancikaru yang memiliki tanah subur dan kehidupan yang sentosa.
Dia tidak bisa membayangkan kalau saja waktu itu suami istri Gonggane tidak menemukannya di tepian hutan. Ia pasti sudah habis diterkam serigala. Pasangan suami istri Gonggane sudah berusia tua. Mereka sudah menikah lebih dari tigapuluh tahun dan tidak mempunyai anak. Menemukan Momase membuat mereka merasa menemukan seorang putri untuk disayang dan dilindungi. Momase berumur duapuluh tiga sekarang. Masyarakat Lanjee menghormati dan menyayangi Momase karena kecerdasannya dan ketulusannya mengobati orang-orang yang sakit.
Ia menjadi tabib terkenal di Lanjee bermula karena ia berhasil mengobati penduduk desa yang terluka parah karena tertabrak kereta kuda. Ia juga berhasil mengobati anak-anak di desa Lanjee yang terkena wabah penyakit. Orang-orang mulai mendatanginya dan meminta agar Momase mau mengobati mereka. Ia mengingat semua yang diajarkan orangtuanya di Umere dulu mengenai pengobatan dan tumbuh-tumbuhan.
Orang-orang dari penjuru negeri pun ramai membicarakan gadis tabib dari Lanjee. Bangsawan kerajaan mengakui kemampuan Momase dan menempatkannya sejajar dengan kelas sosial mereka. Di atas semua itu, saat ia sendiri dan melamun, Momase mengingat kenangan buruk di masa lalunya. Lima tahun yang lalu, bagaimana ia kehilangan keluarganya dan tertipu oleh Ranjibara. Hampir mati oleh hukuman yang diakibatkan kebencian seorang gadis bernama Kalutima. Dan yang paling menganggu pikirannya selama ini adalah Amuse. Dimana dia sekarang. Bagaimana keadaannya. Apakah pria yang menyelamatkan nyawanya waktu itu masih hidup. Atau ia sudah dihukum mati oleh Kalutima dan Ranjibara.
Ranjibara tidak akan percaya Amuse kalah dari seorang perempuan lemah seperti dirinya. Meski wajah Amuse penuh dnegan luka lebam dan bekas cakarannya kala itu.
Dulu saat perjalanan dari Umere menuju Sansibardos, ketika rombongan Ranjibara bermalam di sebuah sabana. Ia mendengar percakapan dua lelaki itu. Ranjibara memuji keberanian Amuse saat menghadapi gunau terbang. Bahkan kalau bukan karena keberanian Amuse menebas kepala gunau terbang itu, mungkin nyawa Ranjibara sudah melayang. Ia menyesal ia tidak mengetahui alasan keduanya menghadapi gunau terbang adalah untuk memenuhi keinginan Kalutima. Amuse, dia melakukan semua itu karena keinginan tuannya.
Lelaki yang berhasil membunuh gunau terbang tidak mungkin dikalahkan oleh seorang perempuan lemah. Amuse pasti telah dihukum mati oleh tuannya. Amuse dapat mengalahkan Ranjibara dan pasukannya, tapi dia pengawal yang setia. Dia tidak akan lari dari hukuman. Dia ingat Amuse mengatakan tidak mungkin meninggalkan keluarganya.
Momase menyadari, sejak hari itu ia banyak memikirkan Amuse. Cinta tumbuh dalam hatinya pada Amuse. Tapi ia tahu tidak ada gunanya berharap cinta itu menjadi kenyataan. Amuse telah tiada. Ia terlambat menyadarinya. Amuse hanya menjadi bagian dari cinta yang tidak mungkin diraihnya. Seperti cintanya pada Ranjibara kala itu. Ranjibara hanya berpura-pura mencintai Momase untuk memenangkan hati Kalutima yang menginginkan seorang gadis Umere untuk menjadi budaknya. Cinta yang tidak mungkin bisa diraihnya karena hati Ranjibara milik Kalutima. Sedangkan Amuse, dia mencintai Momase dengan hati yang tulus. Tapi pria itu mungkin telah tiada.