Mentari di Lanjee
Short Novel by: ZUKY IRIANI
M
|
omase
berlari kencang ke dalam hutan. Ia tidak menyangka akan sesakit ini mendengar
pengakuan Ranjiibara tentang dirinya. Pangeran dari suku Sansibardos itu telah
membohonginya selama ini. Yang paling menyedihkan diantara semuanya adalah
Momase tidak bisa memungkiri kalau ia telah jatuh cinta pada pada Ranjibara. Ia
telah rela meninggalkan sukunya dan mengarungi perjalanan jauh demi lelaki itu.
Ia telah rela berpisah dengan keluarganya demi mengikuti kemanapun lelaki itu
pergi.
Momase
menangis sepanjang pelariannya. Dalam hati ia sangat berharap Ranjibara akan
mengejarnya. Meminta dirinya untuk tinggal. Untuk kembali padanya. Tapi nalar
Momase memaksanya untuk terus berlari menjauhi lelaki itu. Kalau pun Ranjibara
benar melakukannya, Momase akan tetap pergi. Hatinya sudah terlanjur luka oleh kejujuran
Ranjibara di hadapan orang-orang suku Sansibardos.
Lagipula
ternyata Ranjibara melakukan semua ini demi seorang gadis dari suku Darionjola.
Gadis bernama Kalutima mensyaratkan agar ia bisa membawa seorang putri dari
suku Umere untuk menjadi budaknya. Seumur hidupnya, perjalanan panjang yang
pernah ia tempuh bersama Ranjibara, Momase belum pernah melihat sosok gadis
secantik Kalutima. Kalutima memiliki kulit yang putih bersih. Matanya lebar
dengan bola mata yang hitam dan tatapan yang tajam. Rambutnya hitam panjang
bergelombang dan bibir yang merah. Gadis itu memiliki suara yang memukau setiap
telinga yang mendengarnya. Kalutima sangat sadar akan kelebihan yang
dimilikinya.
Ia
masih mengingat setiap kata yang keluar dari mulut orang-orang malam itu.
Setiap kata yang terlintas dalam pikirannya terasa menusuk-nusuk hati dan
perasaannya.
Ranjibara
membawanya ke sebuah pesta di tanah lapang di bawah bukit yang berbatasan
dengan wilayah suku Darionjola. Orang-orang memakai pakaian terbaik mereka.
Kain tapian yang mereka rajut dari serat pohon anghese. Hiasan kepala yang
mereka anyam dari bunga kuleke yang dikeringkan. Meja-meja yang dibuat dari
kayu deak dipenuhi dengan berbagai hidangan. Obor-obor yang diletakkan
mengelilingi tempat itu dinyalakan sejak sore.
Orang-orang
berkumpul dan membicarakan berbagai hal. Sebuah balai panggung sudah disediakan
untuk dua orang. Orang-orang yang hadir bisa melihat balai panggung itu di
hadapan mereka. Seseorang keluar dari kerumuman bersama beberapa gadis yang
berjalan mengiringinya. Saat Kalutima berjalan mendekat pada Ranjibara,
orang-orang berangsur terdiam. Mereka duduk membentuk lingkaran di
sekelilingnya. Siapa pun akan terpukau dengan kecantikan dan keelokan Kalutima.
“Kau
tak lupa janjimu kan pangeran? Kau akan membawakan budak dari Umere untukku.
Kudengar wanita Umere pekerja keras. Mereka juga pandai mengobati dengan tanaman.
Kalau kita menikah nanti kau tak perlu khawatir kehilangan waktumu untuk selalu
bisa denganku. Karena semua pekerjaan sudah ditanggung budak perempuan yang
kuinginkan”, Kalutima berdiri dengan angkuh dihadapan orang-orang. Matanya
menatap Momase dari ujung kaki hingga ujung kepala. Momase merasa heran dengan
perkataan perempuan itu. Ia belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Momase
manatap Ranjibara dengan penuh pertanyaan. Ranjibara hanya menatap sepintas
pada Momase. Tapi lelaki tampan itu jelas menghindari tatapan mata Momase yang
menuntut sebuah penjelasan.
“Aku
tidak akan mengecewakanmu. Kau lihat. Aku datang dengan janjiku yang terakhir”,
Ranjibara secepatnya melangkah mendekati Kalutima dan meraih tangan gadis itu. Ia
bahkan mengabaikan Momase yang sedari tadi berjalan di belakangnya. “Tuan, apa
maksud semua ini?”, Momase akhirnya berkata.
“Aku
tidak tahu apa yang membuatmu mau mengikutinya. Tapi kita semua tahu, tidak ada
orang bodoh yang akan menerima tawaran kalau dirinya akan dijadikan budak. Jadi
apa yang bisa kupikirkan kecuali kalau kau sudah jatuh cinta pada Ranjibara..”,
Kalutima menatap Momase sambil tersenyum puas. Ia bukan gadis yang suka
berbasa-basi. Ia menyadari dia pemenang dari permainan licik yang dilakukan
oleh Ranjibara untuk menjerat gadis dari suku Umere.
“Kau
tahu, kau yang terbaik. Dan aku hanya menginginkamu Kalutima..”, Ranjibara
menundukkan badannya dan berlutut di hadapan Kalutima. Momase tersentak.
Hatinya hancur seketika. Air matanya menitik tak terbendung.
“Untuk
itu, aku pun menginginkan yang terbaik untukku. Gadis suku Umere akan menjadi
budak terbaik yang kumiliki di Sansibardos dan di Darionjola”, Kalutima menarik
tangannya perlahan dari tangan Ranjibara. “Tapi aku bukan budak. Aku tidak akan
sudi menjadi budakmu atau budak siapa pun!”, Momase berkata keras. Hatinya
terasa panas dan sesak. Ia belum pernah merasakan kemarahan dan kekecewaan
sebesar ini sebelumnya.
Gadis-gadis
lain yang mengiringi Kalutima hanya memandang remeh pada Momase. Mata mereka
seolah mengatakan siapa kau berani
berkata seperti itu dihadapan Kalutima..
“Kau
mengatakan, kau akan membawaku ke Sasibardos untuk kau peristri. Apa kau mau
memungkirinya?”, Momase melangkah dan menarik pergelangan tangan Ranjibara.
Ranjibara
tidak berkata apa-apa. Ia bahkan bersikap acuh dan enggan menatap wajah Momase.
“Ranjibara
mengatakan kalau dia akan memberikan batu ongkala untukku. Dan dia sudah
melakukannya”, Kalutima memegang sebuah bandul yang menggantung di lehernya.
Batu ongkala adalah permata yang harus dicari di goa ongkla-ongkla yang menjadi
sarang gunau terbang. Burung sebesar kerbau yang memiliki cakar dan paruh
tajam. Gunau terbang tidak akan segan-segan mencabik-cabik tubuh siapapun yang
mengganggu sarangnya.
“Ia
juga sudah mencabut bulu gunau terbang dan menghadiahkannya untukku. Kau juga
melihatnya kan?”, Kalutima mengerlingkan matanya ke atas. Itu adalah semacam
isyarat agar Momase melihat mahkota yang dikenakan di kepalanya.
Momase
semakin merasakan perih menghujam jantungnya ketika melihat Kalutima memakai
mahkota yang dianyam dari bulu gunau terbang. Ranjibara pasti sangat
menginginkan gadis ini menjadi mempelainya, karena ia bahkan rela
mempertaruhkan nyawanya demi menuruti permintaan Kalutima.
“Jadi
apa yang sudah Ranjibara lakukan untukmu?”, pertanyaan Kalutima menghujam ke
dalam jantung Momase. Ranjibara memang tidak melakukan apa pun untuk Momase. Ia
hanya menjanjikan akan menikahi Momase jika gadis itu mau mengikutinya ke
Sansibardos. Ranjibara hanya mengatakan kalau ia mencintai Momase sepenuh
hatinya dan gadis itu percaya begitu saja. Momase merasa bodoh. Ia tertipu
dengan kata-kata manis Ranjibara selama ini. “Jadi apa yang tersisa yang masih kau
miliki, gadis lugu?”, Kalutima sudah menghujaninya dengan pertanyaan lain
sebelum Momase sempat berpikir lurus kembali. Kalutima dan gadis-gadis
pengiringnya mulai menertawakan Momase.
“Aku
masih punya kesucianku dan kemerdekaanku!”, Momase menjawab dengan lantang.
Semua seketika terdiam. Kalutima melangkah mendekat pada Momase. Ia meletakkan
kedua tangannya di pinggang sambil menatap tajam ke dalam mata Momase. Mereka
saling menatap sekarang.
“Apa
itu benar, kekasihku..Ranjibara?”, Kalutima menoleh pada Ranjibara. “Kau bisa
percaya kata-katanya. Tidak seorang gadispun yang bisa membuatku tertarik
kecuali engkau. Aku tidak sudi menyentuhnya bahkan kalau dia menginginkannya”, Ranjibara
berkata dengan angkuh. “Gadis Umere hanya menyerahkan kesuciannya pada
suaminya. Kami bahkan mempertahankannya dengan nyawa kami. Kata-katamu itu
rendah sekali”, Momase membela diri dan kehormatannya.
“Baiklah..Kalau
demikian, itu akan menjadi satu-satunya hal yang kau miliki. Karena kemerdekaan
seperti yang kau katakan bukan milik seorang budak sepertimu”, Kalutima
mendorong pundak Momase dengan kasar. “Kau mungkin wanita tercantik yang
kutemui seumur hidupku. Tapi kau memiliki hati bangkai”, Momase tidak berusaha
menahan amarahnya sekarang.
Kalutima
secepatnya mendesak ke arah Momase. Ia melayangkan tamparanya ke wajah Momase
berkali-kali. Momase tidak mampu menghindar. Darah mengalir dari ujung
bibirnya. Tapi Momase malah tersenyum. “Manusia macam apa kalian. Nalar kalian
mati. Moral kalian dibutakan oleh kecantikan fisik yang tidak akan abadi”,
Momase terkapar di tanah.
“Aku
tidak ingin mendengar lagi ucapan budak perempuan ini yang menghina Kalutima
ku. Bawa dia. Kurung dia di umbala!”, Ranjibara memerintahkan anak buahnya
untuk menghukum Momase. Langit serasa runtuh dihadapan Momase. Ia tidak hanya
dikhianati. Tapi Ranjibara telah membuangnya. Ranjibara menarik lengan Amuse,
pengawal kepercayaannya agar segera melakukan perintahnya. Momase berusaha bangkit.
Ia berdiri lagi dengan tegak. Kalutima melangkah mendekati Momase. Ia memegang
dagu Momase dan mengatakan sesuatu dengan penuh ancaman, “Kau harus merenung.
Umbala akan menjadi tempat yang bagus untukmu. Kalau kau tidak mati, kau akan
mendapatkan kehormatan untuk menjadi budakku seumur hidupmu”. Kalutima
melepaskan tangannya dengan kasar.
Amuse
menarik lengan Momase dan menyeretnya menjauh dari orang-orang. Amuse berjalan
dengan cepat sampai-sampai Momase harus tersandung akar-akar pohon beberapa
kali. “Umbala. Apa umbala? Tempat seperti apa itu?”, Momase merasa ada
kengerian di tempat itu jika mengingat kata-kata Kalutima tadi. Amuse tidak
menjawab, ia malah semakin mempercepat langkahnya.
Mereka
berhenti di sebuah cekungan tanah yang cukup dalam. Lubang di tanah itu
setinggi orang dewasa dengan besar yang cukup untuk tiga atau empat orang. Di
dinding tanahnya terdapat beberapa lubang yang cukup besar. Di bagian atas
cekungan tanah ditutup dengan kayu-kayu swandi yang diikat dengan tali dari
serat kulit kayu swandi. Di atasnya ditaruh sebuah batu besar agar kayu swandi
tidak bisa digeser atau didorong dari dalam cekungan. “Apa itu umbala?”, Momase
bertanya pada Amuse. “Itu adalah sarang ular galindru”, Amuse berkata dingin.
“Ular yang bisa meremukkan tulang”, ia melanjutkan kalimatnya.
Momase
seakan tidak percaya Ranjibara memerintahkan anak buahnya untuk memasukkan
Momase ke tempat itu. Tapi lelaki itu memang memerintahkannya.
Momase
memberontak. Ia berusaha melepaskan diri dari Amuse. Momase sekuat tenaga
meraih lengannya dan menjejakkan kakinya pada Amuse. Amuse tidak membalas
perlawanan Momase. Ia tetap memegang lengan gadis itu dengan erat. Momase
memukulkan tinjunya berkali-kali ke muka Amuse. Pria itu masih memegang lengan
Momase sekuat tenaga. Momase memukul dan menendang dengan keras. “Hentikan.
Hentikan. Kumohon, hentikan”, Amuse mencengkeram tangan Momase. Momase masih
merasa panik dan tetap berusaha melawan. “Kau bisa membunuhku kalau kau tidak
menghentikannya..”. “Itulah yang akan kulakukan. Karena aku tidak mau mati
dengan cara seperti itu”, Momase akan mengepalkan pukulannya sekali lagi ke
arah Amuse tapi Amuse segera mendorong tubuh Momase ke tanah. Momase terlempar
dan terjatuh ke tanah.
“Aku
tidak akan melakukannya.. Aku tidak mungkin memasukkanmu ke tempat mengerikan
itu..”, Amuse akhirnya berkata. Tubuhnya terhuyung-huyung karena pukulan,
cakaran, dan tendangan Momase yang bertubi-tubi kepadanya. Momase masih merasa
ketakutan, tapi ia segera tersadar dengan maksud perkataan Amuse.
“Apa
maksudmu..?”, Momase ingin memastikan maksud Amuse. “Larilah ke hutan..”, Amuse
berkata lagi. Ia mencoba untuk menyeimbangkan tubuhnya. Wajah Amuse dipenuhi
dengan goresan-goresan dari kuku Momase, dan lebam di beberapa bagian. “Kau
akan membiarkan aku pergi..? Kenapa? Kenapa begitu?”, Momase sekarang merasa
heran. “Jika kau berniat membiarkanku pergi kenapa kau tidak melepaskan aku
begitu saja tanpa aku perlu menghajarmu?”, Momase menginginkan penjelasan. Ia
masih merasa heran dengan sikap Amuse. “Apa kau pikir mereka akan percaya
begitu saja jika aku tidak seperti ini?”, Amuse memperlihatkan wajahnya yang
penuh luka. “Mereka tidak akan percaya kau bisa dikalahkan oleh seorang
perempuan!”. “Aku bisa membuat alasan yang terdengar masuk akal agar mereka
percaya..”, Amuse berusaha meyakinkan Momase. “Tapi kenapa? Kenapa kau
melakukannya untukku?”, Momase berusaha bangkit. “Kau tidak perlu
memikirkannya. Cepatlah. Pergi dari tempat ini..”, Amuse berbalik membelakangi
Momase. Ia memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu. Memastikan tidak ada
orang lain yang melihat.
“Pergilah.
Masuklah ke hutan. Berjalan lurus dan jangan berhenti sampai kau menemukan
sungai. Menyeberanglah. Tapi kau harus berhati-hati karena arusnya cukup
deras..”, Amuse mulai terlihat tidak tenang. Ia khawatir akan ada orang yang
datang.
Momase
menarik pergelangan tangan Amuse. Ia berusaha menepis rasa takutnya. “Kenapa
kau mau melakukannya?!”, ia memaksa Amuse untuk menjawab. “Katakan Kenapa..?”.
Sekarang mereka berdiri berhadapan.
“Aku
tidak tahu..”, Amuse tertunduk. “Kau tidak mungkin mengambil resiko sebesar ini
dan kau mengatakan kau tidak tahu! Untuk apa?! Katakan untuk apa?!”, Momase
masih mendesak Amuse agar ia mengatakan alasannya. Amuse masih tidak mau
menjawab. “Katakan atau aku tidak akan lari!”, Momase mengancam. Amuse menatap
ke dalam mata Momase. Ia tahu gadis ini memiliki tekat yang kuat jika ia sudah
mengatakan sesuatu. Ia ingat bagaimana Momase memilih meninggalkan keluarga dan
sukunya demi Ranjibara. Ia ingat bagaimana ia berani melawan Kalutima. “Aku tidak
bisa melihatmu menderita..”, Amuse berkata pelan.
Momase
menarik nafasnya perlahan. Ia mulai menyadari Amuse mungkin telah jatuh cinta
padanya. Dan Amuse memiliki perasaan yang tulus. Tidak seperti Ranjibara. Amuse
menjadi orang kepercayaan sekaligus pengawal Ranjibara sejak mereka melakukan
perjalanan meninggalkan Umere. Amuse bahkan sudah mengawal tuannya itu sejak
lama. Ranjibara dan Amuse memiliki usia yang sama. Amuse adalah pengawal setia
Ranjibara.
“Kita
bisa lari bersama. Pergi dari tempat ini denganku”, Momase tidak ingin berpikir
terlalu lama. Ia hanya berkesimpulan, Amuse berani menempuh resiko untuknya. Ia
harus bertindak yang seharusnya.
“Tidak
bisa. Aku tidak bisa melakukannya, bahkan jika itu untukmu..”, Amuse melangkah
mundur dari Momase. Momase segera meraih tangan Amuse. “Kenapa? Kenapa tidak
bisa? Mereka akan tahu kau sengaja membebaskanku. Ranjibara dan Kalutima pasti
akan menghukum mu”. “Mereka akan menghukum keluargaku jika aku melakukannya.
Mereka akan memasukkan orang tuaku dan adik-adikku ke umbala”, Amuse terlihat semakin
tidak tenang. “Pergilah.. Kumohon pergilah sekarang!!”, Amuse membentak Momase.
Momase tidak bisa berkata apa-apa lagi. Gadis itu menangis. Ia tidak menyangka
Amuse akan berkorban untuknya.
Amuse
secepatnya berbalik. Ia harus segera kembali ke pesta atau mereka akan curiga
ia sengaja membebaskan Momase. Saat Momase mulai berlari meninggalkannya menuju
hutan, Amuse menoleh perlahan. Menatap Momase untuk terakhir kalinya dari jauh.
Ia menyadari rasa cinta yang dimilikinya pada Momase. Ia kagum pada gadis dari
Umere itu. Kagum dengan tekad dan keberaniannya. Kagum dengan kepandaiannya.
Tapi ia menyayangkan kenaifan Momase yang mempercayai Ranjibara dan jatuh cinta
pada tuannya itu. Amuse memendam rasa cintanya pada Momase. Hatinya perih dan
sesak saat melihat Momase bersama Ranjibara. Tapi ia mengagumi Momase yang kuat
menjaga kehormatan dirinya sebagai seorang wanita. Ia mencintai Ranjibara tapi
ia tidak dibutakan seluruhnya oleh cinta. Dia hanya gadis yang terlalu tergesa
mengambil keputusan. Momase memang belum cukup dewasa menentukan
langkahnya kala itu.
Momase
kini tidak tahu harus lari kemana. Keluarganya dan orang-orang suku Umere pasti
akan menolaknya. Ia dinilai telah membangkang karena lebih memilih menerima
ajakan Ranjibara kala itu untuk pergi ke Sansibardos daripada tinggal di Umere
dan menikah dengan lelaki pilihan ayahnya.
Momase
menangis tapi ia tidak menyukai keduanya. Ia tidak ingin menikah dengan lelaki
yang dipilihkan untuknya. Ia ingin memilih sendiri orang yang akan menjadi
suaminya. Tapi ia sangat menyesal karena ia telah melilih Ranjibara karena ia
hanya ditipu olehnya.
Momase
bertahan hidup di hutan selama berhari-hari. Ia bersyukur suku Umere memiliki
pengetahuan yang bagus mengenai tanaman dan pengobatan. Ia menemukan sungai
yang disebutkan oleh Amuse dan berjuang keras menyeberangi sungai itu. Meski ia
harus berkali-kali hampir terbawa arusnya yang deras.
Tahun
berganti. Momase semakin mensyukuri kehidupan yang dilaluinya. Ia tidak pernah
melupakan bagaimana ia bisa lolos waktu itu. Meninggalkan Umere, kehilangan
keluarganya, dibuang oleh orang yang dicintainya, bertahan hidup di hutan. Dan
sekarang ia telah dikenal oleh orang-orang dari penjuru negeri sebagai tabib
wanita dari desa Lanjee. Desa Lanjee adalah bagian dari sebuah kerajaan bernama
Cancikaru yang memiliki tanah subur dan kehidupan yang sentosa.
Dia
tidak bisa membayangkan kalau saja waktu itu suami istri Gonggane tidak
menemukannya di tepian hutan. Ia pasti sudah habis diterkam serigala. Pasangan
suami istri Gonggane sudah berusia tua. Mereka sudah menikah lebih dari
tigapuluh tahun dan tidak mempunyai anak. Menemukan Momase membuat mereka
merasa menemukan seorang putri untuk disayang dan dilindungi. Momase berumur
duapuluh tiga sekarang. Masyarakat Lanjee menghormati dan menyayangi Momase
karena kecerdasannya dan ketulusannya mengobati orang-orang yang sakit.
Ia
menjadi tabib terkenal di Lanjee bermula karena ia berhasil mengobati penduduk
desa yang terluka parah karena tertabrak kereta kuda. Ia juga berhasil
mengobati anak-anak di desa Lanjee yang terkena wabah penyakit. Orang-orang
mulai mendatanginya dan meminta agar Momase mau mengobati mereka. Ia mengingat
semua yang diajarkan orangtuanya di Umere dulu mengenai pengobatan dan
tumbuh-tumbuhan.
Orang-orang
dari penjuru negeri pun ramai membicarakan gadis tabib dari Lanjee. Bangsawan
kerajaan mengakui kemampuan Momase dan menempatkannya sejajar dengan kelas
sosial mereka. Di atas semua itu, saat ia sendiri dan melamun, Momase mengingat
kenangan buruk di masa lalunya. Lima tahun yang lalu, bagaimana ia kehilangan
keluarganya dan tertipu oleh Ranjibara. Hampir mati oleh hukuman yang
diakibatkan kebencian seorang gadis bernama Kalutima. Dan yang paling menganggu
pikirannya selama ini adalah Amuse. Dimana dia sekarang. Bagaimana keadaannya.
Apakah pria yang menyelamatkan nyawanya waktu itu masih hidup. Atau ia sudah
dihukum mati oleh Kalutima dan Ranjibara.
Ranjibara
tidak akan percaya Amuse kalah dari seorang perempuan lemah seperti dirinya.
Meski wajah Amuse penuh dnegan luka lebam dan bekas cakarannya kala itu.
Dulu
saat perjalanan dari Umere menuju Sansibardos, ketika rombongan Ranjibara
bermalam di sebuah sabana. Ia mendengar percakapan dua lelaki itu. Ranjibara
memuji keberanian Amuse saat menghadapi gunau terbang. Bahkan kalau bukan
karena keberanian Amuse menebas kepala gunau terbang itu, mungkin nyawa
Ranjibara sudah melayang. Ia menyesal ia tidak mengetahui alasan keduanya
menghadapi gunau terbang adalah untuk memenuhi keinginan Kalutima. Amuse, dia
melakukan semua itu karena keinginan tuannya.
Lelaki
yang berhasil membunuh gunau terbang tidak mungkin dikalahkan oleh seorang
perempuan lemah. Amuse pasti telah dihukum mati oleh tuannya. Amuse dapat
mengalahkan Ranjibara dan pasukannya, tapi dia pengawal yang setia. Dia tidak
akan lari dari hukuman. Dia ingat Amuse mengatakan tidak mungkin meninggalkan
keluarganya.
Momase
menyadari, sejak hari itu ia banyak memikirkan Amuse. Cinta tumbuh dalam
hatinya pada Amuse. Tapi ia tahu tidak ada gunanya berharap cinta itu menjadi
kenyataan. Amuse telah tiada. Ia terlambat menyadarinya. Amuse hanya menjadi
bagian dari cinta yang tidak mungkin diraihnya. Seperti cintanya pada Ranjibara
kala itu. Ranjibara hanya berpura-pura mencintai Momase untuk memenangkan hati
Kalutima yang menginginkan seorang gadis Umere untuk menjadi budaknya. Cinta
yang tidak mungkin bisa diraihnya karena hati Ranjibara milik Kalutima.
Sedangkan Amuse, dia mencintai Momase dengan hati yang tulus. Tapi pria itu
mungkin telah tiada.