my 24-7 notez

Selasa, 06 November 2012

Pebedaan Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial Dilihat dari Dasar Ontologi dan Epistemologi


Tugas Makalah Matkul: Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. SAMSI, M.Si
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Era modernisasi ditandai dengan perkembangan ilmu yang sedemikian cepat. Awalnya secara garis besar terdapat dua bidang pembagian ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam dan ilmu sosial. Dinamika perkembangan masyarakat telah memunculkan bidang ilmu yang lain, seperti ilmu humaniora. Perkembangan ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora  juga mengalami percepatan dan kemajuan. Hal ini tidak lepas dari perdebatan antara para ilmuwan mengenai bidang ilmu mana yang lebih cepat mengalami kemajuan. Para ilmuwan sepakat bahwa dibanding ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, geologi, dan sejenisnya, ilmu-ulmu sosial seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, politik, sejarah, antropologi, dan seterusnya, dan juga ilmu-ilmu humaniora seperti bahasa, sastra, dan seni dianggap jauh tertinggal. Bahkan ada yang berpendapat lebih ekstrim, bahwa ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora tidak akan mampu mengejar kemajuan ilmu-ilmu alam. Sebab, ketika ilmu-ilmu sosial mencoba mengejarnya, ilmu-ilmu alam sudah melompat sedemikian jauh.
Ada pula yang berpendapat bahwa lambat laun ilmu-ilmu sosial akan mampu mengejar ketertinggalannya dengan ilmu-ilmu alam. Ini karena gejala sosial yang menjadi kajian utama dalam ilmu-ilmu sosial berkembang sangat pesat. Dilain sisi gejala alam yang menjadi kajian utama ilmu-ilmu alam relatif tetap. Kalaupun berubah, perubahan tersebut tidak secepat gejala sosial. Bisa saja anggapan tersebut benar, tetapi bisa juga salah. Mengkontraskan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, bukan berarti menempatkan yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain, atau yang satu lebih bermanfaat dari yang lain.
Dalam kajian ilmu pengetahuan ada fakta sosial dan ada definisi sosial. Ilmu alam bertugas mengkaji fakta sosial yang empirik, sedangkan ilmu sosial dan ilmu humaniora bertugas mengkaji definisi sosial yang abstrak dan simbolik. Perbedaan objek material antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial juga berbada, sehingga berbeda pula dalam metode dan cara memperoleh ilmunya. Dalam filsafat ilmu bisa dikatakan bahwa, jika ontologinya berbeda, maka epistemologinya pasti berbeda.
Terlepas dari perdebatan mengenai bidang ilmu mana yang lebih cepat berkembang dan lebih maju, baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tetap dibutuhkan manusia dalam kehidupan ini. Dilihat dari landasan berpikir, objek material, kajian, dan fungsinya yang berbeda, seharusnya baik ilmu alam maupun ilmu sosial mampu saling mendukung. Penjelasan mengenai perbedaan keduanya dimaksudkan untuk menunjukkan batas keduanya dan menunjukkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi dalam suatu hubungan timbal balik yang sepadan.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan ilmu alam dan ilmu sosial?
2.      Bagaimana perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi?
3.      Bagaimana perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar epistemologi?

C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui pengertian tentang ilmu alam dan ilmu sosial.
2.      Mengetahui perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi.
3.      Mengetahui perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar epistemologi.

D.      Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis dari penulisan makalah ini adalah, agar dapat menjadi masukan bagi penulisan makalah dengan topik yang sama. Sedangkan manfaat praktisnya, atara lain:
1.      Sebagai pengkaji pemula, agar kelompok penulis mengerti tentang konsep dasar ontologi dan epistemologi kaitannya dengan perbedaan ilmu alam dan ilmu sosial.
2.      Diharapkan agar mahasiswa lebih memahami mengenai perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi dan epistemologi.
3.      Membekali mahasiswa dengan kemampuan berpikir metodologis yang tepat dalam mengkaji ilmu pengetahuan, baik untuk mengkaji gejala alam, sosial, dan kemanusiaan dalam upaya menjelaskan dan mengekplorasi setiap peristiwa.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.
Sebelum membahas mengenai perbedaan ilmu-ilmu alam dan imu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi dan epistemologi, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian ilmu alam dan ilmu sosial.
1.    Ilmu Alam.
Ilmu alam, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah natural science, atau ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik dan nonmanusia tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan sebagai penyedia alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk mengenali “ilmu” sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah, berbeda dengan filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam(biasa disingkat IPA).
Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat obyeknya yang kongkrit, karena hal ini ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti. Di samping penggunaan secara tradisional di atas, saat ini istilah “ilmu alam” kadang digunakan mendekati arti yang lebih cocok dalam pengertian sehari-hari. Dari sudut ini, “ilmu alam” dapat menjadi arti alternatif bagi biologi, terlibat dalam proses-proses biologis, dan dibedakan dari ilmu fisik (terkait dengan hukum-hukum fisika dan kimia yang mendasari alam semesta). Cabang-cabang utama dari ilmu alam, antara laing: Astronomi, Biologi, Ekologi, Fisika, Geologi, Geografi fisik berbasis ilmu, Ilmu bumi, dan Kimia.
2.    Ilmu Sosial.
Ilmu sosial (Inggris: social science) atau ilmu pengetahuan sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan 1ingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial. Penggunaan metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
Ilmu-ilmu sosial selama bertahun-tahun telah menjadi arena sejumlah kritik. Ilmu sosial secara garis besar dianggap sebagai ‘ilmu yang tidak mungkin’. Argumentasi yang ada melihat bahwa gejala sosial adalah terlalu rumit untuk diselidiki. Ilmu sosial, yang membahas mengenai seluruh seluk beluk kehidupan manusia, dianggap tak mampu menangkap ke-kompleksitas-annya. Manusia memiliki gejala dan perilaku yang selalu berubah-ubah, inilah yang mendasari munculnya argumentasi tersebut. Namun, pandangan ini muncul disebabkan oleh kesalahan pada pemahaman tentang hakekat ilmu.

B.       Perbedaan Ilmu-ilmu Alam dengan Ilmu-ilmu Sosial Dilihat dari Dasar Ontologi.
Persoalan-persoalan metafisis dibedakan menjadi tiga persoalan, yaitu:  persoalan ontologi, persoalan kosmologi dan persoalan antropologi. Ahli metafisika berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan. Namun di lapangan, penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang di luar dunia fisika”. “Toko buku metafisika”, sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.
Dengan demikian maka metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan yang sebagaimana adanya (das Sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das Sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang biasa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das Sollen dengan jalan mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan, meramalkan, serta mengontrol gejala alam. Kecenderungan untuk memaksakan-meramalkan nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke belakang ke jaman pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya Inquisisi ala Galileo pada jaman modern. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa dalam menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das Sollen. Kaidah moral ini menyebutkan bahwa dalam menetapkan objek telaah, kegiatan keilmuwan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
Di samping itu, metafisika juga, merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran. Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
1.      Ada sebagai yang ada; pengetahuan  yang mengkaji  yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, yang bisa ditangkap panca indera.
2.      Ada sebagai yang illahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni Tuhan (illahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).
Sebelum membahas mengenai perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi, perlu dideskripsikan terlebih dahulu mengenai ontologi itu sendiri. Cabang utama metafisika adalah ontologi. Ontologi merupakan studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Istilah “ontologi” berasal dari kata Yunani ‘onta’ yang berarti “yang ada secara nyata”, atau “kenyataan yang sesungguhnya”. Sedangkan istilah “logi” beasal dari kata Yunani ‘logos’ yang berarti “studi tentang” atau “uraian tentang”.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan. Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.
Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu. Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1.      Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.
2.      Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3.      Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4.      Agnotisisme;
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.
Bebarapa pertanyaan sekitar persoalan-persoalan ontologis di antaranya adalah :
1.     Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu ?
2.     Bagaimanakah penggolongan dari ada, keberadaan, atau eksistensi ?
3.     Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau keberadaan ?
Selanjutnya bagaimana dengan ontologi ilmu atau pengetahuan ilmiah? Ontologi Ilmu adalah mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah  yang seringkali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau  kebenaran deduktif dan kenyataan  empiris  yang tidak terlepas dari persepsi  ilmu  tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn) (diunduh dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action, diakses pada Kamis, 27 September 2012).
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian  keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia.  Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaah yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan neraka)  menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu adalah bagian kecil dari serangkaian  pengetahuan yang dapat ditemukan dan dipelajari serta dibutuhkan dalam mengatasi berbagai dilema dunia  dan isinya. Dengan kata lain ilmu  yang banyak orang mengatakan dengan sebutan pengetahuan ilmiah, hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan, dengan melakukan berbagai penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologi (diunduh dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action, diakses pada Kamis, 27 September 2012).
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang, yakni:
1.        Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak.
2.        Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Dalam mengkaji ilmu dapat berpangkal dari beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. 
Menganalisis tentang masalah perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari segi ontologi, perlu diwacanakan tentang kriteria ilmu sebagai latar dari kajian. Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis. Ilmu pengetahuan juag memiliki ciri-ciri yang umum yaitu memiliki objek, metode, sistematis, dan kriteria kebenaran. Kajian ontologi dalam filsafat ilmu berhubungan dengan telaah terhadap ilmu yang menyelidiki landasan suatu ilmu yang menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek material dan objek formal, baik bersifat fisik atau kejiwaan.
Ilmu berkembang pesat seiring dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama, menyebabkan objek formal dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebutberkembangd ari dua cabang utama, yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the sosial sciences (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93).
Ilmu-ilmu alam membagi diri dalam dua kelompok lagi, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, sedangkan ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi); kimia (mempelajari substansi zat); astronomi (mempelajari benda-benda langit); ilmu bumi yang mempelajari bumi (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru, seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, kelistrikan, fisika nuklir, dan kimia fisik.
Jujun S. Suria sumantri menyatakan (2005: 94), ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis, yang belum dikaitkan dnegan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis.
Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibanding dnegan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial, antara lain:
a.         Antropologi, yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu.
b.         Ekonomi, yang mempelajari produksi dan pembagian kekayaan dalam masyarakat.
c.         Geografi, yang mempelajari lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi.
d.        Hukum, yang mempelajari sistem aturan yang telah dilembagakan.
e.         Linguistik, yang mempelajari aspek kognitif dan sosial dari bahasa.
f.          Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter dan moral.
g.         Politik, yang mempelajari pemerintahan sekelompok manusia (termasuk negara).
h.         Psikologi, yang mempelajari tingkah laku dan proses mental.
i.           Sejarah, yang mempelajari masa lalu yang berhubungan dengan umat manusia.
j.           Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan antar manusia didalamnya.
Cabang utama ilmu-ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang-cabang lain, sebagai contoh antropologi, terpecah menjadi lima, yakni: arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi, dan antropologi sosial/kultural.

C.      Perbedaan Ilmu-ilmu Alam dengan Ilmu-ilmu Sosial Dilihat dari Dasar Epistemologi.
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral. Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
1.      Empirisme;
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
2.      Rasionalisme;
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.
3.      Positivisme;
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4.      Intuisionisme;
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.
Epistemologi atau teori pengetahuanmembahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dnegan buah pemikiran yang lainnya (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 9).
Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan “mengapa prosedur ini, bukan yang lain”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial, dari disiplin ilmu sosial. Ilmu alam memang terkait secara pokok dalam positivistik, mempelajari sesuatu yang obyektif, tidak hidup , dan dunia fisik. Kajian masyarakat, hasil akal manusia, adalh subjektif, emotif bersifat subjektif. Tingkah laku masyarakat adalah selalu mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan, hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini atau tujuan khusus masyarakat. Hal tersebut membuat tindakan sosial adalah penuh makna subjektif.
Alat untuk memperoleh pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan lat untuk memproses ilmu harus konsisten dengan karakter objek material ilmu. Berdasarkan kondisi tersebut terdapat perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misalnya antara ilmu alam dan ilmu sosialyang terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai. Objek material adalah bahan yang dijadikan sasaran penyelidikan (misalnya: ilmu kedokteran, ilmu sastra, psikologi), sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu terhadap objek materialnya, misalnya ilmu kedokteran, objek formalnya keadaan fisik manusia.
Keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah keabsahan apakah ukurannya cocok, tergantung pada metode dan karakter objek, sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain, seseorang tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dengan menggunakan ilmu yang lainnya.
Kajian tersebut dapat menjadi dasar perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial berdasarkan perspektif epistemologi, yaitu:
1.      Ilmu-Ilmu Alam.
Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek telaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris. Objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penalaahan ilmu (Yuyun S, 1981: 6).
Ilmu alam mempunyai asumsi mengenai objek, antara lain:
a.       Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal bentuk struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak berbicara mengenai kasus individual, melainkan suatu kelas tertentu.
b.      Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarianrelatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan dilakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
c.       Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dan urut-urtan kejadian yang sama (Yuyun S, 1981: 7).
Dalam pandangan empirisme ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga suatu kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Hal ini perlu karena kejadian alam sangat kompleks. Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktik ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusia yang khas. Manusia memang dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek. Ini artinya, manusia memprakteki dan diprakteki.
2.      Ilmu-Ilmu Sosial.
Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama, dalm lingkup kecil maupun basar. Objek ilmu sosial lain sama sekali dengan objek material ilmu alam. Onjek material dalam ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, bebas, dan tidak deterministik.
Kajian yang berbeda-beda terhadap ilmu, merupakan konsekuensi dari perbedaan objek formal. Objek ilmu sosial yaitu manusia sebagai keseluruhan. Penelitian dalam ilmu sosial juga meimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam ilmu sosial, praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek  penelitian manusia, misalnya psikologi, sosiologi, dan sejarah. Klaim terhadap ilmu-ilmu sosial kadang dinilai gagal dalam menangkap kekomplekan gejala, didasarkan pada kegagalan dalam membedakan antara pernyataan beserta sistematika yang dipakai, dengan gejala sosial yang dinyatakan oleh pernyataan tersebut. Tidak senua argumentasi tentang kerumitan gejala sosial, yang menyebabkan ketidakmungkinan ilmu-ilmu sosial. Rangkaian argumentasi yang lain, didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak mampu untuk menangkap “keunikan” gejala sosial dan manusiawi. Penelaahna ssosial tertarik pada keunikantiap-tiap kejadian sosial, padahal metode keilmuan hanya mampu mensitematikakan berdasarkan genaralisasi, maka keadaan ini menyebabkan harus ditetapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu sosial (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 143).
Objek penelaahan ilmu sosial mempunyai karakter (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 134), sebagai berikut:
a.       Objek penelaahan yang kompleks.
Gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dnegan gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala, yakni gejala yang bersifat fisik. Gejala sosial juga mempelajari karakter fisik, namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut. Guna menjelaskan hal ini berdasarkan hukum-hukum seperti yang terdapat dalam ilmu alam, tidaklah cukup.
Ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum. Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil, yang dapat diukur secara tepat. Ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia selaku perseorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasi yang bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan sosial adalah relatif banyak, terkadang membimbingkan peneliti.
Apabila seorang ahli kimia mencampurkan dua buah zat kimia dan meledak, hal itu dapat dijelaskan dnegan tepat dalam ilmu alam. Namun apabila terjadi kejahatan, maka kajiannya terdapat faktoryang banyak sekali untuk dijelaskan. Tingkat-timgkat kejadian suatu peristiwa sosial selalu menyulitkan ahli ilmu sosial untuk menetapkan aspek-aspek apa saja yang terlibat, pola pendekatan mana yang paling tepat, dan variabel-variabel apa saja yang termasuk didalamnya.
b.      Kesukaran dalam pengamatan.
Pengamatan langsung gejala sosial lebih sulit dibandingkan dengan gejal ilmu-ilmu alam. Ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium, atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Seorang ahli pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di jaman penjajahan, tidak dapat melihat sendiri kejadian-kejadian pada masa tersebut. Keadaan ini berbeda dengan seoramng ahli kimia yang bisa mengulang kejadian yang sama setiap waktu dan mengamati suatu kejadian tertentu secara langsung.
c.       Objek penelaahan yang tidak terulang.
Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam, dan gejala tersebut dapat diamati sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untu terulang kembali. Abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejal fisik melalui perumusan kuantitatif dan hukum yang berlaku umum. Masalah sosial sering kali bersifat spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri. Bervariasinya kejadian-kejadian sosial, ditambah dnegan sulitnya pengamatan secara langsung waktu penelaahan dilaksanakan menyebabkan sukarnya mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial.
d.      Hubungan antara ahli dan objek penelaahan sosial.
Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah suatu individu, melainkan barang mati. Ahli imu alam tidak perlu memperhitungkan tujuan atau motif dari planet. Ahli sosial mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh tujuan dalam tingkah laku. Manusia bertindak sesuai dengan keinginannya dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pilihan atas tindakan yang akan diambilnya. Hal ini menyebabkan manusia dapat melakukan perubahan dalam tindakannya. Kondisi ini menyebabkan objek penelaahan ilmu sosial sangat dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan manusia, maka gejala sosial berubah secara tetap sesuai dengan tindakan manusia yang didasari keinginan dan pilihan tersebut.
Ahli ilmu alam menyelidiki proses alami dan menyusun hukum yang bersifat umum mengenai proses. Ahli alam tidak bermaksud untuk mengubah alam atau harus setuju dengan proses tersebut. Ahli ilmu alam hanya berharap bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik dan alam akan memungkinkan manusia untuk memanfaatkan proses alam. Ahli ilmu soaisl tidaklah bersikap sebagai penonton yang menyaksikan suatu proses kejadian sosial.
Ahli ilmu alam mempelajari fakta dan memusatkan perhatiaanya pada keadaan yang terjadi pada alam. Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta, umpamanya mengenai kondisi-kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat. Namun demikian, terkadang peneliti mengembangakan materi berdasarkan penemuannya tersebut, untuk dapat diaplikasikan kepada masyarakat.
Perbedaan-perbedaan secara epistemologi tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa pada pengkajian ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat disamakan. Metode dalam pengkajian ilmu-ilmu alam berbeda objeknya, sehingga akan menyebabkan perbedaan cara pengkajian.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ditinjau dari perspektif ontologi, perbedaan ilmu- ilmu alam dan sosial yakni, ilmu-ilmu alam merupakan cabang dari filsafat alam (the natural sciences), sedangkan ilmu-ilmu sosial merupakan cabang dari filasafat moral (the social sciences). Ilmu-ilmu alam kemudia terbagi menjadi ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu alam terbagi lagi menjadi fisika, kimia, astronomi, dan ilmu bumi. Ilmu-ilmu sosial terbagi menjadi antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik.
Ditinjau dari perspektif epistemologi, perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial terletak pada penggunaan prosedur ilmiah. Ilmu alam terkait secara pokok dengan positivistik, mempelajari yang objektif, tidak hidup, dan dunia fisik. Objek ilmu alam dianggap serupa, tidak mengalami perubahan dalam jangka tertentu, dan setiap gejala terpola. Ilmu-ilmu sosial merupakan hasil akal manusia, subjektif, dan emotif. Objek material ilmu sosial ialah tingkah laku khas manusia dan tidak deterninistik.

B.     Implikasi
Pengetahuan tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari aspek ontologis, memberi pemahaman bahwa ilmu alam dan ilmu soisal tersegmentasi dalam karakter yang sama. Perbedaan secara ontologis menjadikan kejelasan batasan mengenai karakter ilmu yang lebih bersifat ilmu alam atau ilmu sosial.
Tinjauan epistemologi tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial, memberikan wacana tentang metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ilmu alam dan ilmu sosial. Metode yang digunakan harus disesuaikan dengan karakter objeknya, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Ketepatan metode menjadikan ilmu dapat dikaji secara benar.

C.    Saran
Pemahaman secara ontologis antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial penting dilakukanoleh berbagai pihak, karena dengan kajian tersebut dapat memberi penjelasan batasan-batasan antara keduanya. Di lain sisi, pengetahuan tantang batasan epistemologi juga perlu dipahami, oleh berbagai pihak agar tidak salah dalam menganalisis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dengan penggunaan metode yang tidak tepat.

2 komentar:

  1. Infromasi menarik teirmakasih sudah disampaikan salam sukses selalu aja ! ^___^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih juga, sudah berkunjung di blog sederhana ini. Amiin :D

      Hapus