Tugas Makalah Matkul: Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. SAMSI, M.Si
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Era modernisasi
ditandai dengan perkembangan ilmu yang sedemikian cepat. Awalnya secara garis
besar terdapat dua bidang pembagian ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam dan ilmu
sosial. Dinamika perkembangan masyarakat telah memunculkan bidang ilmu yang
lain, seperti ilmu humaniora. Perkembangan ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu
humaniora juga mengalami percepatan dan
kemajuan. Hal ini tidak lepas dari perdebatan antara para ilmuwan mengenai bidang
ilmu mana yang lebih cepat mengalami kemajuan. Para ilmuwan sepakat bahwa
dibanding ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, geologi,
dan sejenisnya, ilmu-ulmu sosial seperti sosiologi, psikologi, ekonomi,
politik, sejarah, antropologi, dan seterusnya, dan juga ilmu-ilmu humaniora
seperti bahasa, sastra, dan seni dianggap jauh tertinggal. Bahkan ada yang
berpendapat lebih ekstrim, bahwa ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora tidak
akan mampu mengejar kemajuan ilmu-ilmu alam. Sebab, ketika ilmu-ilmu sosial
mencoba mengejarnya, ilmu-ilmu alam sudah melompat sedemikian jauh.
Ada pula yang
berpendapat bahwa lambat laun ilmu-ilmu sosial akan mampu mengejar
ketertinggalannya dengan ilmu-ilmu alam. Ini karena gejala sosial yang menjadi
kajian utama dalam ilmu-ilmu sosial berkembang sangat pesat. Dilain sisi gejala
alam yang menjadi kajian utama ilmu-ilmu alam relatif tetap. Kalaupun berubah,
perubahan tersebut tidak secepat gejala sosial. Bisa saja anggapan tersebut
benar, tetapi bisa juga salah. Mengkontraskan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu
sosial, bukan berarti menempatkan yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dari
yang lain, atau yang satu lebih bermanfaat dari yang lain.
Dalam kajian
ilmu pengetahuan ada fakta sosial dan ada definisi sosial. Ilmu alam bertugas
mengkaji fakta sosial yang empirik, sedangkan ilmu sosial dan ilmu humaniora
bertugas mengkaji definisi sosial yang abstrak dan simbolik. Perbedaan objek
material antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial juga berbada, sehingga
berbeda pula dalam metode dan cara memperoleh ilmunya. Dalam filsafat ilmu bisa
dikatakan bahwa, jika ontologinya berbeda, maka epistemologinya pasti berbeda.
Terlepas dari
perdebatan mengenai bidang ilmu mana yang lebih cepat berkembang dan lebih
maju, baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tetap dibutuhkan manusia dalam
kehidupan ini. Dilihat dari landasan berpikir, objek material, kajian, dan
fungsinya yang berbeda, seharusnya baik ilmu alam maupun ilmu sosial mampu
saling mendukung. Penjelasan mengenai perbedaan keduanya dimaksudkan untuk
menunjukkan batas keduanya dan menunjukkan adanya hubungan yang saling
mempengaruhi dalam suatu hubungan timbal balik yang sepadan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan ilmu alam dan ilmu sosial?
2. Bagaimana
perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi?
3. Bagaimana
perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar
epistemologi?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui
pengertian tentang ilmu alam dan ilmu sosial.
2. Mengetahui
perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi.
3. Mengetahui
perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar
epistemologi.
D.
Manfaat
Penulisan
makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
praktis. Manfaat teoritis dari penulisan makalah ini adalah, agar dapat menjadi
masukan bagi penulisan makalah dengan topik yang sama. Sedangkan manfaat
praktisnya, atara lain:
1. Sebagai
pengkaji pemula, agar kelompok penulis mengerti tentang konsep dasar ontologi
dan epistemologi kaitannya dengan perbedaan ilmu alam dan ilmu sosial.
2. Diharapkan
agar mahasiswa lebih memahami mengenai perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial dilihat dari dasar ontologi dan epistemologi.
3. Membekali
mahasiswa dengan kemampuan berpikir metodologis yang tepat dalam mengkaji ilmu
pengetahuan, baik untuk mengkaji gejala alam, sosial, dan kemanusiaan dalam
upaya menjelaskan dan mengekplorasi setiap peristiwa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.
Sebelum membahas mengenai perbedaan ilmu-ilmu alam dan
imu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi dan epistemologi, terlebih dahulu
akan dibahas mengenai pengertian ilmu alam dan ilmu sosial.
1. Ilmu Alam.
Ilmu alam,
yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah natural science, atau ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang
digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam
dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun. Ilmu alam
mempelajari aspek-aspek fisik dan nonmanusia tentang Bumi dan alam sekitarnya.
Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan
dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Matematika
tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan sebagai penyedia
alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Istilah
ilmu alam juga digunakan untuk mengenali “ilmu” sebagai disiplin yang mengikuti
metode ilmiah, berbeda dengan filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari
secara umum di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam(biasa disingkat IPA).
Tingkat
kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat obyeknya yang kongkrit, karena hal
ini ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti. Di samping penggunaan secara
tradisional di atas, saat ini istilah “ilmu alam” kadang digunakan mendekati
arti yang lebih cocok dalam pengertian sehari-hari. Dari sudut ini, “ilmu alam”
dapat menjadi arti alternatif bagi biologi, terlibat dalam proses-proses
biologis, dan dibedakan dari ilmu fisik (terkait dengan hukum-hukum fisika dan
kimia yang mendasari alam semesta). Cabang-cabang utama dari ilmu alam, antara
laing: Astronomi, Biologi, Ekologi, Fisika, Geologi, Geografi fisik berbasis
ilmu, Ilmu bumi, dan Kimia.
2.
Ilmu Sosial.
Ilmu sosial
(Inggris: social science) atau ilmu
pengetahuan sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari
aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini
berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah
dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif.
Ilmu sosial,
dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan
objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding
dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak
menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan
lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor
sosial dan 1ingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu
alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial. Penggunaan
metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi
tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
Ilmu-ilmu
sosial selama bertahun-tahun telah menjadi arena sejumlah kritik. Ilmu sosial
secara garis besar dianggap sebagai ‘ilmu yang tidak mungkin’. Argumentasi yang
ada melihat bahwa gejala sosial adalah terlalu rumit untuk diselidiki. Ilmu
sosial, yang membahas mengenai seluruh seluk beluk kehidupan manusia, dianggap
tak mampu menangkap ke-kompleksitas-annya. Manusia memiliki gejala dan perilaku
yang selalu berubah-ubah, inilah yang mendasari munculnya argumentasi tersebut.
Namun, pandangan ini muncul disebabkan oleh kesalahan pada pemahaman tentang
hakekat ilmu.
B.
Perbedaan
Ilmu-ilmu Alam dengan Ilmu-ilmu Sosial Dilihat dari Dasar Ontologi.
Persoalan-persoalan metafisis dibedakan menjadi tiga persoalan, yaitu:
persoalan ontologi, persoalan
kosmologi dan persoalan antropologi. Ahli metafisika berupaya
memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan. Namun di lapangan, penggunaan istilah “metafisika”
telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang di luar dunia fisika”. “Toko
buku metafisika”, sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi,
melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.
Dengan demikian maka metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan yang
sebagaimana adanya (das Sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang
bersifat seharusnya (das Sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang
biasa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das
Sollen dengan jalan mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan, meramalkan,
serta mengontrol gejala alam. Kecenderungan untuk memaksakan-meramalkan nilai
moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke
belakang ke jaman pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya
Inquisisi ala Galileo pada jaman modern. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa
dalam menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das Sollen. Kaidah
moral ini menyebutkan bahwa dalam menetapkan objek telaah, kegiatan keilmuwan tidak boleh melakukan upaya
yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan
mencampuri permasalahan kehidupan.
Di samping itu, metafisika juga, merupakan suatu kajian tentang hakikat
keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran. Objek
metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
1.
Ada sebagai yang ada; pengetahuan yang
mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda
itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, yang bisa
ditangkap panca indera.
2.
Ada sebagai yang illahi; keberadaan yang mutlak, yang
tidak bergantung pada yang lain, yakni Tuhan (illahi berarti yang tidak dapat
ditangkap oleh panca indera).
Sebelum membahas mengenai perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
dilihat dari dasar ontologi, perlu dideskripsikan terlebih dahulu mengenai
ontologi itu sendiri. Cabang utama metafisika adalah ontologi. Ontologi
merupakan studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara
satu dan lainnya. Istilah “ontologi” berasal dari kata Yunani ‘onta’ yang berarti “yang ada secara
nyata”, atau “kenyataan yang sesungguhnya”. Sedangkan istilah “logi” beasal
dari kata Yunani ‘logos’ yang berarti
“studi tentang” atau “uraian tentang”.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal
seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedakan antara penampakan dengan kenyataan.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan
tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta
bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa,
dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan. Objek telaah Ontologi tersebut
adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang
yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap
kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.
Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari
kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup,
antara jenis-jenis dan individu-individu. Dari pembahasannya memunculkan
beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat
dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi)
hanya mungkin lahir dari yang ada.
2.
Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari
materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani
(spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3.
Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara
materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam
semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4.
Agnotisisme;
Aliran ini merupakan pendapat para
filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang
mungkin benar dan mungkin pula tidak.
Bebarapa pertanyaan sekitar persoalan-persoalan
ontologis di antaranya adalah :
1.
Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau
eksistensi itu ?
2.
Bagaimanakah penggolongan dari ada, keberadaan, atau
eksistensi ?
3.
Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau
keberadaan ?
Selanjutnya
bagaimana dengan ontologi ilmu atau pengetahuan ilmiah? Ontologi Ilmu adalah
mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah yang seringkali secara
populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran
rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang
tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan bagaimana (yang)
“Ada” itu (being Sein, het zijn) (diunduh dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action, diakses pada Kamis, 27 September 2012).
Ontologi
ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan
manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera
manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah
manusia. Sementara kajian objek penelaah yang berada dalam batas prapengalaman
(seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan
neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu
adalah bagian kecil dari serangkaian pengetahuan yang dapat ditemukan dan
dipelajari serta dibutuhkan dalam mengatasi berbagai dilema dunia dan
isinya. Dengan kata lain ilmu yang banyak orang mengatakan dengan sebutan
pengetahuan ilmiah, hanya
merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba
menelaah kehidupan, dengan melakukan berbagai penafsiran tentang hakikat
realitas dari objek ontologi (diunduh
dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action, diakses pada Kamis, 27 September 2012).
Hakekat
kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang, yakni:
1.
Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
itu tunggal atau jamak.
2.
Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah
kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun
yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Dalam mengkaji ilmu dapat berpangkal dari beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya.
Menganalisis tentang masalah perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari segi ontologi, perlu diwacanakan tentang kriteria ilmu sebagai latar dari kajian. Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis. Ilmu pengetahuan juag memiliki ciri-ciri yang umum yaitu memiliki objek, metode, sistematis, dan kriteria kebenaran. Kajian ontologi dalam filsafat ilmu berhubungan dengan telaah terhadap ilmu yang menyelidiki landasan suatu ilmu yang menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek material dan objek formal, baik bersifat fisik atau kejiwaan.
Ilmu berkembang pesat seiring dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama, menyebabkan objek formal dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebutberkembangd ari dua cabang utama, yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the sosial sciences (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93).
Ilmu-ilmu alam membagi diri dalam dua kelompok lagi, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, sedangkan ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi); kimia (mempelajari substansi zat); astronomi (mempelajari benda-benda langit); ilmu bumi yang mempelajari bumi (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru, seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, kelistrikan, fisika nuklir, dan kimia fisik.
Jujun S. Suria sumantri menyatakan (2005: 94), ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis, yang belum dikaitkan dnegan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis.
Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibanding dnegan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial, antara lain:
a.
Antropologi, yang mempelajari tentang budaya
masyarakat suatu etnis tertentu.
b.
Ekonomi, yang mempelajari produksi dan pembagian
kekayaan dalam masyarakat.
c.
Geografi, yang mempelajari lokasi dan variasi
keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi.
d.
Hukum, yang mempelajari sistem aturan yang telah
dilembagakan.
e.
Linguistik, yang mempelajari aspek kognitif dan sosial
dari bahasa.
f.
Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan
dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter dan moral.
g.
Politik, yang mempelajari pemerintahan sekelompok
manusia (termasuk negara).
h.
Psikologi, yang mempelajari tingkah laku dan proses
mental.
i.
Sejarah, yang mempelajari masa lalu yang berhubungan
dengan umat manusia.
j.
Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan
antar manusia didalamnya.
Cabang utama ilmu-ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang-cabang lain, sebagai contoh antropologi, terpecah menjadi lima, yakni: arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi, dan antropologi sosial/kultural.
C.
Perbedaan
Ilmu-ilmu Alam dengan Ilmu-ilmu Sosial Dilihat dari Dasar Epistemologi.
Objek
telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan
bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan
dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan
epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan
logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran
ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi
moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori
moral. Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
1.
Empirisme;
Yang berarti
pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman
inderawi.
2.
Rasionalisme;
Tanpa menolak
besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi
inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas
pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.
3.
Positivisme;
Merupakan sistesis
dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme,
namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan
validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4.
Intuisionisme;
Intuisi tidak sama
dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya
dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang
tetap dan unik.
Epistemologi
atau teori pengetahuanmembahas secara mendalam segenap proses yang terlibat
dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang
didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah
yang membedakan ilmu dnegan buah pemikiran yang lainnya (Jujun S. Suriasumantri,
2006: 9).
Munculnya
persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah,
tetapi dengan mempertanyakan “mengapa prosedur ini, bukan yang lain”. Dalam
konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang
dipergunakan peneliti sosial, dari disiplin ilmu sosial. Ilmu alam memang
terkait secara pokok dalam positivistik, mempelajari sesuatu yang obyektif,
tidak hidup , dan dunia fisik. Kajian masyarakat, hasil akal manusia, adalh
subjektif, emotif bersifat subjektif. Tingkah laku masyarakat adalah selalu
mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan, hanya dapat
digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini atau tujuan khusus
masyarakat. Hal tersebut membuat tindakan sosial adalah penuh makna subjektif.
Alat untuk
memperoleh pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian
juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan lat untuk memproses ilmu harus
konsisten dengan karakter objek material ilmu. Berdasarkan kondisi tersebut
terdapat perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda.
Misalnya antara ilmu alam dan ilmu sosialyang terdapat perbedaan metode dan
sarana yang dipakai. Objek material adalah bahan yang dijadikan sasaran
penyelidikan (misalnya: ilmu kedokteran, ilmu sastra, psikologi), sedangkan
objek formal adalah sudut pandang tertentu terhadap objek materialnya, misalnya
ilmu kedokteran, objek formalnya keadaan fisik manusia.
Keabsahan yang
merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah
sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan hasil penyelidikan. Oleh karena
itu masalah keabsahan apakah ukurannya cocok, tergantung pada metode dan
karakter objek, sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan
kata lain, seseorang tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dengan
menggunakan ilmu yang lainnya.
Kajian tersebut
dapat menjadi dasar perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial berdasarkan perspektif
epistemologi, yaitu:
1. Ilmu-Ilmu
Alam.
Ilmu alam
merupakan ilmu yang mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu
alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi
kehidupan manusia. Berdasarkan objek telaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai
pengetahuan empiris. Objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman
manusia tidak termasuk bidang penalaahan ilmu (Yuyun S, 1981: 6).
Ilmu alam
mempunyai asumsi mengenai objek, antara lain:
a. Menganggap
objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal
bentuk struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak berbicara mengenai kasus
individual, melainkan suatu kelas tertentu.
b. Menganggap
bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu. Kelestarianrelatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan
dilakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
c.
Menganggap tiap gejala bukan merupakan
suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu
yang bersifat tetap dan urut-urtan kejadian yang sama (Yuyun S, 1981: 7).
Dalam
pandangan empirisme ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak,
sehingga suatu kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain. Ilmu tentang
objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Hal ini
perlu karena kejadian alam sangat kompleks. Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu
alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktik ilmu alam
merupakan suatu aktivitas manusia yang khas. Manusia memang dapat terlibat
sebagai subjek dan sebagai objek. Ini artinya, manusia memprakteki dan
diprakteki.
2. Ilmu-Ilmu
Sosial.
Ilmu sosial
adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya,
tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama, dalm lingkup kecil maupun
basar. Objek ilmu sosial lain sama sekali dengan objek material ilmu alam.
Onjek material dalam ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan yang
khas manusia, bebas, dan tidak deterministik.
Kajian yang
berbeda-beda terhadap ilmu, merupakan konsekuensi dari perbedaan objek formal.
Objek ilmu sosial yaitu manusia sebagai keseluruhan. Penelitian dalam ilmu
sosial juga meimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam ilmu sosial, praktek ilmiah
sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek penelitian manusia, misalnya psikologi,
sosiologi, dan sejarah. Klaim terhadap ilmu-ilmu sosial kadang dinilai gagal
dalam menangkap kekomplekan gejala, didasarkan pada kegagalan dalam membedakan
antara pernyataan beserta sistematika yang dipakai, dengan gejala sosial yang
dinyatakan oleh pernyataan tersebut. Tidak senua argumentasi tentang kerumitan
gejala sosial, yang menyebabkan ketidakmungkinan ilmu-ilmu sosial. Rangkaian
argumentasi yang lain, didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak
mampu untuk menangkap “keunikan” gejala sosial dan manusiawi. Penelaahna
ssosial tertarik pada keunikantiap-tiap kejadian sosial, padahal metode
keilmuan hanya mampu mensitematikakan berdasarkan genaralisasi, maka keadaan
ini menyebabkan harus ditetapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu sosial
(Jujun S. Suriasumantri, 2006: 143).
Objek penelaahan
ilmu sosial mempunyai karakter (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 134), sebagai
berikut:
a. Objek
penelaahan yang kompleks.
Gejala sosial
lebih kompleks dibandingkan dnegan gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan
dengan satu jenis gejala, yakni gejala yang bersifat fisik. Gejala sosial juga
mempelajari karakter fisik, namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk
mampu menerangkan gejala tersebut. Guna menjelaskan hal ini berdasarkan
hukum-hukum seperti yang terdapat dalam ilmu alam, tidaklah cukup.
Ahli ilmu alam
berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum. Penelaahannya meliputi
beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil, yang dapat diukur secara
tepat. Ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia selaku perseorangan maupun selaku
anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasi yang bertambah
rumit. Variabel dalam penelaahan sosial adalah relatif banyak, terkadang
membimbingkan peneliti.
Apabila seorang
ahli kimia mencampurkan dua buah zat kimia dan meledak, hal itu dapat
dijelaskan dnegan tepat dalam ilmu alam. Namun apabila terjadi kejahatan, maka
kajiannya terdapat faktoryang banyak sekali untuk dijelaskan. Tingkat-timgkat
kejadian suatu peristiwa sosial selalu menyulitkan ahli ilmu sosial untuk
menetapkan aspek-aspek apa saja yang terlibat, pola pendekatan mana yang paling
tepat, dan variabel-variabel apa saja yang termasuk didalamnya.
b. Kesukaran
dalam pengamatan.
Pengamatan
langsung gejala sosial lebih sulit dibandingkan dengan gejal ilmu-ilmu alam.
Ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium, atau
mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Seorang ahli pendidikan yang sedang
mempelajari sistem persekolahan di jaman penjajahan, tidak dapat melihat
sendiri kejadian-kejadian pada masa tersebut. Keadaan ini berbeda dengan
seoramng ahli kimia yang bisa mengulang kejadian yang sama setiap waktu dan
mengamati suatu kejadian tertentu secara langsung.
c. Objek
penelaahan yang tidak terulang.
Gejala fisik
pada umumnya bersifat seragam, dan gejala tersebut dapat diamati sekarang.
Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untu terulang kembali.
Abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejal fisik melalui perumusan
kuantitatif dan hukum yang berlaku umum. Masalah sosial sering kali bersifat
spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri.
Bervariasinya kejadian-kejadian sosial, ditambah dnegan sulitnya pengamatan
secara langsung waktu penelaahan dilaksanakan menyebabkan sukarnya
mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial.
d. Hubungan
antara ahli dan objek penelaahan sosial.
Gejala fisik
seperti unsur kimia bukanlah suatu individu, melainkan barang mati. Ahli imu
alam tidak perlu memperhitungkan tujuan atau motif dari planet. Ahli sosial
mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh tujuan dalam tingkah
laku. Manusia bertindak sesuai dengan keinginannya dan mempunyai kemampuan
untuk melakukan pilihan atas tindakan yang akan diambilnya. Hal ini menyebabkan
manusia dapat melakukan perubahan dalam tindakannya. Kondisi ini menyebabkan
objek penelaahan ilmu sosial sangat dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan
manusia, maka gejala sosial berubah secara tetap sesuai dengan tindakan manusia
yang didasari keinginan dan pilihan tersebut.
Ahli ilmu alam
menyelidiki proses alami dan menyusun hukum yang bersifat umum mengenai proses.
Ahli alam tidak bermaksud untuk mengubah alam atau harus setuju dengan proses
tersebut. Ahli ilmu alam hanya berharap bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik
dan alam akan memungkinkan manusia untuk memanfaatkan proses alam. Ahli ilmu
soaisl tidaklah bersikap sebagai penonton yang menyaksikan suatu proses
kejadian sosial.
Ahli ilmu alam
mempelajari fakta dan memusatkan perhatiaanya pada keadaan yang terjadi pada
alam. Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta, umpamanya mengenai
kondisi-kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat. Namun demikian, terkadang
peneliti mengembangakan materi berdasarkan penemuannya tersebut, untuk dapat
diaplikasikan kepada masyarakat.
Perbedaan-perbedaan
secara epistemologi tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa pada pengkajian
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat disamakan. Metode dalam pengkajian
ilmu-ilmu alam berbeda objeknya, sehingga akan menyebabkan perbedaan cara
pengkajian.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ditinjau
dari perspektif ontologi, perbedaan ilmu- ilmu alam dan sosial yakni, ilmu-ilmu
alam merupakan cabang dari filsafat alam (the
natural sciences), sedangkan ilmu-ilmu sosial merupakan cabang dari
filasafat moral (the social sciences).
Ilmu-ilmu alam kemudia terbagi menjadi ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu alam
terbagi lagi menjadi fisika, kimia, astronomi, dan ilmu bumi. Ilmu-ilmu sosial
terbagi menjadi antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik.
Ditinjau
dari perspektif epistemologi, perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial terletak pada
penggunaan prosedur ilmiah. Ilmu alam terkait secara pokok dengan positivistik,
mempelajari yang objektif, tidak hidup, dan dunia fisik. Objek ilmu alam
dianggap serupa, tidak mengalami perubahan dalam jangka tertentu, dan setiap
gejala terpola. Ilmu-ilmu sosial merupakan hasil akal manusia, subjektif, dan
emotif. Objek material ilmu sosial ialah tingkah laku khas manusia dan tidak
deterninistik.
B. Implikasi
Pengetahuan
tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari aspek
ontologis, memberi pemahaman bahwa ilmu alam dan ilmu soisal tersegmentasi
dalam karakter yang sama. Perbedaan secara ontologis menjadikan kejelasan
batasan mengenai karakter ilmu yang lebih bersifat ilmu alam atau ilmu sosial.
Tinjauan
epistemologi tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial, memberikan wacana
tentang metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ilmu alam dan ilmu sosial.
Metode yang digunakan harus disesuaikan dengan karakter objeknya, baik ilmu
alam maupun ilmu sosial. Ketepatan metode menjadikan ilmu dapat dikaji secara
benar.
C. Saran
Pemahaman
secara ontologis antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial penting
dilakukanoleh berbagai pihak, karena dengan kajian tersebut dapat memberi
penjelasan batasan-batasan antara keduanya. Di lain sisi, pengetahuan tantang
batasan epistemologi juga perlu dipahami, oleh berbagai pihak agar tidak salah
dalam menganalisis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dengan penggunaan metode
yang tidak tepat.
Infromasi menarik teirmakasih sudah disampaikan salam sukses selalu aja ! ^___^
BalasHapusTerimakasih juga, sudah berkunjung di blog sederhana ini. Amiin :D
Hapus